Proses kreatif Ahmad Tohari berawal dari kegelisahannya melihat fenomena kelaparan di masa muda.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Ahmad Tohari seusai peluncuran Museum Virtual Ahmad Tohari di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (15/9/2023).
Novelis Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari mengisahkan pengalaman masa remajanya yang mendorongnya untuk menulis trilogi yang kini sudah memasuki cetakan ke-21. Masa kelam kelaparan yang melanda desanya menjadi titik tolak proses kreatifnya. Dari kegelisahan, lahirlah tulisan yang hidup dan menjadi salah satu kebanggaan dunia sastra Indonesia.
”Mengapa saya menulis? Karena saya gelisah,” kata Ahmad Tohari dalam peluncuran Museum Virtual Ahmad Tohari di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (15/9/2023).
Tohari menyampaikan, saat duduk di bangku SMP sekitar tahun 1960, Presiden Soekarno menerapkan politik berdikari yang membuat tidak ada impor beras, tidak ada bantuan dari negara lain. Hal itu, kata Tohari, menyebabkan kelaparan di desanya. ”Orang-orang miskin di kampung kelaparan. Pengalaman menghadapi kelaparan di sekeliling saya itu sangat memengaruhi penulisan novel,” tuturnya.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Ahmad Tohari memberikan sambutan pada peluncuran Museum Virtual Ahmad Tohari di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (15/9/2023).
Salah satu pengalaman yang paling berkesan dan diingat oleh Tohari adalah ketika malam bulan purnama yang biasanya menjadi momentum anak-anak desa keluar rumah dan bermain bersama, tapi saat itu justru sepi. ”Saya mengajak teman-teman saya saat itu bermain (tetapi) tidak mau bergerak karena katanya ’saya tidak makan sore tadi’,” ujar Tohari.
Kemudian pengalaman di masa SMA yang berbarengan dengan peristiwa 1965 juga mewarnai kisah dalam novel Tohari. ”Saya menyaksikan orang-orang yang dianggap terlibat PKI ditembaki di depan umum,” tuturnya.
Tohari terpanggil menuliskan kisah-kisah kelam saat itu dalam bentuk novel agar generasi mendatang juga mengenal dan mengetahui apa yang terjadi dalam sejarah bangsa ini. ”Kalau tidak ada sastrawan yang berani menulis seperti itu, bagaimana adik-adik kita yang kecil tahu apa soal tahun 1965,” katanya.
Lewat peluncuran Museum Virtual Ahmad Tohari, kisah hidup dan karya-karya novelis asal Banyumas ini didokumentasikan secara digital dan bisa dinikmati di dunia maya dengan media audiovisual yang dikemas kekinian. Tohari berharap media ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk bisa berkarya dan mengembangkan literasi Indonesia.