Siti Saudah, Pengabdian Guru di Daerah Pelosok Sumba
Sudah enam tahun Siti Saudah membaktikan dirinya di sekolah terpencil di Nusa Tenggara Timur.
Enam tahun mengabdi di pedalaman Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Siti Saudah berkarya melebihi tugasnya sebagai seorang guru. Ia telanjur mencintai daerah itu seperti halnya rasa hormat dan penghargaan yang diberikan masyarakat setempat kepada dirinya.
Kini ia menjadi kepala sekolah di SD Inpres Langira setelah enam tahun menjadi guru kelas di SDN Lawinu Tanarara, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur. Demi mencerdaskan anak bangsa di sana, dia rela meninggalkan zona nyaman di Pati, Jawa Tengah. Pati merupakan daerah yang relatif maju, sedangkan sekolah itu berada di pedalaman. Butuh perjalanan jauh dan melelahkan dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur.
Waktu perjalanan yang lama lantaran kondisi jalanan yang sebagian ruasnya rusak parah. Tak semua kendaraan bisa melewatinya. Siti biasa menumpang mobil bergardan ganda dengan waktu tempuh paling cepat tiga jam. Ada pilihan lain, yakni truk dengan waktu tempuh hingga enam jam.
”Jika musim hujan, waktu tempuh bisa lama lagi,” ujarnya saat dijumpai di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (18/6/2023), pada peluncuran buku Kisah Transformasi Pembelajaran di Daerah yang diterbitkan oleh Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi).
Sekolah tempat Siti mengajar belum memiliki fasilitas yang memadai dan lokasinya pun berada jauh di atas bukit. Kondisi tersebut memaksa anak-anak sekolah berjalan selama hampir satu jam. Mereka mendaki bukit dan menuruni lembah. Ada yang berjalan tanpa alas kaki.
Kebanyakan gedung sekolah negeri di daerah berada jauh dari permukiman penduduk. Tak hanya siswa, guru juga ikut berjalan kaki. ”Karena lahan yang diberikan untuk sekolah itu biasanya hibah sehingga pemilik lahan menunjuk yang agak jauh dari kampung, " ujarnya.
Padahal, sebelum ke sekolah, anak-anak harus bangun pagi mencari air untuk kebutuhan masak dan mandi. Daerah yang dikelilingi padang savana itu kekurangan air bersih. Di tempat tinggal Siti, misalnya, sumber air berada sekitar 300 meter dengan medan jalan menanjak dan turun curam.
Baca juga : Guru Daerah 3T Berinovasi Mencari Solusi
Saking susahnya mendapatkan air bersih, masyarakat setempat sering bercanda dengan Siti. Mereka menyarankan perempuan yang masih sendiri ini tidak perlu menanam sayur. Air yang didapat lewat perjuangan melewati bukit cukup untuk minum, masak, cuci, dan mandi. Sayuran dibeli ketika hari pasar.
Tingginya perjuangan anak-anak untuk sekolah semakin membulatkan tekad Siti untuk mengabdi di sana. Beberapa siswa yang dianggap masih perlu dibantu ia beri pendampingan khusus. Bukan hal baru jika mendapati banyak anak yang hingga kelas V SD belum dapat membaca dengan lancar.
Awal-awal berkarya di tempat ini, tak jarang Siti memandikan muridnya, bahkan memasangkan kancing baju mereka. ”Jadi, tak cuma angka dan huruf yang saya tanamkan pada siswa dan juga orangtuanya, tetapi justru terkait kesehatan dan kerapian,” ujarnya di hadapan peserta bedah buku tersebut.
Terkait kondisi itu, Siti punya kesimpulan sendiri. Selain kemampuan anak yang beragam, tidak tepatnya perlakuan terhadap anak ikut membuat anak tidak percaya diri dan minder. Dari situ, anak tak bisa membaca. Masih sering terdengar stigma dari guru dengan mengatai ”anak bodoh”.
Beberapa anak ia dampingi secara khusus. Minggu pertama, anak sudah lancar mengeja. Beberapa minggu kemudian sudah lancar membaca buku pelajaran dan buku lain di perpustakaan. ”Kuncinya bagaimana memperlakukan anak didik sebab pada dasarnya setiap anak punya kemampuan,” ucapnya.
Mengabdi di pedalaman adalah pilihan sadar Siti. Lulusan Universitas Negeri Semarang itu tertarik mengikuti program pengabdian di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) yang ditawarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2015. Sumba adalah tempat kedua.
Kuncinya, bagaimana memperlakukan anak didik sebab pada dasarnya setiap anak punya kemampuan
Pertama, ia pernah ditugaskan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Setelah satu tahun di Aceh, ia kembali ke Pati untuk mengikuti pendidikan profesi guru (PPG). Masih di program SM3T, ia kemudian mendapat tugas di Sumba, tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya.
Selain dituntut mencipta dalam pembelajaran, Siti berinisiatif membenahi manajemen sekolah, khususnya laporan keuangan dan berbagai urusan administrasi. Sudah menjadi rahasia umum, pengelolaan keuangan sekolah di pedalaman sering kali bermasalah karena sistem pertanggungjawaban secara online atau dalam jaringan.
Baca juga : Totalitas Pengabdian Guru di Daerah Terpencil
Banyak kepala sekolah dan guru yang belum menguasai perangkat itu dilatih oleh Siti. Sekolah di pedalaman bukan tak punya perangkat seperti laptop. Perangkat tersebut ada, namun tidak dioperasikan. Alasan mereka, takut rusak.
”Saya ajar semua yang saya miliki untuk mereka,” ucapnya. Kini, ada 10 guru yang bertugas di sekolah itu.
Perwakilan masyarakat
Siti yang sudah enam tahun bertugas di pedalaman Sumba memahami berbagai persoalan di sana. Dalam beberapa kesempatan, masyarakat memercayai dirinya untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dari level desa hingga kecamatan. Keterlibatannya membuat namanya dikenal luas.
Dalam forum-forum semacam itu, ia bersuara lantang meminta pembangunan infrastruktur, seperti jalan, air bersih, dan jaringan telekomunikasi. Alasannya, kesenjangan pembangunan infrastruktur berdampak pada sektor pendidikan, tempat mereka mendidik generasi muda.
Kendati belum semua harapannya terwujud, Siti tidak menyerah. Ia terus hadir mewakili kepentingan masyarakat. ”Di musrenbang, saya sering dianggap sebagai peserta yang paling cerewet. Dari situ banyak yang kenal saya, he-he-he,” ujar perempuan yang menganggap wajah babi lucu setelah memandang lama untuk menghilangkan rasa jijik pada hewan itu.
Di tengah banyak kekurangan dan kendala selama di Sumba, Siti merasa terkesan dengan masyarakat di sana. Penghargaan masyarakat terhadap dirinya sebagai guru ataupun sebagai individu dari kalangan minoritas membuatnya betah. Ia tak akan melupakan itu.
Baca juga : Seda, Kesetiaan pada Tenun Dayak Iban Sungai Utik
”Kalau ada acara adat dan sembelih hewan, seperti ayam, mereka mengerti. Saya diminta sembelih sendiri atau saya dikasih bawa ayam pulang. Kadang mereka masak, tapi di tempat terpisah. Mereka memahami itu," tutur perempuan Muslim itu.
Perlakuan baik masyarakat mengubur kekhawatirannya yang sudah timbul sebelum bertugas di sana. Datang dari jauh dan sebagai individu minoritas, yakni Muslim, perempuan, dan lajang pula, ia sempat sangat ketakutan. Kini, ia betah karena warga menganggap dirinya sebagai keluarga.
Di sana ia tinggal sendiri di rumah bekas milik warga. Ia bersama warga bergotong royong membersihkan rumah itu. Ia tidak pernah diganggu. Malahan, warga biasanya dengan sukarela menolong jika ia meminta bantuan.
Siti membagi cintanya antara Sumba dan Jawa. Setahun sekali ketika liburan kenaikan kelas, ia pulang ke Jawa untuk menengok keluarga. Setelah itu, ia kembali lagi ke Sumba. Ia tak tahu kapan akan meninggalkan tanah itu, namun yang pasti hatinya tertambat di sana.
Siti Saudah
Lahir: Pati, 26 Agustus 1989
Pendidikan:
- MI Tarbiyatul Mubtadi Pati
- MTs Negeri 1 Pati
- SMA Negeri 3 Pati
- S-1 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang
- PPG Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang
Penghargaan:
Alumnus Universitas Negeri Semarang dan Guru Pelopor Unggul yang telah memberikan dedikasi, pencapaian, dan kontribusi terhadap kemajuan pendidikan di daerah 3T 2021 dari Universitas Negeri Semarang