Pada satu kesempatan Sandy mengenalkan rinding di sebuah forum dan ditolak karena dianggap mengada-ada. Kini temuannya diakui berkat ketelatenannya menyusun narasi dan mencari bukti.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
DZ Sandyarto alias Bejo Sandy (51) tergerak merevitalisasi rinding setelah mengetahui bahwa alat musik harpa mulut itu menyimpan kearifan lokal dan identitas masyarakat Malang, Jawa Timur. Berkat ketelatenannya, kini terpetakan keberadaan rinding berikut variannya di seluruh Nusantara.
Suatu malam pada akhir Mei 2023, Sandy bercerita panjang lebar tentang rinding ditemani gorengan dan kopi hangat untuk mengusir hawa dingin Malang di Galeri Bejo (Galejo). Di depan kami, terpampang peta Indonesia seukuran meja belajar. Hampir di seluruh bagian peta itu tertempel rinding berikut variannya mulai dari Papua hingga ujung barat Sumatera. ”Itu hasil pemetaan kami sementara ini,” kata Sandy.
Sandy hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya yang seorang tentara. Dia lahir di Ambon dan pernah mencicipi hidup di Jakarta, Karawang, Makassar, Yogyakarta, dan akhirnya Malang. Pada awal 1990-an, dia sempat menjadi anak Gang Potlot, markas Slank. Di sini, kegemarannya main musik terasah. Waktu itu, dia sambil kuliah arsitektur di Universitas Borobudur.
Ketika pindah ke Malang, dia mendirikan Slank Fans Club sembari merintis langkah untuk merealisasikan pendirian kelompok teater, yang ternyata baru terlaksana tahun 2012. Di teater inilah dia membutuhkan musik latar dan membuat sendiri bunyi-bunyian yang direkam lalu diputar secara loop. Itu lantaran dia khawatir melanggar hak cipta jika harus menggunakan musik latar dari internet.
Bunyi-bunyian itu dia hasilkan dari bambu. ”Yang penting keluar bunyi,” kata Sandy sambil menceritakan saat itu belum fokus untuk menggunakan alat musik jenis tertentu.
Dari situlah dia mendapat kabar bahwa di Malang pernah ada alat musik bernama rinding. Itu pun sifatnya masih sayup-sayup karena keberadaannya belum bisa dilacak dengan baik. Bisa dikatakan upaya revitalisasi itu dia mulai tahun 2012 karena terdorong rasa penasaran akan cerita para orangtua bahwa Malang punya rinding. Sandy melacak lebih jauh cerita tentang rinding ini, tetapi kesulitan lantaran hampir tak ada sumber tertulis dan barang fisiknya juga tak ada.
Maka pada 2017, Sandy mengubah strategi dengan mengajak seniman dan pemerhati kesenian untuk melakukan revitalisasi rinding. Strategi itu dia jalankan lewat program Edukasi, Aplikasi, Dokumentasi, dan Literasi (EADL) Indonesian Mouth Harp (IMH). Dia melacak keberadaan rinding atau tempat-tempat yang pernah menjadi kantong permainan rinding lewat beberapa jaringan, seperti karang taruna, perkumpulan pemuda, dan komunitas literasi.
Dalam beberapa kali sosialisasi di bantu rekan-rekannya dengan menggunakan karinding, harpa mulut dari Jawa Barat, dia kerap mendapati orang yang mengaku kenal alat musik tersebut. ”Iku dolananku biyen. Nok Malang yo akeh (Ini mainanku dulu. Di Malang juga banyak),” kata Sandy menirukan ucapan orang tua di Malang ketika mendengar bunyi karinding. Dari situ dia melacak lebih jauh. Dia mendapatkan informasi verbal bahwa rinding memang pernah ada di beberapa titik. Selain rinding, mereka menyebut harpa mulut itu dengan nama runding, lindring, rendhing, dan genggong.
Adapun penyebarannya hampir di seluruh wilayah Malang hingga daerah perbatasan dengan Blitar di Brongkos.
Sandy menjelaskan, rinding malang ialah instrumen musik berbahan bambu dengan ketebalan sekitar 0,3 sentimeter (cm), lebar 2 cm, dan panjang sekitar 30-40 cm. Pada bagian tengah terdapat batang kecil mirip jarum sepanjang 16 cm yang akan bergetar dan mengeluarkan bunyi apabila ditarik. Pada salah satu ujung rinding dilengkapi tali penarik jarum tersebut. ”Ada juga instrumen sejenis bernama 'nuthul' yang dimainkan dengan cara disentuh,” kata Sandy.
Mengenalkan
Berbekal pengetahuan itu, Sandy mencoba mengenalkan rinding malang ke beberapa forum kebudayaan, salah satunya forum yang membahas Pokok Pemikiran Kebudayaan Daerah (PPKD). Sandy mengingat forum itu terjadi pada 2017. Saat itu forum tersebut mengakui bakso malang, bantengan, topeng malang sebagai bagian kebudayaan Malang. Sayangnya rinding malang ditolak.
Sandy memahami itu karena masih sangat minim orang yang mengetahuinya. Yang penting bagi Sandy forum tersebut sudah menyimak bahwa dia memaparkan rinding malang.
Beberapa hari kemudian, dia diwawancara wartawan dan muncul tulisan tentang warisan budaya tak benda (WBTB). Selain Sandy, si reporter juga mewawancarai Dwi Cahyono yang dikenal luas di Malang sebagai arkeolog dan sejarawan. Menyimak paparan Dwi, Sandy merasa mendapat afirmasi. Rinding katanya sudah ada sejak era Kerajaan Kediri. Sandy pun kian gencar merevitalisasi rinding.
Pada saat itu, dia juga bermain media sosial dan mempromosikan rinding, lalu menemukan bukti baru bahwa alat musik serupa rinding ada banyak di negeri ini. Ada teman di Facebook yang cerita pernah melihat kakeknya punya alat seperti itu tapi sudah hilang. ”Dikirim foto lalu saya bikin dan bisa bunyi. Persis,” kata Sandy.
Saat ini setidaknya Sandy sudah memetakan ada 19 alat musik harpa mulut sejenis rinding di seluruh Nusantara. Salah satunya dari Biak, Teluk Cendrawasih, Papua. Dia mendapat alat musik itu ketika pesepak bola Boaz Solossa bermain di Malang dan membawa temannya dari Papua. Temannya itu membawa alat musik serupa rinding yang disebut pikon.
Makin hari, pengetahuan Sandy tentang rinding kian tebal dan oleh sebab itu dia ingin membuat buku sebagai rujukan. Kerja keras Sandy dibantu rekan-rekannya diganjar, antara lain, sebagai salah satu juara Satu Indonesia tingkat provinsi Jawa Timur pada 2018.
Malam itu, di pengujung perbincangan tentang rinding, Sandy mengajak serta anaknya bermain rinding. Rupanya suara indah rinding memancing dua pelancong untuk berhenti dan mengabadikan aksi Sandy. Mereka yang mengaku dari Korea itu lantas bertanya banyak hal dan diladeni Sandy dengan sabar. Memang merevitalisasi rinding tak hanya butuh kemampuan teknis dan pengetahuan yang cukup, tetapi juga harus bisa meyakinkan orang.
DZ Sandyarto
Nama panggilan: Bejo Sandy
Lahir: Ambon, 12 Mei 1972
Pekerjaan: Seniman
Pendidikan:
-S-1 Arsitektur, 2007.
Prestasi (antara lain):
- 2014, Duta BNN Kota Malang
- 2019, Juara I Lomba Patrol dan Juara I Musik Angklung Tradisional bersama Rinding Malang, Malang
- 2020, Rinding Malang diterima pencatatan WBTB (Warisan Budaya TakBenda) dalam Domain Seni Pertunjukan
- 2021, IMF (International Mask Festival) bertema ”Panji Road To Jalan Rempah”, SIPA Festival, di nDalem Purwohamijayan, Solo