Odo Hadori, ”Arsitek” Kincir Air Tasikmalaya
Kincir air menjadi satu-satunya harapan Odo Hadori dan puluhan petani tadah hujan di Sukasirna tetap berpenghasilan saat kemarau.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F15%2F457808ad-9adf-4289-bc37-7255bd239f4b_jpg.jpg)
Odo Hadori
Kincir air raksasa kembali berputar di tepi Sungai Citanduy di Kampung Sukasirna, Desa Cimanggung, Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Odo Hadori (70), petani setempat, lulusan sekolah rakyat kembali menjadi arsiteknya.
Kemampuan Odo nyata. Karyanya membuat puluhan petani tetap bisa bekerja di tengah kemarau panjang. Ujungnya, mereka tetap tangguh ikut memasok bahan pangan untuk warga Ibu Kota.
Kincir berdiameter 5,5 meter itu berada di atas kepalanya saat Odo menceburkan diri ke aliran Sungai Citanduy, Rabu (13/9/2023). Dengan tangannya, ia lantas mengambil ranting hingga batang pisang yang hanyut bersama air Citanduy yang sudah surut. Kemarau membuat ketinggian air sungai yang sebelumnya mencapai 5 meter menjadi kurang dari 1 meter.
”Sampah bisa merusak jari-jari dan wadah pengambil air kincir. Jadi harus sering-sering dicek supaya bisa bertahan lama, bisa sampai setahun. Kincir harus disayang seperti anak sendiri,” kata Odo di Sukasirna, sekitar 90 kilometer dari Kota Bandung.
Baca juga: Asuransi dan Kincir Air Jadi Amunisi Petani Hadapi Perubahan Iklim
Tidak berlebihan apabila Odo menaruh perhatian besar pada kincir itu. Keberadaan kincir menjadi satu-satunya harapan dia dan puluhan petani tadah hujan di Sukasirna tetap berpenghasilan saat kemarau. Kincir mengantarkan air sungai ke sawah tadah hujan para petani.
”Tahun ini ada empat kincir. Semua dibuat bersama-sama oleh puluhan warga selama seminggu,” kata Odo, pemilik sawah seluas 500 bata atau setara 7.000 meter persegi.
Hasilnya sesuai harapan. Petani Sukasirna tetap menanam dan yakin bisa panen November 2023. Di saat tidak banyak sawah dibiarkan tidak tergarap atau puso, mereka berharap bisa panen minimal 6 kilogram per 14 meter persegi.
Baca juga: Sandi Adam, Bangun Kemandirian Pilah Sampah
”Bila gabah kering panen laku Rp 7.500 per kg, saya mungkin bisa dapat sedikitnya Rp 20 juta. Beras kami biasanya dibeli pengepul dan dijual ke Jakarta. Kreativitas warga kampung ikut membuat warga Ibu Kota tetap bisa beli beras,” kata Odo sembari tertawa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F13%2F81dcc63e-9896-40b9-8a36-3968f3507397_jpg.jpg)
Odo Hadori memeriksa kelayakan kincir air yang dibuat dari bambu dan kayu, Rabu (13/9/2023). Air dari kincir digunakan mengairi sawah tadah hujan.
Ingatan kuat
Odo merendah saat menyebut perannya tidak lebih besar dari warga lain. Dia punya banyak peran vital.
Sejak 40 tahun terakhir, dia adalah ”arsitek” kincir air Sukasirna. Odo tidak memiliki cetak biru.
Kemampuan warga membuat as dari kayu nangka hingga menganyam bambu untuk jari-jari kincir tertanam dalam ingatan. Meski lansia, memorinya masih sangat kuat.
Ilmu membuat kincir, kata Odo, didapat dari almarhum kakeknya, Tamri. Sekitar tahun 1960, Tamri membuat kincir pertama bersama rekan-rekannya.
Odo menyebut, tidak ada transfer ilmu khusus dari kakeknya. Odo kecil hanya diminta melihat dan membantu pembuatan kincir.
”Tempokeun, kerjakeun (lihat, kerjakan),” menirukan pesan kakeknya.
Perlahan Odo kian mahir. Hingga tahun 1980, saat kakeknya tiada, dia mulai percaya diri membuat kincir sendiri. Ide tetap darinya. Eksekusinya dikerjakan bersama warga.
”Sampai sekarang setiap kemarau saya selalu diminta buat kincir. Kebetulan, kincir ini hanya dibuat saat kemarau ketika sungai surut. Bila hujan, arus sungai Citanduy sangat deras sehingga mudah merusak kincir,” kata Odo.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F13%2F4168c2a0-efbd-4182-b099-63ab6c4c73af_jpg.jpg)
Petani di Sukasirna, Desa Cimanggung, Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat tetap menanam meski musim kemarau, Rabu (13/9/2023). Airnya dari Sungai Citanduy yang disalurkan lewat kincir air swadaya warga.
Awal Agustus 2023, saat kemarau datang lagi, ingatan Odo kembali jadi andalan. Kemampuan menganyam bambu untuk membuat jari-jari hingga teknik menjalin ikatan di setiap komponen kincir kembali diamalkan.
Baca juga: Ali Rokhman dan Nurul Iman, Menata Senyum Wajah Desa
Dibantu lebih kurang 30 warga petani yang memiliki sawah di tepi Citanduy, kincir kembali dibuat. Dalam seminggu, mereka membuat empat kincir untuk mengairi 4 hektar sawah.
Odo juga salah satu penyandang dana pembuatan kincir. Tahun ini, misalnya, dia mengeluarkan Rp 1,5 juta untuk membuat satu kincir.
Uang diambil dari tabungannya. Odo sadar, tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah atau swasta, semua harus dibiayai sendiri.
Sampah bisa merusak jari-jari dan wadah pengambil air kincir. Jadi harus sering-sering dicek supaya bisa bertahan lama, bisa sampai setahun. Kincir harus disayang seperti anak sendiri.
”Tidak semua petani mengeluarkan dana karena terkendala ekonomi. Namun, mereka mau menyumbangkan tenaga untuk membuat kincir. Setelah air mengalir, semua bisa sama-sama memanfaatkannya,” kata Odo, pemilik sawah seluas 500 bata atau setara 7.000 meter persegi.
Akan tetapi, bukan rupiah yang ia cemaskan. Odo menyebut, setiap tahun, kondisi alam kini selalu berubah. Hal itu membuat perhitungan dan pengetahuan masa lalu miliknya butuh selalu diperbarui.
Dia mencontohkan dari minimnya jumlah kincir yang dibuat. Empat kincir, katanya, jauh lebih sedikit ketimbang sebelumnya, yang mencapai 12 unit.
”Tahun ini, Juli masih hujan. Namun, menginjak Agustus, hujan tiba-tiba berhenti dan cuaca menjadi sangat panas. Tidak ingin padi mati, kami hanya sempat buat empat kincir,” katanya.
Bambu, bahan baku utama kincir, juga semakin tidak mudah didapat. Bila dulu diambil dari hutan sekitar tempat tinggal, kini Odo harus membeli bambu ke pedagang.
Dia setidaknya butuh tiga jenis bambu. Bambu gombong untuk menyalurkan air. Ada juga bambu apus sebagai bahan tali-temali. Sementara bambu aur untuk siku hingga pembuatan diameter kincir.
”Delapan tahun lalu saya hanya mengeluarkan Rp 600.000 per kincir. Sekarang butuh Rp 1,5 juta per kincir,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F13%2Fa377332a-c266-4382-a3fa-678153c25183_jpg.jpg)
Petani di Sukasirna, Desa Cimanggung, Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat membersihkan sampah diantara kincir air, Rabu (13/9/2023). Kincir di Sungai Citanduy itu selalu dibuat saat kemarau tiba.
Erosi Sungai Citanduy juga membuatnya cemas. Beberapa sawah warga sudah hilang tergerus air.
Odo menduga, kondisi alam di Citanduy tidak sebaik dulu. Banyak pohon ditebang sehingga kawasan itu minim pengikat air. Hal ini memicu erosi.
Baca juga: Wijaya Bodro Wardani, Sanitasi Aman untuk Warga
”Idealnya dinding sungai yang tergerus diperkuat. Kalau ada yang mau membantu, kami sangat berterima kasih,” katanya.
Belajar bersama
Sejauh ini, Odo mengatakan, kincir air sudah diapresiasi beberapa pihak. Namun, apresiasi justru lebih banyak datang dari luar Jabar.
Beberapa kali warga Sukasirna kedatangan petani dari Jawa Timur, Sulawesi Tengah, hingga Papua. Mereka meminta Odo membuat kincir air serupa.
Sejauh ini, Odo belum bisa mengabulkan keinginan itu. Ketimbang membuatkan, dia ingin petani dari luar daerah itu belajar di Sukasirna. Dia cemas, bila sekadar dibuatkan, kincir tidak akan bertahan lama.
”Kebetulan permohonan itu belum bisa kami penuhi. Kami ingin mereka ikut belajar membuatnya di sini. Kalau dibuatkan begitu saja, khawatir mereka sulit merawatnya. Ujungnya, kincir bakal rusak. Sayang kalau sudah begitu,” kata Odo.
Odo tidak asal bicara. Dia sudah membuktikannya. Belajar bersama memberi banyak manfaat. Sejumlah anak muda Sukasirna yang belajar kepadanya kini piawai membuat kincir.
Adim (36), petani Sukasirna, mengatakan, Odo adalah panutan warga. Odo tidak pelit ilmu. Siapa saja yang mau belajar selalu diterima dengan tangan terbuka.
”Beliau mengajarkan dengan contoh. Tidak banyak bicara, tapi selalu punya solusi kalau kami kesulitan,” kata Adim yang tahun ini juga menyisihkan Rp 1,5 juta untuk membuat satu kincir.
Adim menyatakan tertarik belajar membuat kincir air karena sudah merasakan manfaatnya. Kincir jauh lebih hemat dibandingkan dengan mengairi sawah menggunakan pompa berbahan bakar bensin saat kemarau.
Dengan pompa, warga harus mengeluarkan biaya Rp 80.000 per hari untuk membeli 8 liter bensin. Bila dinyalakan setiap hari selama 90 hari saja, ongkos bahan bakarnya bisa mencapai Rp 7,2 juta.
Bahkan, Adim mengatakan, kincir ini bisa menjauhkan konflik antarpetani saat berbagi air. Atas kesepakatan bersama, sawah yang letaknya paling tinggi mendapat air terlebih dahulu.
”Kalau air hujan berlimpah, petani justru kesulitan membaginya. Ujungnya, petani berebut. Inginnya menanam sama-sama, tapi justru rentan berkelahi,” kata Adim.
Odo tersenyum saat mendengar Adim menyebutkan beragam manfaat kincir. Lebih dari sekadar mengairi sawah dan memberi penghasilan warga, kincir ternyata membawa pesan damai bagi semua yang membuatnya.
”Kalau sudah begini, tidak ada alasan untuk tidak membuat kincir air setiap musim kemarau kan?” kata Odo tertawa bahagia.
Biodata
Nama: Odo Hadori
Tempat, Tanggal Lahir: Tasikmalaya, 22 Agustus 1953
Anak: 5
Pendidikan terakhir: Sekolah Rakyat di Rajapolah