”Jika kita bekerja untuk kemanusiaan, berkat akan hadir pada waktunya,” ujar Benedikta alias Noben, sukarelawan yang mengurus jenazah pekerja migran ilegal asal NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Dua puluh tahun sudah Benedikta Antonela Dasilva (55) bekerja untuk kemanusiaan. Ia mengurus jenazah pekerja migran ilegal yang meninggal di luar negeri dan memberi perlindungan bagi korban kekerasan.
Selasa (11/7/2023), Benedikta, yang lebih dikenal dengan nama Noben, sibuk memproses perjalanan pulang dua warga Timor Tengah Selatan dan Malaka yang dideportasi Pemerintah Malaysia. Sehari sebelumnya, ia mengurus jenazah Niko Ola, warga Adonara yang meninggal di Malaysia. Jenazah itu dikirim melalui Kupang dengan kapal Feri menuju Pelabuhan Waibalun Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Dari pelabuhan itu, jenazah dibawa ke Pelabuhan Feri Larantuka dengan ambulans yang diusahakan Noben. Lantas, jenazah diseberangkan ke Adonara dan dibawa ke kampung tujuan di Witihama.
Adakalanya, jenazah warga Flores Timur yang meninggal di luar negeri dikirim melalui feri menuju Lewoleba, Kabupaten Lembata. Itu terjadi pada jenazah Agnes Peni Muda yang dikirim dengan KMP Bukit Siguntang, akhir Juni lalu.
Noben tinggal di Larantuka. Untuk sampai ke Lewoleba dan mengurus jenazah Agnes, ia harus menyeberang dengan kapal laut selama empat jam. Dari Lewoleba, ia membawa jenazah kiriman dari Selangor, Malaysia itu, dengan kapal ke Pulau Solor. Setelah itu, jenazah diangkut dengan mobil pikap menuju Desa Tanah Lein di Kecamatan Solor Barat.
”Jalannya berbatu dan berlubang. Perjalanan tidak mudah. Perlu waktu, tenaga, biaya, dan kerelaan mengabdi,” ujar Noben menceritakan perjalanannya mengantar jenazah pekerja migran ilegal itu.
Sering kali, ia mengantar jenazah pekerja ilegal ke desa-desa terpencil dengan fasilitas transportasi sangat terbatas. Bahkan, ia kerap mengantar jenazah ke desa yang belum bisa dilalui mobil. Akhirnya, jenazah terpaksa ditandu dari desa terjauh yang masih bisa dilalui mobil hingga ke desa tujuan.
Keluarga pekerja migran yang telah dibantu Noben sangat menghargai pengabdian perempuan itu. Setiap mengantar jenazah ke sebuah kampung, Noben selalu disambut dan dikalungi selendang sebagai tanda penghormatan.
Sejak tahun 2004, Noben telah mengurus lebih dari 100 jenazah pekerja migran dan lebih dari 50 pekerja migran asal NTT yang dideportasi ke kampungnya. Noben mengerjakannya dengan sukarela. ”BP2MI NTT membantu uang sesuai biaya transportasi jenazah ke kampung asal. Saya sendiri tidak digaji,” ujar Noben.
Selain mengurus jenazah, Noben juga mengurus kaum perempuan dan anak-anak korban perdagangan orang, perempuan kekerasan dalam rumah tangga, serta orang-orang yang telantar. Ia membangun sebuah rumah singgah di Larantuka sejak 2020. Setidaknya ada 648 orang yang telah ditampung di rumah singgah yang berdiri berkat bantuan para dermawan.
Masalah kemanusiaan
Noben mulai terjun sebagai sukarelawan masalah kemanusiaan sejak 2003 melalui Yayasan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk-F), di Maumere. Yayasan itu menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Ia juga bergabung dengan Yayasan Ford Flotim, dipimpin RD Frans Amanue Pr (alm). Ia mau melakukan hal itu karena ia sendiri pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
”Pengalaman ini juga yang mendorong saya membantu korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), khususnya pekerja migran sejak 2004,” kata Noben. Saat itu ada kasus penganiayaan pekerja migran ilegal asal Timor Tengah Selatan, Nirmala Bonat, yang bekerja di Malaysia.
Noben saat itu pergi ke Kupang, bergabung dengan sejumlah perempuan sukarelawan untuk menggelar aksi kemanusiaan mendorong proses hukum terhadap majikan Nirmala dan calo perekrut. Lantas ia pergi ke sejumlah desa untuk memberikan pemahaman kepada para pencari kerja tentang bahaya menjadi pekerja migran. Selain itu, ia juga bertemu dengan anggota staf BP3PMI NTT dan beberapa sukarelawan pekerja migran Indonesia. Setelah bertemu mereka, Noben memutuskan ikut menangani kasus TPPO. Ia menjalin kerja sama dengan BP2PMI NTT di Kupang.
Ia bergerak bersama sejumlah sukarelawan di Larantuka. Mereka adalah para istri atau suami yang pasangannya pergi merantau lalu memilih menikah lagi di tempat perantauan. Selain itu, ada juga sukarelawan dengan latar belakang anak-anak korban perdagangan seksual. ”Korban tindak pidana perdagangan orang itu tidak hanya pekerja migran, tetapi juga anak-anak remaja yang telantar di kampung setelah ditinggal pergi kedua orangtua,” kata Noben.
Noben sempat menemui ratusan pekerja asal NTT di sejumlah wilayah di Kalimantan. Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Sebagian dari mereka membawa anak dan istri ke kamp penampungan di perkebunan sawit. ”Tetapi, para pekerja asal NTT di perkebunan sawit Kalimantan lebih leluasa bergerak. Mereka bisa jalan bebas ke kota, berobat, berbelanja, dan rekreasi saat hari libur. Beda dengan para pekerja migran ilegal yang ada di luar negeri seperti Malaysia. Mereka tidak bisa ke mana-mana,” kata Noben.
Orangtua tunggal yang memiliki lima anak itu menuturkan, kasus yang paling menyedihkan ia temukan saat mengunjungi Nunukan. Di sana ia mengetahui bahwa calo-calo pekerja migran Indonesia sangat kejam dalam memperlakukan calon pekerja migran ilegal asal NTT. Mirisnya, para calo itu adalah orang-orang NTT sendiri, bahkan orang yang sekampung dengan calon pekerja migran.
Mereka tega memeras calon pekerja migran yang notabene adalah warga miskin dari kampung miskin. Akibatnya, para calon pekerja migran itu terpaksa meminjam sejumlah uang atau menjual tanah warisan leluhurnya.
Satu calon pekerja migran ilegal dipaksa membayar antara Rp 5 juta-Rp 11 juta. Calo-calo itu memperdaya calon pekerja migran dengan cerita-cerita seram dan mereka menampilkan diri sebagai ”malaikat” penyelamat. Mereka bilang, jika melalui mereka, para calon pekerja migran bisa selamat sampai ke tempat tujuan di Malaysia.
”Saya ’perang’ hebat dengan para calo di sana. Akhirnya mereka mengakui kesalahan dan ingin menghentikan tindakan pemerasan,” kata Noben.
Noben telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membantu warga NTT yang menjadi korban TPPO dan kekerasan. Ia akan terus bergerak di jalur itu demi kemanusiaan. ”Jika kita bekerja untuk kemanusiaan, berkat akan hadir pada waktunya,” ujar Noben.
Benedikta Antonela Dasilva
Lahir: Larantuka, 26 Maret 1968
Pendidikan: lulus Sekolah Pendidikan Guru di Jakarta