Edward Hutabarat, Angan yang Melampaui Zaman
Edward Hutabarat (65) belajar fashion mulai menggambar, membuat pola, menjahit secara autodidak, dari penjahit jalanan. Tampaknya sejak kecil Edo belajar dari kebiasaan ibu dan ayahnya.
Bisa jadi tak banyak orang tahu, berkat karya Edward Hutabarat (65) pamor kebaya melesat, kini sejajar dengan busana dari butik kelas dunia. Perempuan Indonesia bisa berbangga mengenakan dan memiliki kebaya, salah satu lambang karya agung bangsa yang menjadi busana nasional.
Edward ikut senang melihat kebaya dipakai banyak orang, terutama oleh anak muda. Di mata Edo, panggilan akrab Edward, anak-anak muda perlu paham busana nasional sebagai karya adiluhung bangsanya. Dengan cara itu mereka mengenal keberagaman sehingga punya kebanggaan diri dan tak tercerai-beraikan.
Sejak Edo mengenalkan kembali kebaya sebagai busana nasional pada tahun 1999, perlahan acara-acara formal sering diadakan dengan kode berbusana nasional bagi undangan. Bahkan kini di acara –acara tertentu, baik formal maupun non formal asal ada tampilan kain Nusantara, mayoritas hadirin otomatis memilih berkebaya.
Pasangan muda-mudi juga banyak memilih mengenakan kebaya pada pernikahan mereka. Edo menceriterakan, belum lama ini, seorang pesohor memohon agar calon istrinya dibuatkan baju pengantin berupa kebaya, tetapi saat itu ia sedang tak bersemangat berkarya.
Ia akhirnya mau membuatkan busana pengantin adat Jawa dodot tapi dengan syarat.Sang bintang, calon istrinya dan calon mertuanya harus menemui Sri Wedari, pembuat kain panjang dari batik tulis berprada buat dua calon pengantin yang tinggal di Solo untuk minta restu agar pernikahannya langgeng. Mereka memenuhinya.
Sesungguhnya Edo tengah mendorong mereka mengenal dan belajar kain tradisi Jawa yang pembuatannya tak mudah itu.
Edo menulis buku berjudul Busana Nasional yang kemudian menjadi panduan berbusana nasional pada tahun 1999 lewat riset selama dua tahun ke Solo dan Yogyakarta. Buku itu berisi penjelasan lengkap tentang sejarah baju nasional dan pemakaiannya, dilengkapi foto-foto.
Ia menjelaskan, busana nasional sebenarnya terdiri dari tiga macam. Ada busana nasional buka depan berwujud kebaya kartini dan kutu baru; buka belakang berupa baju kurung; dan modifikasi mensyaratkan, ada unsur minimal kain tradisional di dalamnya.
“Sesuatu yang bersifat modifikasi harus tetap berakar,” tutur Edo pada Selasa (2/5/2023) di rumahnya di Jakarta, sembari menambahkan harus berakar tapi modern, beridentitas, berkreativitas, berkualitas, dan simplisitas, supaya mudah digabung dengan produk impor apapun.
Modernitas itulah yang membuat Edo tak mau menampilkan lagi kebaya buatannya 23 tahun lalu . “Harus ada yang saya ubah," katanya. Entah itu cara pakainya, bahan kebayanya atau tatanan rambut si pemakai.
Kebiasaan orangtua
Ketertarikan Edo pada kebaya karena dia tertarik fashion. Demi ketertarikan itu, Edo di awal kuliah tahun 1980 di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, ikut Lomba Perancang Mode (majalah) Femina. Dia dan sembilan desainer lain terpilih sebagai finalis.
Prestasi itu melecutnya untuk terus berkarya. Ia belajar soal fashion mulai menggambar, membuat pola, menjahit secara otodidak, dari penjahit jalanan. Tampaknya sejak kecil Edo, si bungsu dari tujuh bersaudara itu sudah belajar dari kebiasaan sehari-hari ibu dan ayahnya. Ayah Edo yang jaksa yang terakhir bertugas di Kejaksaan Agung serta ibunya selalu berpakaian rapi. Ibunya menjahit sendiri bajunya.
“Kalau ada acara hari Minggu, Mamie sudah beli kain pada hari Rabu-Kamis. Saya gunting, lalu dia jahit. Saya yang masih tinggal di rumah waktu semua kakak sekolah di luar kota, tahu cara bikin baju,” kata Edo. Untuk beribadah ke gereja, ibunya menata celana dan jas, dasi untuk ayah Edo. “Garis seterika celana panjang Papie harus lurus. Jadi saya belajar kerapihan, nata-nata, detil dari Mamie dan Papie,” tambahnya.
Pada tahun ketiga di Trisakti, Edo semakin jarang ikut perkuliahan dan akhirnya meninggalkan kuliah untuk menekuni dunia fashion. Sempat terjadi perdebatan dengan keluarga, karena mereka menganggap itu pekerjaan perempuan dan apakah bisa menjadi sumber kehidupan? namun keluarga menyerahkan keputusan kepada Edo. “Papie hanya minta, jika kau punyanya singkong. Sajikanlah singkong yang terbaik,” ujar Edo menirukan pesan ayahnya.
Tentang lahirnya buku Busana Nasional bisa dikata diluar dugaan. Saat namanya sebagai desainer sudah sejajar dengan Prajudi, pada tahun 1996 ia mendapat kesempatan menampilkan karyanya sebagai penutup sebuah fashion show. Ia memilih menampilkan kebaya renda karyanya.
Sebelum peragaan busana, ia diejek karena menampilkan kebaya, namun Edo tak peduli. Kala itu, publik tergila-gila kepada busana impor.
Usai peragaan busana, ia diserbu banyak orang yang ingin membeli karyanya. “Setelah show semua meledak, karena saya tampilkan originilitas tapi modern. Saya bikin (kebaya) lace Perancis, (dipadu) songket keren dari Indonesia. Saya lengkapi tusuk konde emas. Itulah yang membuat harga kebaya naik menjadi Rp 10 juta, Rp 30 juta bahkan sampai Rp 100 juta,” ujar Edo.
Saat krisis moneter melanda, banyak orang Indonesia menderita, ia malah kebanjiran uang dan berkeliling dunia, tetapi Edo lalu belajar tentang kebaya dan kain batik untuk membuat buku.
Untuk museum
Kesuksesan tak membuat rasa ingin tahunya terhenti. Di sela berkarya, penerima Satya Lencana Kebudayaan karena mengenalkan kembali kebaya sebagai busana nasional dari presiden Megawati pada tahun 2004 itu berkeliling Indonesia.
Selama 24 tahun ia mengunjungi Nusantara mulai dari Aceh hingga Papua dan Nusa Tenggara. Penjelajahannya membuatnya menemukan peradaban yang begitu tinggi di pelosok negeri serta relasi erat antara intoleransi dan rendahnya pendidikan, minimnya ketersediaan sandang, pangan dan papan. “Bagaimana bisa di negeri sangat kaya mereka begitu miskin? Lalu bagaimana kita mengatasinya?” kata Edo setengah bertanya.
Dari banyak suku ia menyelamatkan benda hasil peradaban lalu membawanya ke Jakarta. “Ini dua patung mbis dari suku Asmath, Papua yang saya bawa tahun 2017.Tingginya sekitar 2,5 meter. Ini saya dapatkan di hari ketiga ketika mengarungi laut Arafura dan tiba di tempat yang diprediksi sebagai lokasi meninggalnya Michael Rockefeller dari Amerika Serikat pada 1961,” jelas Edo. Untuk satu kali perjalanan ke Papua, ia membawa uang tunai Rp 200 juta guna membiayai perjalanan dan memberi ganti rugi barang yang diberikan warga kepadanya.
Dengan rinci ia menjelaskan ratusan koleksinya. Lewat ribuan benda kuno dari beragam suku di Tanah Air, Edo berbagi cerita, “Coba, bayangkan! Betapa beradabnya suku-suku di Nusantara.”
Ia tidak ingin pamer. Dengan keberagaman jejak peradaban suku-suku yang pernah didatanginya, Edo ingin menjadi bagian pewarta adanya harmoni Nusantara. Keberagaman itu sebuah keindahan. Keindahan itu sebuah harmoni yang memiliki keselarasan yang saling menjaga satu sama lain, bukan saling meniadakan satu sama lain.
Edo berharap, koleksinya itu bisa mengisi museum di Ibu Kota Nusantara yang sedang dibangun di Kalimantan Timur untuk jadi tempat orang belajar karya tertinggi banyak suku dan memunculkan inspirasi bagi generasi sekarang. “Saya ingin pemerintah ambil alih, ganti saja kerugian, uangnya taruh di bank. Pemerintah bisa cek. Paling buat beli tiket, hotel dan makan. Membelikan kursi roda buat bu Sri Wedari, ngajak jalan adik wartawan. Di usia segini mau apa sih?” kata Edo.
Edward sudah menunjukkan masa lalu dan masa kini peradaban unggul suku di Nusantara, kini ia menginginkan pemerintah mengeksekusinya untuk menjadikan keunggulan dan sumber daya Nusantara menjadi modal untuk menjejahterakan rakyat Indonesia.
Edward Hutabarat
Lahir di Sidikalang Sumatera Utara Agustus 1957 .
Pendidikan : Pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta
Profesi : Desainer busana dan interior
Riwayat profesi : Memulai Karir di dunia fashion sejak1980
Penghargaan :Mendapat Anugerah Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2004 dari Presiden Megawati Soekarno Puterikarenamembuat kebaya menjadi busana nasional yang diminati perempuan Indonesia
Karya antara lain :
-Buku “Kebaya Nasional” tahun 1999.
-Bersama Pemerintah Provinsi SumateraUtara , menggali keindahan Tenun Ulos dari Sumatera Utara, dan mempromosikannya di Jakart , Belanda, London serta Perancis (1985 dan 1986) .
-Bersama Pemerintah Provinsi Jambi menggali Songket dan Batik Jambi dan mempromosikannya di Jambi , Jakarta dan London (1992).
-Mempromosikan Busana Nasional Indonesia “Kebaya” (1996)
-BersamaKementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Edi Sedyawati dan Dr Anhar Gonggong melahirkan Buku Busana Nasional Indonesia (1999).
-Mendapat Anugerah Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia karena berhasilmembuat kebaya diminati kembali oleh wanita Indonesia sebagai Busana Nasional (2004).
Tahun 2004 bersama DepartemenPendidikan dan Kebudayaan mempromosikan Tenun Sumba dalam sebuah Pameran dan Talk Show untukThe Corfu Reading Society
Tahun 2006 melahirkan produk pakaian jadi eklusif dengan brand“Part One Edward Hutabarat” memperkenalkan “Batik Journey “sebuah perjalanan mengembangkan “ Batik Unggulan”dan kembali membuat Masyarakat Inonesia menggemari kembali Kain Batik sebagai pakaian yang siap dikenakan sebagai Busana Modern .
-Pameran dan Peragaan Tunggal Wastra Songket berbenangEmas Murni, Perhiasan Emas bertatahkanIntan dan Berlian serta Kuliner dari Propinsi Sumatera Selatan dengan tajuk “The Glory Of Palembang (2018).
-Pameran dan Pergaan Busana Batik Di Kantor Pusat Unesco di Perancis bertajuk Batik for The World (2018)
-Bekerja sama dengan Departemen PendidikanKebudayaan Riset dan Teknologi mengadakan pameran Tenun Nusantara dan Produk Unggulan dari Sumba NTT, di Candi Borobudur (2022).