Widie Nurmahmudy, ”Pendekar” Pemberdayaan Kampung Papring
Tak hanya mendirikan sekolah untuk anak petani di sekitarnya melalui Kampoeng Batara, Widie Nurmahmudy juga merajut pemberdayaan bagi masyarakat sekitar.
Widie Nurmahmudy (44) tak hanya mendirikan sekolah untuk anak petani melalui Kampung Baca Taman Rimba. Enam tahun terakhir dia juga merajut pemberdayaan bagi masyarakat di kaki Gunung Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur.
Di Rumah Budaya yang mirip pendopo, 30-an anak asyik belajar pengembangan diri, Minggu (17/9/2023). Irfan Efendi (17), sang mentor yang tidak lain anak muda setempat, memberi ”komando” kepada adik-adik kelasnya itu meneriakkan yel-yel penyemangat.
Seusai belajar, 10 anak bergegas menuju Rumah Bambu yang berjarak sekitar 100 meter di lokasi yang topografinya lebih tinggi. Lima orang dari mereka kemudian memainkan gamelan dan lima lainnya berlatih menari tradisional. Di sisi yang lain, beberapa ibu sibuk menanam kacang tanah di lahan yang telah dicampur kompos.
Aktivitas seperti itu menjadi pemandangan rutin di Kampung Baca Taman Rimba (Kampoeng Batara) di Kampung Papring, Kelurahan/Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, dalam beberapa tahun terakhir. ”Setiap akhir pekan di sini selalu ramai,” ujar Widie yang baru saja pulang dari kegiatan rapat warga.
Kampoeng Batara didirikan Widie tahun 2015 guna mewadahi anak-anak petani setempat yang tidak bersekolah atau menikah terlalu dini. Dalam perjalanannya, Kampoeng Batara terus berkembang. Fasilitas demi fasilitas bertambah. Sebut saja, bangunan yang baru saja berdiri adalah perpustakaan Rumah Cerdas (2023) dan galeri pameran yang kini tengah dalam proses pembangunan. Sebelumnya, berdiri lebih dulu Rumah Bambu (2020) dan Rumah Budaya (2021).
Di tengah kegiatan pembelajaran yang terus berjalan, Widie—yang memperoleh penghargaan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai tokoh adat pendukung pendidikan keaksaraan pada komunitas adat terpencil tahun 2021—melebarkan fokus ke pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Setidaknya ada lima kegiatan yang muncul sejak enam tahun lalu, yakni kopi Papring, pengembangan kerajinan bambu (2017), batik (2021), pengelolaan sumber air minum masyarakat (2022), dan kreativitas digital (2020).
”Tahun 2015-2017 kami fokus di pendidikannya. Tahun 2017, kok, banyak yang terlibat sehingga perlu ruang khusus. Lalu ada ide kalau kerajinan bambu yang sejak dulu hanya ada dua item dikembangkan dengan menghadirkan teman-teman yang punya keterampilan,” ucapnya.
Kawasan Papring sendiri memiliki sumber daya bambu melimpah. Tak hanya jenis bambu untuk konstruksi, tetapi juga untuk kerajinan. Sejauh ini ada puluhan keluarga yang membuat kerajinan bambu, tetapi baru sebatas besek dan gedeg dinding rumah.
Kegiatan itu pun sudah dijalankan warga sejak lama, tahun 1960-an sudah ada. Mereka menggelutinya di sela-sela bertani di lahan pegunungan. Bahkan, orangtua Widie merupakan pengepul besek pertama di kawasan itu dan sempat terkendala krisis moneter pada 1998.
Baca juga: Mengintip Aktivitas di Kampoeng Batara Banyuwangi
Para perajin kemudian diarahkan untuk membuat produk lain, seperti lampion dan tas yang nilai ekonomisnya lebih tinggi. Adapun harga besek cukup murah, Rp 1.500-Rp 2.000 per buah. Itu pun bahan baku yang diperlukan untuk membuat besek lebih banyak dibandingkan dengan produk lain.
”Sejak 2017 ada tas, lampion, tutup lampu. Kalau ditanya kesulitan, lebih ke transisi dari biasanya mereka menganyam besek harus mengubah pola anyam membentuk produk lain. Metodenya yang berubah. Namun, basic keterampilan menganyam mereka sudah punya,” ucap Widie.
Meski telah mengembangkan produk, mereka tidak serta-merta membidik pasar luar daerah. Sejauh ini pasar lokal Banyuwangi menjadi pilihan dengan harapan masyarakat lokal bisa semakin mengenal.
”Pangsa pasarnya tidak keluar daerah dulu, tetapi bagaimana kampanye di tataran lokal. Orientasi bisnis ada, tetapi itu di sesi yang sekian. Jangan sampai menjual keluar, tetapi tetangga sendiri tidak tahu, kan aneh,” ucap lelaki yang pernah menerima penghargaan inovator di bidang pendidikan dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tahun 2018 ini.
Setelah bambu, batik menjadi sasaran pemberdayaan berikutnya. Kehadiran batik di kawasan itu merupakan barang baru dan tak pernah tebersit sebelumnya. Saat ini ada 11 perajin batik di Papring dengan teknik tulis dan cap. Adapun motifnya berupa tanaman bambu dan permainan tradisional berbahan bambu.
Munculnya kerajinan batik berawal dari program pemberdayaan salah satu perguruan tinggi dari Lumajang. Saat itu, mereka mendorong perajin untuk membuat sebuah produk yang mengelaborasikan bambu dengan batik guna mendongkrak nilai jual barang.
Mengingat batik harus beli, akhirnya diputuskan untuk membuat sendiri. ”Kami menangkap momentum. Kalau ada pihak lain yang mendukung, kami biasa mempelajari bersama masalah yang ada. Kita petakan bersama untuk mencari solusi,” ucap ayah dua orang anak itu.
Baca juga: Gandrung Sudah Lama Jadi Ekstrakurikuler Sekolah di Banyuwangi
Selain memenuhi pesanan, batik buatan warga Papring juga ditawarkan kepada pelancong yang datang. Papring kini kerap dikunjungi wisatawan, termasuk siswa sekolah ataupun orang yang datang untuk penelitian.
Program lain mengikuti perkembangan zaman yang dimotori oleh Widie adalah teknologi digital. Anak-anak muda setempat yang memiliki kemampuan dalam bidang audio visual diberdayakan untuk membuat film-film dokumenter tentang potensi kampung setempat.
”Kemarin baru selesai pelatihan dengan sutradara film dokumenter. Kami fokus bercerita tentang kampung kami dulu,” kata mantan wartawan di beberapa media lokal itu.
Melalui berbagai upaya itu, Widie berharap ke depan tidak hanya anak-anak desa menjadi cerdas, tetapi juga ekonomi masyarakat meningkat. Dia mengakui keberlangsungan program pemberdayaan di desa itu bukan semata karena jerih payahnya saja. Ada sejumlah donatur/CSR dan sukarelawan yang membantu mewujudkannya.
Nama: Widie Nurmahmudy
Lahir: Banyuwangi, 30 Juni 1979
Istri: Novita
Anak: Syamsul Arifin dan Nata Pradipa AR
Pendidikan: Madrasah Aliyah