Tino Mariam, Napas Hidup Maestro Tale
Berkat konsistensinya sebagai seniman tale, pada 2021 Mariam dinobatkan sebagai Maestro Tingkat Nasional Sastra Lisan oleh Kemendikbudristek.
Lebih dari separuh hidup Tino Mariam atau Nenek Mariam melantunkan syair-syair tale yang indah. Kini, usianya mendekati 70 tahun dan ia belum mau berhenti bertale. Bagi maestro tale asal Kota Sungai Penuh, Kerinci, Jambi, itu, tale sudah menjadi bagian dari napas hidupnya.
Heeeyyyy... Idak rile idak kutuang/ sungguh i le ke Muara Tebo// Idak butale idak kutuang/ sungguh butale hatiku iba//.
Tidak ke hilir tidak mungkin/ benar aku ke hilir ke Muaro Tebo// Kalau tidak bertale hatiku sedih/ kalau bertale tambah sedih//.
Suara Mariam memecah siang yang terik di belantara kota Jakarta, Kamis (26/10/2023). Suaranya nyaring, jernih, panjang, dan meliuk-liuk. Di bagian awal, iramanya lebih terdengar seperti ratapan yang menggetarkan hati.
Hari itu, Mariam tampil melantunkan Tale Nuei di acara Bincang-bincang Festival Kata: Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan yang digelar Kompas dan didukung Direktorat Jenderal Kemendikbudristek RI di Bentara Budaya Jakarta.
Ia tampak tidak seperti sedang bernyanyi, tetapi mengungkapkan isi hati. Segenap emosinya bergetar dan dengan mudah ditangkap oleh penonton yang sebagian besar tidak mengerti syair berbahasa Kerinci yang Mariam bawakan.
Tale memang bukan semacam seni suara. Ia lebih tepat disebut ungkapan hati yang kata-katanya disusun dalam syair dan dilantunkan dengan indah. Bait pertama disebut tale yang iramanya meratap-ratap. Bait berikutnya pantun.
Cara melantunkannya bisa beragam, bergantung pada irama khas di setiap desa. Tale Nuei yang dibawakan Mariam mewakili irama khas Tale Nuei dari desanya di Sungai Ning, Kota Sungai Penuh.
Tale merupakan sastra lisan yang berkembang di wilayah Jambi. Ada beberapa jenis tale yang dikenal, antara lain Tale Nuei (dalam beberapa dialek lokal disebut juga Tale Nuai atau Tale Tuai), Tale Daheak, Tale Malam, Tale Naoak Jui, dan Tale Ngasoh Anoak.
Tale Nuei biasanya dilantunkan para petani saat memanen padi di sawah. Syairnya bercerita tentang proses menanam padi sampai panen. Setelah musim panen usai, para petani menyiapkan ladang. Saat itulah mereka melantunkan Tale Daheak.
Tale juga dilantunkan pada momen-momen lain. Saat muda-mudi berkumpul menghabiskan malam, mereka akan melantunkan Tale Malam. Ketika ada warga yang pergi berhaji, warga mengiringi keberangkatannya dengan Tale Naoak Jui. Syairnya berisi doa ucapan selamat dan syukur kepada Tuhan. Selain itu, warga yang ingin menidurkan anaknya akan bertale Ngasuh Anoak. Syairnya berupa ungkapan kasih sayang ibu kepada anaknya.
Belajar dari nenek
Mariam mengenal seni tale sejak usia 10 tahun. Saat itu, ia melihat nenek, kakak, serta beberapa seniman membawakan tale. Sejak saat itu ia jatuh cinta pada tale. Ia pun mulai belajar sedikit demi sedikit bagaimana bertale dengan mendengarkan neneknya bertale.
Tidak makan waktu lama, ia sudah bertale di sawah atau ladang. ”Sambil mencangkul, saya bertale. Supaya hati senang,” kata Mariam dalam bahasa Kerinci.
Seiring waktu, Mariam tidak hanya menguasai Tale Nuei, tetapi juga tale jenis lainnya. Suaranya yang jernih dan panjang membuat ia mulai diminta untuk bertale oleh tetangga-tetangganya di acara hajatan dan adat.
Awalnya, ia bertale di acara-acara di kampung sendiri. lama kelamaan ia diundang tampil ke kampung lain. Begitu seterusnya hingga bertahun-tahun. Saat itu, jadwalnya bertale cukup padat. ”Dulu setiap pekan ada saja yang minta saya bertale. Kalau tampil dikasih uang Rp 100.000.”
Sambil mencangkul, saya bertale. Supaya hati senang.
Pada usia 30 tahun ketika semakin matang sebagai petale, ia mulai malang melintang di beberbagai acara adat atau festival yang digelar pemerintah, seperti Festival Danau Kerinci dan Kenduri Sko Kerinci. Ia juga pernah tampil di sebuah acara di Bali pada 2004 dan Painan, Sumatera Barat, pada 2010.
Berkat konsistensinya sebagai seniman tale, pada 2021 Mariam mendapat penghargaan dari Gubernur Jambi sebagai Maestro Seni Tradisi di Bidang Tale di Taman Budaya Jambi. Pada tahun yang sama, ia dinobatkan sebagai Maestro Tingkat Nasional Sastra Lisan.
Meski Mariam bukanlah pencipta syair tale, posisinya sangat penting sebagai penerus tongkat estafet seni tale yang nyaris punah. Kini, dia adalah satu dari sedikit seniman tale dari Kerinci yang masih hidup. Ia bersyukur salah satu cucunya tertarik belajar tale.
Energi maestro
Kamis (26/3), Mariam tampil di Festival Kata di Bentara Budaya Jakarta. Ia didampingi oleh Agustin, Pamong Budaya Bagian Pembinaan Pengembangan Seni dan Budaya Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sungai Penuh, Jambi.
”Tino senang sekali bisa tampil di Jakarta. Ia sudah lama sekali tidak ke Jakarta. Saking senangnya, Tino bilang ke semua orang yang ditemui, ’saya mau bertale di Jakarta’,” cerita Agustin.
Untuk sampai ke Jakarta dan tampil di Festival Kata, Mariam dan Agustin menempuh perjalanan darat antara 10-12 jam dari Kota Sungai Penuh ke Jambi. Dari Jambi, mereka berdua terbang ke Jakarta selama lebih kurang dua jam. ”Perjalanan yang melelahkan buat orang tua seperti Tino. Tapi, dia senang sekali,” ujar Agustin.
Satu jam sebelum naik panggung, Mariam sempat masuk angin. Ia mual-mual dan kehilangan keceriaannya. Tetapi, begitu di atas panggung dan diminta bertale, energinya kembali muncul. Suaranya tetap kuat, lantang, dan panjang. Ia benar-benar menunjukkan kemaestroannya di bidang tale.
Ia bahkan sempat tampil bersama seniman dongeng Buleng Betawi, Yahya Andi Saputra. Mariam bertale, sedangkan Yahya melantunkan syair-syair pengantar dongeng Buleng. Ketika dua tradisi lisan dari dua daerah yang berbeda itu tampil bersamaan secara spontan, ternyata bagus juga.
Usai tampil di Bentara Budaya Jakarta, Mariam bergegas menuju Monas. ”Anak dan cucu minta saya foto di Monas. Mumpung ada di Jakarta,” ujar Mariam yang memiliki 6 anak dan 25 cucu.
Mariam
Lahir: Kerinci, 1 Juli 1954
Penghargaan:
- Maestro Seni Tradisi di Bidang Tale di Taman Budaya Jambi, 2021
- Maestro Tingkat Nasional Sastra Lisan, 2021