Rahmawati Dafrullah, Cahaya untuk Desa Kaki Air
Rahmawati Dafrullah sejauh ini menjadi pelayan warga terbaik di Desa Kaki Air, Buru, Maluku. Dia ikut membawa listrik dan jalan terbaik untuk warga agar sejahtera.
Rahmawati Dafrullah (51), mantan Penjabat Kepala Desa Kaki Air, Kecamatan Teluk Kayeli, Kabupaten Buru, Maluku, menjelma cahaya bagi ratusan warga. Ia berjuang agar kampung halamannya yang terpencil bisa merasakan listrik, menjadi desa wisata, hingga menuju sejahtera.
Pagi itu, Rabu (6/9/2023), Rahmawati baru sampai di rumahnya setelah perjalanan cukup panjang. Dari Ambon, ia harus menyeberang laut menggunakan kapal cepat sekitar delapan jam ke Namlea, pusat kota Buru. Ia kembali mengarungi ombak sekitar 45 menit menuju desanya.
Kaki Air terpisah dari daratan. Rumah warga berbahan kayu dan batu terbangun di atas permukaan laut. Mirip permukiman terapung suku Bajo.
Perahu nelayan terparkir di sekitarnya. Jalannya bukan aspal, melainkan kayu. Meski di atas air, tiang listrik sudah berdiri di sana.
Baca juga: Aroma Kayu Putih Pulau Buru Ditelan Tambang
Tiang-tiang itu mengaliri listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ke lebih dari 100 bangunan setempat. Warga pun leluasa ’menikmati’ dingin es di kulkas, menonton televisi, mengisi daya telepon pintar, hingga meningkatkan usaha. Listrik itu merupakan buah perjuangan Rahmawati.
”Sudah 74 tahun katong (kami) belum merdeka dengan (menikmati) lampu (listrik),” ucap pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintahan Kabupaten Buru ini. Bagi Rahmawati yang tumbuh besar di Kaki Air sejak 1980-an, listrik adalah sesuatu yang mustahil kala itu.
”Padahal, kalau enggakkeliatan jalan karena gelap, bisa jatuh. Di air, kan, ada buaya,” ucapnya.
Sebelumnya, warga mengandalkan genset dan pembangkit listrik tenaga surya yang dibangun pemerintah. Namun, listriknya terbatas hanya setengah hari. Biayanya pun menguras kantong.
Jangankan menonton televisi acara drama Korea semalam suntuk, mengisi daya telepon seluler saja warga biasanya menyeberang ke Namlea.
Di sana, warga sekalian menitip daging di kulkas kerabat dan membeli es untuk melaut. Kadang, belum sampai ke desa, esnya sudah mencair.
”Dulu, katong punya ikan terbuang-buang karena tidak ada kulkas,” kenangnya.
Perubahan terjadi ketika Rahmawati ditugaskan sebagai Penjabat Kepala Desa Kaki Air tahun 2019. Meski kewenangannya terbatas dibandingkan dengan kepala desa definitif, ia tak tinggal diam.
Rahmawati mulai menginventarisasi masalah yang dihadapi warga. Maklum, sebelum menjabat, ia beberapa tahun sempat tinggal di Namlea karena dekat dengan kantornya.
Anak mantan Kepala Desa Kaki Air ini pun mencatat, salah satu persoalan utama adalah akses listrik belum memadai.
Rahmawati lalu membuat rencana anggaran belanja dan mengajukan proposal kepada pemda dan PLN. Pada Maret 2021, datang kabar bahagia.
Petugas PLN bersedia menyurvei lokasi. Akan tetapi, permukiman warga yang berada di permukaan laut dan rawa menjadi kendala.
”Dari delapan vendor yang menawarkan diri, tujuh mengundurkan diri. Alasannya, karena tempatnya rawa, tidak ada jalan, tetapi ada buaya. Saya bilang, beta (saya) lebih takut buaya darat,” kata Rahmawati kesal. Ia pun terus berkomunikasi dengan PLN agar listrik masuk desanya.
Turun lapangan
Petugas akhirnya bersedia membangun sarana dan prasarana untuk mengalirkan listrik. Namun, mereka butuh bantuan saat penanaman tiang dan pembukaan jalan.
”Beta bilang siap. Kalau (kesempatan ini) dilepas, 10 tahun mungkin tidak ada lagi (pemasangan listrik) di desa,” ucap Rahmawati.
Ia sempat mendengar suara nyinyir yang meragukan listrik mengalir di desa. Ada pula yang menudingnya sebagai gerakan politik agar terpilih sebagai kepala desa.
”Beta tidak hiraukan. Beta turun langsung angkat material. Masyarakat akhirnya ikut turun,” ucap Rahmawati.
Dia juga sempat ikut memikul tiang listrik di atas lumpur. Padahal, tiang itu diangkat minimal 10 orang dewasa.
Seingatnya, terdapat 997 tiang yang ditanam di area desa. Ibu-ibu turut serta menyiapkan makanan untuk warga. Mereka seolah piknik.
Akhirnya, pada 7 November 2021, sekitar 700 warga bisa menikmati listrik PLN. Bupati Buru saat itu, Ramly Umasugi, meresmikan listrik masuk desa.
”(Listrik) menyala pertama itu, (toko elektronik di) Namlea viral. Kulkas, mesin cuci diborong (warga) Kaki Air,” katanya tertawa.
Akan tetapi, masalah belum usai. Seorang warga datang membawa pengacara karena tiang listrik berdiri di empangnya.
”Beta bilang, kalau mengklaim empang, mana PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)? Listrik ini bukan kepentingan beta. Ini untuk pembangunan Kaki Air,” ucapnya.
’Beta’ tetap akan berjuang. Kampung ini masih butuh banyak perubahan.
Rencana gugatan itu pun sirna. Apalagi, warga merasakan manfaat listrik. Mulai dari menonton televisi, mendinginkan hasil tangkapan, hingga meningkatkan perekonomian keluarga. Akses ke Kaki Air juga bakal semakin mudah setelah ia menginisiasi pembukaan jalan darat 11 kilometer.
Tidak hanya itu, Rahmawati juga membawa Kaki Air menjadi desa wisata. Jembatan dan sejumlah rumah warga dicat warna-warni untuk menambah daya tarik. Kuliner khas, seperti ikan asin, kepiting, dan udang segar, juga menjadi keunggulan desa itu.
Homestay terapung pun ada. Keramahan masyarakat Kaki Air yang sebagian besar suku Bugis juga sangat terasa.
Pintu rumah Rahmawati, misalnya, selalu terbuka untuk tamu. Salah satu yang menarik, ketika pengunjung makan di rumah, warga memilih keluar.
”Supaya tamu tidak malu-malu makan,” katanya.
Tahun lalu, Pemkab Buru telah menetapkan Kaki Air sebagai desa wisata. Desa itu juga tercatat dalam Jejaring Desa Wisata (Jadesta) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun, desa itu masih butuh pengembangan, seperti jembatan dari sejumlah blok, juga atraksi budaya.
Persoalaan lainnya, penambangan emas di Gunung Botak tidak jauh dari Kaki Air. Kasus ini pernah jadi pemberitaan sejumlah media karena pencemaran merkuri.
”Gunung ini lebih terkenal dibandingkan Namlea. Kalau bilang dari Buru, pasti bilangnya Gunung Botak,” ucapnya.
Meskipun ia menyebut cemaran merkuri sesuai ambang batas setelah Gunung Botak berhenti beroperasi tahun 2018, ia tetap khawatir zat berbahaya itu masih ada. Apalagi, penambangan kembali terjadi. Di sisi lainnya, Gunung Botak juga menjadi sumber penghasilan sejumlah warga.
Rahmawati berharap, pertambangan di Gunung Botak dapat ditata agar merkuri tidak mencemari Teluk Kayeli sehingga berdampak pada mata pencarian warga. Apalagi, ia tengah membangun desa dan warganya menjadi lebih baik dengan penyediaan listrik hingga program desa wisata.
Sebenarnya, Pemkab Buru telah beberapa kali memintanya kembali ke kantor pemerintahan. Selain lebih dekat dengan pusat kota, jenjang kariernya lebih terjamin dibandingkan dengan tinggal di Kaki Air. Itu sebabnya, kata Rahmawati, sejumlah pegawai enggan ditempatkan di desa itu.
”Saya sudah diminta balik. Tapi, beta bilang jangan dulu. Sebelum desa ini mandiri, jalan sudah jadi, dan jembatan sudah jadi. Selama masih di sini, beta harus bikin (perubahan) lebih baik,” ucap Rahmawati yang ingin membuat rencana pembangunan jangka menengah desa.
Setidaknya, impiannya mulai menemui jalannya. Selain punya listrik, Kaki Air juga naik kelas.
Dulu, pertama menjabat empat tahun lalu, desa itu masuk dalam kategori sangat tertinggal atau paling terbelakang dalam Indeks Desa Membangun.
”Beta pusing dengar itu. Sekarang, jadi desa berkembang. Pertama saya menjabat, di sini ada 135 keluarga. Sekarang, jadi 164 keluarga. Artinya, warga merasa lebih enak kembali ke desa,” ucapnya.
Sayangnya, tugasnya sebagai Penjabat Kades Kaki Air berakhir 27 September lalu. Rahmawati kembali ke Pemkab Buru. Meski demikian, ia tidak akan meninggalkan desanya.
”Beta tetap akan berjuang. Kampung ini masih butuh banyak perubahan,” ujar istri dari Tasrifh Tinggapy ini.
Profesor Yusthinus T Male dari Universitas Pattimura, Ambon, yang beberapa kali meneliti dampak penambangan Gunung Botak, menilai, Rahmawati sebagai sosok yang berusaha mengembangkan warganya. ”Dia penjabat kepala desa yang kreatif dan berani,” ucapnya.
Kiprah Rahmawati menjadi contoh peran pelayan warga seutuhnya. Bagi dia, kesejahteraan warga patut dan harus diperjuangkan.
Baca juga: Operasi Katarak ”Katong Melihat Terang” di Pulau Buru
Rahmawati Dafrullah ST
Lahir: Buru, 17 Juli 1972
Pendidikan :
- SD Al Hilal Waeapo Buru
- SMPN 1 Namlea Buru
- SMAN 1 Namlea Buru
- S-1 Jurusan Teknik Perkapalan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Pekerjaan:
- PNS di Pemkab Buru