Ahdiani, Menjaga Kekah agar Tidak Punah
Pemburu membunuh induk kekah atau monyet endemik Natuna untuk merampas bayinya. Kemarahan dan rasa iba mendorong Ahdiani (42) membentuk komunitas untuk melindungi satwa langka itu.
Sebuah sepeda motor melaju pelan di tengah perkebunan karet. Dua mobil membuntuti di belakang. Dari balik kaca jendela yang terbuka sedikit, beberapa pasang mata mengintip ke pucuk-pucuk pohon karet.
Si penunggang motor adalah Ahdiani. Ia mencangklong kamera dan binokular di pundaknya. Beberapa kali ia mengitari jalan perkebunan yang berdebu. Namun, mahluk yang dicari tak juga menampakkan diri.
”Kalau kekah tidak muncul, itu bukan semata-mata karena mereka hewan pemalu. Itu karena mereka cerdas. Mereka tahu manusia tidak bisa dipercaya,” kata Ahdiani kepada para wisatawan.
Kekah (Presbytis natunae) merupakan monyet endemik Pulau Bunguran, Natuna, Kepulauan Riau. Pulau Bunguran merupakan pulau terbesar sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Natuna yang terdiri atas 154 pulau.
Kekah salah satunya dapat ditemukan di hutan dekat Desa Mekar Jaya, tempat Ahdiani dan keluarganya bermukim. Hutan Mekar Jaya luasnya sekitar 4.100 hektar. Di sana, ada 10 kelompok kekah yang telah teridentifikasi keberadaannya. Menurut Ahdiani, setiap kelompok itu terdiri atas 8 sampai 24 ekor.
Ciri khas kekah adalah perpaduan bulunya yang berwarna hitam dan putih. Di bagian wajah, warna bulu monyet itu menyerupai kacamata. Pola itu hanya dapat dilihat pada kekah dewasa karena ketika masih bayi tubuh kekah seluruhnya berwarna putih.
Dalam penelitian oleh Martjan Lammertink pada 2003, populasi kekah disebutkan kurang dari 10.000 ekor. Kekah juga berada pada kategori vulnerable dalam daftar organisasi International Union for the Conservation of Nature (IUCN).
”Kemungkinan besar saat ini populasi kekah sudah jauh berkurang dari yang ditemukan Lammertink pada 2003. Itu disebabkan oleh maraknya perdagangan satwa,” ujar Ahdiani.
Menurut dia, anak kekah merupakan yang paling diincar pemburu untuk ditangkap dan dijual hidup-hidup. Biasanya, kekah dari Natuna dikirim ke Vietnam, lalu dijual lagi oleh sindikat ke negara-negara lain.
”Cara pemburu menangkap bayi kekah sangat kejam. Mereka biasanya menembak induk kekah, atau mengejar-ngejar induk kekah hingga stres dan meninggalkan anaknya,” ucap ayah tiga anak itu.
Komunitas
Pada 2018-2020, Ahdiani kerap berjumpa dengan peneliti primata yang datang ke Natuna untuk melakukan riset tentang kekah. Perjumpaan itu semakin menumbuhkan kepedulian dia terhadap nasib satwa langka tersebut.
”Kekah digadang-gadang sebagai ikon Natuna, tetapi sama sekali tidak ada upaya pelestarian. Padahal, kekah sudah di ambang punah,” kata Ahdiani.
Oleh karena itu, pada Januari 2021, Ahdiani membentuk komunitas Mantau Kekah. Anggota komunitas ada 10 orang yang mayoritas pemuda. Mereka ingin mengajak orang banyak lebih dekat mengenal kekah agar tumbuh rasa peduli.
”Itu sebabnya, kami mengadakan kegiatan kekah watching untuk melihat hewan itu di habitat aslinya. Mengagumi satwa itu di alam, bukan di kandang. Apa salah kekah sehingga harus dipenjara dalam kurungan,” ujarnya.
Komunitas Mantau Kekah merangkai kegiatan kekah watching dengan wisata lain di sekitar Desa Mekar Jaya. Di desa itu juga terdapat hutan bakau yang disebut sebagai salah satu yang terluas di Kepri.
”Untuk melihat kekah, biasanya tidak cukup datang satu hari. Itu sebabnya, biasanya kami menganjurkan wisatawan untuk menginap satu atau dua malam di pondokan yang dibangun warga di tengah hutan bakau,” kata Ahdiani.
Selain hutan bakau, Desa Mekar Jaya juga memiliki potensi wisata bahari. Selain melihat kekah dan bakau, turis juga bisa menyelam untuk menikmati keindahan terumbu karang di Pulau Burung yang terletak tidak jauh dari pesisir.
Sebenarnya, profesi utama Ahdiani adalah kepala sekolah di salah satu sekolah dasar. Kesempatan dia untuk bergiat di komunitas Mantau Kekah terbatas. Oleh karena itu, ke depan ia ingin komunitas itu lebih banyak digerakkan oleh pemuda di Desa Mekar Jaya.
”Kalau ada peneliti satwa datang ke Natuna, saya pasti berusaha ’menculik’ mereka ke Mekar Jaya. Pemuda di sini butuh edukasi agar tumbuh kepedulian untuk melestarikan alam dan satwa,” ucapnya.
Konflik satwa
Sejak dulu kala banyak warga Mekar Jaya menanam karet di perbatasan antara hutan dan desa. Kebun karet itu akhirnya menarik kedatangan kekah mendekat ke rumah-rumah warga.
Kekah gemar memakan daun karet yang masih muda. Selain itu, mereka juga memakan biji karet yang telah jatuh ke tanah. Sampai saat ini, hal itu tidak menimbulkan masalah dengan warga.
Yang kadang menjadi masalah adalah ketika kekah memakan buah rambutan dan matoa yang ditanam warga. Selain itu, kekah juga banyak memakan singkong warga.
Di tengah harga karet yang terus menurun saat ini, sejumlah warga berencana mengganti tanaman kebun mereka. Jika pohon karet tidak ada lagi, maka akan lebih banyak kekah menyerbu kebun buah dan kebun singkong warga.
”Itu akan menyebabkan konflik satwa dan warga semakin rawan terjadi. Ini harus segera dicari solusinya,” ucapnya.
Selain soal konflik satwa, masalah lain yang perlu segera dicari solusinya adalah soal penyelamatan kekah. Warga sering menemukan kekah yang terluka dan ditinggal kelompoknya. Juga beberapa kali aparat menyelamatkan kekah yang akan diperdagangkan oleh sindikat.
”Komunitas kami belum mampu menangani kekah yang diserahkan warga dan aparat untuk dikembalikan ke alam. Pelepasliaran sudah pernah kami lakukan, tetapi kekah itu tidak diterima lagi di kelompoknya,” ujar Ahdiani.
Dia bermimpi komunitas peduli satwa seperti Mantau Kekah dapat muncul di pulau lain di Natuna. Beberapa pulau di Natuna memiliki hewan endemik sendiri, misalnya tarsius di Pulau Subi dan lutung perak di Pulau Serasan.
”Di Pulau Tiga dulu ada burung sejenis murai batu, tetapi sekarang sudah tidak terlihat lagi karena banyak diburu. Jangan sampai kepunahan satwa seperti itu terjadi lagi di pulau-pulau lain,” ucapnya.
Ahdiani
Lahir: Kabupaten Natuna, 10 Mei 1981
Istri: Titin Sumarni
Anak: 3
Pendidikan: Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Tanjungpura