Narges Safie Mohammadi: Hak Perempuan adalah Kemerdekaan Bangsa Iran
Masyarakat yang beradab adalah ketika terwujudnya pemenuhan hak asasi manusia menyeluruh, tanpa memandang jenis kelamin dan jender.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Pejuang hak asasi manusia Iran, Narges Safie Mohammadi (51), diumumkan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2023. Perempuan yang kini mendekam di Penjara Evin, Teheran, Iran, itu terpilih karena memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan masyarakat Iran melalui perjuangan kesetaraan jender bagi perempuan.
Di tengah kemajuan informasi, masih banyak orang yang mengira bahwa pemenuhan kesetaraan hak perempuan terpisah dari penegakan hak asasi manusia. Bahkan, dalam taraf tertentu terkesan tidak berhubungan dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Di negara teokratik seperti Iran, ketubuhan perempuan diatur di dalam hukum positif dengan alasan menjaga moral masyarakat. Mohammadi ingin membongkar pandangan itu.
”Di Iran, aturan agar perempuan wajib berjilbab bukan untuk mengendalikan nafsu laki-laki dan melindungi perempuan, melainkan guna melanggengkan kuasa dan kediktatoran pemerintah,” tulis Mohammadi dalam akun Instagram pada Juli 2023 dan dikutip oleh media Deutsche Welle pada bulan yang sama.
Mohammadi memang tidak kenal gentar. Ia sangat vokal melawan aturan Pemerintah Iran yang sejak Revolusi 1979 mewajibkan perempuan untuk berjilbab dengan tata cara yang ketat. Selama perjuangannya yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun dan kini melalui unggahan-unggahan di media sosial, Mohammadi menekankan bahwa ia tidak antiagama ataupun jilbab.
”Berjilbab itu murni pilihan seorang perempuan, bukan diatur oleh negara ataupun siapa pun. Kelihatannya sepele, tetapi dalam skala yang lebih tinggi, perlawanan terhadap aturan berjilbab ini membongkar dominasi negara terhadap masyarakat,” unggah Mohammadi di Instagram yang dikutip oleh BBC Persia pada 13 April 2023.
Ia mengajak para perempuan Iran yang berjilbab untuk angkat bicara dan menekankan hak mereka untuk memilih cara berbusananya. Menurut Mohammadi, ini mengembalikan pilihan untuk berjilbab kepada kemerdekaan perempuan itu sendiri dan membersihkan citra jilbab dari stigma penindasan berkedok agama.
”Pemerintah menekan perempuan sebagai simbol kuasa mereka yang sudah rapuh. Perempuan adalah inti dari perubahan dan butuh aksi bersama perempuan untuk mengakhiri rezim teokratis ini,” kata Mohammadi dalam unggahan yang sama.
Pemerintah Iran mengganjar dia setidaknya dengan 13 kali penangkapan dan lima kali vonis penjara. Kali ini, sejak 2020, Mohammadi dijatuhi hukuman kurungan 10 tahun. Ia dicap sebagai kriminal karena menyebarluaskan anjuran kepada masyarakat untuk melawan pemerintah.
Unggahan-unggahan di media sosial Mohammadi itu diakukan dari balik jeruji sel isolasi Penjara Evin. Ia mengutarakan bahwa di balik tragedi kematian Mahsa Amini pada September 2022 akibat diduga dianiaya oleh polisi moral Iran, Mohammadi meyakini bahwa ini saat yang tepat bagi bangsa Iran bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka sebagai individu-individu yang bebas berpendapat.
Ketua Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen ketika mengumumkan penganugerahan Nobel Perdamaian untuk Mohammadi pada Jumat (6/10/2023) yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube mengungkapkan bahwa akibat kekritisan itu, Mohammadi kini benar-benar diisolasi di Penjara Evin. Ia dilucuti hak berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat, termasuk suami dan anak-anaknya yang kini tinggal di pengasingan di Perancis.
Mohammadi meyakini bahwa ini saat yang tepat bagi bangsa Iran bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka sebagai individu-individu yang bebas berpendapat.
Pernyataan Reiss-Andersen ini sesuai dengan buku yang ditulis oleh Mohammadi, White Torture (Siksaan Putih). Buku yang terbit tahun 2021 ini menggambarkan pengalaman para perempuan narapidana di Penjara Evin yang menghadapi berbagai jenis penganiayaan, mulai dari verbal hingga ragawi. Kekerasan, kata Mohammadi, adalah cara bagi aparat untuk menunjukkan kuasa mereka.
Buku ini kemudian dijadikan film dokumenter dengan judul yang sama dan ditayangkan di Parlemen Eropa pada pertengahan 2022. Suami Mohammadi, wartawan sekaligus pegiat hak asasi manusia Taghi Rahimi (63), membacakan surat istrinya mengenai berbagai kekerasan yang mereka alami.
”Istri saya memiliki kondisi penyakit saraf yang membuat dia bisa kejang-kejang, tetapi dia tidak menyerah dan saya juga tidak menyerah,” tutur Rahimi, dikutip oleh Deutsche Welle.
Reformis
Mohammadi sudah kritis sejak kecil. Bahkan, dalam artikel New York Times Juli 2023 dikatakan bahwa ibu Mohammadi memperingatkan putrinya yang ketika itu masih mahasiswa fisika di Universitas Qazvin agar tidak terlibat dengan politik.
”Di negara ini tidak ada yang selamat jika terlibat politik,” tutur ibunda Mohammadi.
Namun, Mohammadi tidak melawan panggilan hatinya. Ia aktif sebagai pegiat hak asasi manusia dan demokrasi selama kuliah. Mohammadi mendirikan organisasi kemahasiswaan bernama Tashakkol Daaneshjooei Roshangaraan yang mendiskusikan berbagai kebijakan pemerintah secara kritis.
Gara-gara ini, ia sempat dua kali berurusan dengan aparat penegak hukum. Bahkan, sejumlah unit kegiatan mahasiswa, termasuk klub mendaki gunung yang sangat disukai Mohammadi, menolak menerimanya sebagai anggota karena takut nanti diincar aparat pemerintah.
Lulus kuliah, ia menjadi wartawan di sejumlah media progresif. Menurut biografi Mohammadi yang ditulis oleh Muhammad Sahimi, intelektual Iran yang juga Guru Besar Teknik Kimia Universitas California Selatan, di media PBS pada 10 Mei 2012, pandangan Mohammadi mengenai kesetaraan jender terbentuk saat ia bekerja di majalah Payaam-e Hajaar. Ini adalah media yang didirikan Azam Alaei Taleghani, putri dari Ayatollah Seyyed Mahmoud Alaei Taleghani (1911-1979), pemimpin Iran yang progresif.
Ketika majalah itu dibredel pemerintah, Mohammadi bekerja di Pusat Pembela Hak Asasi Manusia (DHRC) yang didirikan oleh pemenang Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi. Di sini, Mohammadi mulai dipandang sebagai pembangkang oleh pemerintah. Ia berkali-kali ditangkap, dipenjara, dan dibebaskan bersyarat. Akan tetapi, Mohammadi tidak kapok dan lanjut memperjuangkan kesetaraan jender.
Suaminya, Taghi Rahimi, sempat secara keseluruhan menghabiskan 14 tahun mendekam di penjara. Pada 2012, ia memboyong kedua anak kembarnya, Ali dan Kiana, ke Perancis guna menghindari persekusi lebih lanjut. Mohammadi menolak ikut karena menurut dia perjuangan melawan penindasan perempuan tidak bisa dilakukan dari jauh. Keluarga itu pun terpaksa hidup terpisah.
Deutsche Welle Farsi Juli 2023 mengatakan, terakhir Mohammadi berbicara dengan putrinya, Kiana, adalah satu bulan sebelumnya. Kiana berkata kepada ibunya agar tidak menyerah dan suatu saat akan menjemputnya. Mohammadi mengatakan, seusai menerima telepon itu, ia tidak mampu masuk ke dalam sel.
”Saya pergi ke halaman dengan bertelanjang kaki. Saya berdiri di atas aspal panas dan mengangkat tangan ke udara,” tulisnya dalam surat untuk media itu.