Cak Wito, Pemain Ludruk Terakhir
Cak Wito adalah satu-satunya pemain ludruk profesional yang tersisa di Kota Malang. Teman-temannya sudah berpulang. Sejak 2000 sepi tanggapan ludruk, sementara tuntutan kebutuhan hidup tak pernah libur.
Di teras rumah di Sawojajar, Malang, sebuah mesin jahit tertutup tumpukan kain coklat. Terdengar deru sepeda motor yang kemudian berhenti di samping mesin jahit itu. Seorang kakek turun dari sepeda motor bersama cucunya.
“Ini baru pulang jemput cucu dari sekolah,” katanya ramah sembari mempersilakan tamunya duduk. Dia lalu meminta dibuatkan kopi dan duduk di kursi menghadap jalan. ”Ini singgasana saya,” ujarnya lalu terkekeh, Selasa (16/05/2023).
Dialah YP Suwito Herry Sasmito (73) alias Cak Wito, pemain ludruk. Ludruk sepi, hampir mati. Orang-orang lebih demen nonton Youtube atau Tiktok karena penampilnya lebih menggemaskan. Lalu Cak Wito sekarang sibuk apa? ”Ya, seperti ini, dapat borongan jahitan, disambi jemput cucu,” jawabnya.
Cak Wito adalah satu-satunya pemain ludruk profesional yang tersisa di Kota Malang. Teman-temannya sudah berpulang. Sejak 2000 sepi tanggapan ludruk, sementara tuntutan kebutuhan hidup tak pernah libur. Cak Wito menyadari dia hidup di dua alam, yakni alam imajinasi yang penuh idealisme dan alam nyata yang penuh pragmatisme. Di alam imajinasi, dia bisa menjadi siapa saja mulai dari sosok yang berkuasa sampai pembantu rumah tangga. Hanya sosok Sakerah yang tak pernah dia mainkan. ”Katanya saya tidak pantas karena badan saya kecil. Paling jadi Brodin.”
Sakerah adalah pahlawan sekaligus legenda dari tanah Madura, sementara Brodin merupakan keponakan Sakerah yang berkhianat.
Adapun di alam nyata, Cak Wito harus bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup istri dan anak-anaknya. Maka ketika ludruk tak lagi mendatangkan cukup rezeki, ”Aku kursus bikin blangkon dan kursus menjahit,” ujarnya menjelaskan caranya bertahan hidup.
Dia tinggal bersama istri, anak, dan cucunya di Malang. Manggung pun sudah jarang. Cak Wito manggung terakhir pada November 2022 di Taman Krida Budaya Malang menggunakan nama Ludruk Tjap Djempol dengan lakon Lamaran. Pihak panitia meminta jumlah pemain dan pengrawit sebanyak 25 orang. Cak Wito jelas kesulitan karena regenerasi ludruk di Malang tidak berjalan dengan baik.
Tahap awal Cak Wito mendapatkan delapan pengrawit dan delapan pemain. Dia memutar akal dan mengajak beberapa mahasiswa yang pernah dia ajari main ludruk. Hari itu Cak Wito bertindak sebagai sutradara, penulis naskah, sekaligus pemeran pendukung. Tugas berlapis (multitasking) itu mudah saja baginya lantaran selama 10 tahun sejak 2004 dia pernah mengerjakan hal serupa saat membantu legenda ludruk Jawa Timur, Kartolo, mengisi acara di sebuah stasiun televisi lokal Jawa Timur.
Baginya, menulis naskah lakon maupun menyutradarai itu lebih mudah daripada mencari tanggapan. Selain di Taman Krida Budaya Malang itu, Cak Wito tak ingat lagi kapan sebelumnya manggung, saking lamanya tidak ada yang memintanya tampil. ”Manggung adalah rezeki dari Tuhan,” papar Cak Wito.
Jalan hidup
Cak Wito mendefinisikan ludruk sebagai jalan hidup. Sebelia umur enam tahun dia diwajibkan ayahnya, seorang tentara, untuk latihan menari jawa yang bersinggungan langsung dengan wayang wong. Umur tujuh tahun Cak Wito sudah lihai menari. Pada masa itu, sekitar awal 1960-an, kehidupan tentara jauh dari sejahtera. Begitu juga dengan kondisi keluarga Cak Wito. Sebagai pencinta ludruk, dia menilai bisa bertahan hidup jika bergabung dengan para pemain ludruk. Tahun 1966 dia bergabung dengan Ludruk Prakasa Angkasa Lanud Abdulrachman Saleh dan meniti karier sebagai pemain figuran sampai tokoh utama. ”Semua jenjang keaktoran ludruk saya menguasai.”
Bahkan, dia tak segan menjadi tandak, yakni aktor yang memerankan karakter perempuan. ”Ketika peran utama ga ada atau ga berani memerankan tandak, terpaksa saya macak wedok,” kenang pria yang menilai ludruk bukan sekadar cara mencari uang, tetapi juga menyebar pengetahuan ini. Para pemain menularkan kearifan hidup lewat cerita yang dipanggungkan. Kearifan yang kini kian susah dicari teladannya.
Cak Wito mengalami masa kejayaan sebagai pemain ludruk ketika pemerintah menaungi perkumpulan ludruk melalui kesatuan ABRI, baik TNI maupun Polri. Sekadar contoh, Ludruk Karya Budaya Koramil Tumpang, Ludruk Sinar Budaya Brimob Kompi A Yon 412, Ludruk Wijaya Kusuma Unit II Inmindam VIII/Brawijaya, dan Ludruk Perkasa Alam AURI Malang.
Cak Wito setidaknya pernah bergabung dengan delapan perkumpulan ludruk yang berada di bawah naungan TNi maupun Polri itu. Para pemainnya hidup secara komunal dalam tradisi tobong, yakni berkumpul di markas untuk saling berbagi dan belajar. Cak Wito merasakan proses regenerasi terbangun secara alami karena interaksi yang intensif antara pemain lama dan baru di tobong ini.
Saat Orde Baru, ludruk kerap dijadikan ujung tombak komunikasi untuk mengumpulkan massa menjelang pemilu. Mereka harus berkampanye untuk partai tertentu yang mendukung petahana. Pada masa itu, Cak Wito sampai harus keliling dari Banyuwangi sampai Pacitan sebulan penuh. Kadang satu grup dipecah menjadi tiga tim untuk menghibur masyarakat di tiga tempat berbeda saking banyaknya permintaan tanggapan.
Era 1980-an muncul fenomena baru. Setelah ludruk lepas dari pemerintah, para pemodal membeli perangkat karawitan dan alat penyokong lainnya untuk komersialisasi ludruk. Pemainnya diambil dari kelompok-kelompok yang sudah ada dan dibayar per manggung. Tidak ada pembinaan atau regenerasi. Pada saat yang sama, televisi makin marak. Itu beberapa faktor yang menurut Cak Wito menyebabkan ludruk redup.
Baca Juga: Denny Mizhar Membangun Jembatan Sastra
Kondisi makin memprihatinkan karena sisa-sia penanggap tidak mau mengundang pemain ludruk dalam jumlah besar. Caranya, antara lain dengan meniadakan pengrawit, musik pengiring digantikan oleh kaset, lalu cakram padat (CD), kemudian terakhir flash disk, sampai akhirnya nyaris tak ada yang nanggap lagi.
Lalu Cak Wito mau mengerjakan apa setelah ludruk sepi? Dia akan main terus ludruk selama ada yang nanggap. Sesekali dia tampil sebagai pelawak tunggal di acara ulang tahun rekan lansia atau ulang tahun gereja. Ludruk telah menjadi jalan hidupnya.
”Saya bisa bergabung dan bergaul dengan siapa pun karena ludruk. Saya bangga menjadi pemain ludruk karena merasa dididik dibina oleh ludruk,” paparnya. Dua anak Cak Wito kini menjadi Kolonel bertugas di Cilangkap, serta Sersan Satu di Lanud Abdulrachman Saleh juga gara-gara dia main ludruk.
YP Suwito Herry Sasmito
Panggilan: Cak WitoLahir: Malang, Januari 1950
Pendidikan:
- Sekolah Rakyat Bunulrejo (lulus 1963)
- SMP Negeri 5 Malang (lulus 1966)
- SMA Negeri 2 Malang (tidak lulus)
- KKPS Negeri Malang (lulus 1986)
Prestasi antara lain:
1. Juara 1 Penyusun Tari Ngremo Porseni se-Jawa Timur (1982)
2. Koreografer Terbaik Pekan Budaya Jatim (1988)
3. Juara 1 Lomba Penulisan Naskah Ludruk se-Jawa Timur (1992)