Di Mana Batas Dream Theater?
Band rock/metal progresif Dream Theater akan menggelar konser kelima mereka di Indonesia pada 12 Mei 2023. Produktivitas membuat album dan menjalani tur sama tingginya. Mereka belum menemukan batas kariernya.
Pada 12 Mei 2023, band asal Amerika Serikat, Dream Theater, bakal berkonser di Jakarta. Padahal, belum genap setahun mereka memukau penonton di Surakarta, Jawa Tengah, dalam rangkaian tur yang sama. Dalam sepuluh tahun terakhir, konser nanti bakal jadi yang kelima kali di Indonesia. Band rock/metal bergaya progresif dengan karir panjang ini belum menemukan batasnya.
”Konser terakhir di Solo (Surakarta) tahun lalu seru sekali. Penontonnya menyenangkan. Sensasional,” kata vokalis James LaBrie melalui sambungan video dengan Kompas pada Kamis (6/4/2023) pagi waktu Jakarta. LaBrie dengan rambut kuncirnya memakai kemeja lengan panjang rapi kecoklatan. Padahal, dia berada di rumahnya di Toronto, Kanada, dan sudah memasuki jam-jam istirahatnya.
Kompas mendapat kesempatan wawancara dengan sang vokalis. Anggota lainnya, Jordan Rudess (kibor), John Myung (bas), Mike Mangini (drum), dan John Petrucci (gitar), meladeni wawancara dengan media lain. Perbincangan kami terjadi berkat bantuan Rajawali Indonesia, promotor yang bakal mendatangkan mereka.
Beberapa hari terakhir, LaBrie melayani wawancara dari beberapa media di Asia, benua yang menjadi lanjutan tur dunia mereka, Top of The World Tour. Di kawasan ini, LaBrie dan kawan-kawan bakal manggung 11 kali di 7 negara, yaitu Korea Selatan, Jepang, Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Semua negara yang disebut itu sudah beberapa kali mereka sambangi. Mereka mendatangi Indonesia pada 2012 dan 2014 di Jakarta, 2017 di Yogyakarta, serta 10 Agustus 2022 di Surakarta yang dibilang seru itu, dan Mei 2023 kembali ke Jakarta. Di kancah musik cadas, rasanya Dream Theater-lah band rock/metal internasional yang paling sering main di Indonesia dalam satu dekade ini. Apa tidak bosan?
”Kami suka dengan pertunjukan yang seperti merangkul kami. Banyak penonton ikut bernyanyi kata demi kata, menirukan suara melodi. Suasananya hidup. Itu selalu kami dapat di Indonesia. Mereka seperti merangkul kami sepenuh hati,” kata LaBrie.
Standar konser yang menyenangkan bagi LaBrie dan kawan-kawan itulah yang membuat mereka dengan senang hati datang kembali ke Indonesia. ”Well, bukan di Indonesia saja sebenarnya. Setiap tempat yang berasa seperti itu selalu kami pertimbangkan untuk didatangi lagi, entah Jakarta, Tokyo, Boston, atau New York sekalipun. Penonton seperti itu rasanya benar-benar hadir bersama kami, menjadi bagian dari kami. (Penonton) Indonesia 100 persen seperti itu. Absolutely!” kata LaBrie.
Kesan bahwa penonton Indonesia fanatik terhadap Dream Theater sudah dirasakan LaBrie sejak pertunjukan pertama mereka di negara ini pada 2012. Dia terkejut, penggemar di negara yang jauh di sisi selatan bumi bisa mengenali detail lagu-lagu mereka.
”Ya ampun, apa yang sedang terjadi ini. Kami benar-benar tidak menyangka. Promotor mengharapkan kami datang kembali ke Indonesia. Oke. Ketika kami membuat tur dunia lagi, kenapa tidak datang lagi ke Indonesia,” kenang LaBrie yang belum terlihat seperti seseorang berusia 59 tahun ini. Anggota lainnya juga telah berkepala lima, kecuali Rudess yang berumur 66 tahun.
Dream Theater adalah salah satu band rock/metal di dunia yang masih rajin menggelar tur panjang. Mereka terbang ke berbagai benua menemui penggemar yang seolah-olah sudah menganggapnya bagai dewa. Setiap lagu yang dibawakan bisa dimainkan semirip mungkin dengan versi rekamannya, bahkan tak jarang malah lebih seru—terutama di nomor-nomor berdurasi di atas 10 menit.
Kompleksitas musik
Hampir setiap album diikuti dengan tur ekstensif menguras tenaga. Meskipun demikian, seperti pengakuan LaBrie, mereka senang melakukan itu, sampai rela mendatangi tempat yang sama berkali-kali. Penontonnya juga suka. Anas Alimi dari Rajawali Indonesia pernah berujar bahwa Dream Theater termasuk yang paling banyak diminta publik rock Indonesia untuk didatangkan, tak peduli sudah berkali-kali.
”Setiap menonton mereka itu rasanya seperti dikuliahi (musik). Ya maklum, personelnya guru musik semua, makanya penonton suka,” kata Anas beberapa waktu lalu sebelum mengumumkan kembalinya Dream Theater lewat cuplikan video ketika konser Deep Purple di Surakarta awal Maret lalu.
Baca juga: Serangan Bunyi Para Alien
Anas tak salah. Dream Theater dibentuk oleh John Pettruci, John Myung, dan Mike Portnoy ketika ketiganya jadi mahasiswa kampus musik bergengsi Berklee College of Music di Boston, AS. Vokalis James LaBrie masuk di album kedua Images and Words (1992) menggantikan Charlie Dominici. Pada 1999, kibordis Derek Sherinian digantikan Jordan Rudess, yang pernah mencicipi Sekolah Musik Juilliard di New York. Anggota terakhir yang masuk adalah Mike Mangini yang menggantikan Portnoy.
Menyebut nama Dream Theater seperti tak mungkin lepas dari mengobrolkan teknik bermusik para personelnya. Kecanggihan teknik bermain setiap personel melebur dalam lagu yang tidak sederhana; ketukannya berubah-ubah, pamer kebisaan setiap personel, sonik yang berlapis-lapis, sampai topik-topik lagunya.
Ajaibnya, kompleksitas lagu itu bisa masuk dengan nyaman di telinga pendengar yang tidak paham not balok sekailpun. Mereka punya lagu balada ”The Silent Man” yang menunjukkan kerapuhan manusia, ditingkahi dengan petikan gitar bergaya klasik Petrucci. Jelas ini bukan lagu balada yang bisa dimainkan sembarang orang di poskamling.
Mereka juga membikin lagu bernuansa spiritual ”Spirit Carries On” yang bisa diterima penyuka musik pada umumnya, tak harus penggemar progresif rock. Namun, mereka juga punya ”A Change of Season” berdurasi 23 menit yang rumitnya minta ampun, sampai-sampai dicopot dari dari album Images and Words (1992) oleh label rekaman mereka—lagu itu direkam ulang dan dimasukkan ke A Change of Season (1995), yang mereka anggap sebagai mini album.
Sepanjang kariernya, produktivitas Dream Theater terjaga dengan rutin mengeluarkan album studio dengan jarak 2-3 tahun. Di setiap album selalu menyisipkan lagu berdurasi panjang sebagai luapan kreativitas mereka. Ini juga terjadi di album teranyar, album ke-16 yang dirilis Oktober 2021. Lagu ”A View from the Top of the World” berdurasi di atas 20 menit. Judul lagu itu menjadi titel albumnya.
Kompleksitasnya pun tak menurun dibandingkan nomor-nomor epik dari album sebelumnya. ”Secara sadar, kami membuat lagu epik (berdurasi panjang) yang eklektik sehingga fans merasakan bahwa yang mereka dengar (masih) Dream Theater,” ujar LaBrie setelah menenggak air putih.
Ketika air di gelasnya sisa seperempat, LaBrie melanjutkan, lagu ”A View from the Top of the World” bercerita tentang orang yang berani mengambili risiko tinggi dalam hidupnya, akrab dengan semburan adrenalin, sehingga mengenali kemampuan dan batasnya. Rasanya, topik itu menggambarkan kondisi Dream Theater saat ini.
Kelima anggota band masih memproduksi musik mereka semaksimal mungkin, membawanya tur keliling dunia, seperti tak mengenal usia dan jarak. Mereka masih mampu memainkan lagu keras seperti ”Endless Sacrifice” (2003), dan tak lelah membuat lagu rumit nan panjang. Dream Theater seperti belum menemukan batasnya.
Markas
Album terakhir bahkan lahir ketika warga dunia dibatasi geraknya akibat pandemi Covid-19. Album ini dibuka dengan tabuhan riuh drum Mangini pada lagu ”The Alien”. Itu adalah lagu pertama yang mereka hasilkan ketika mulai bekerja menulis album di markas Dream Theater Head Quarter (DTHQ) di New York, AS, pada Oktober 2020. LaBrie yang menulis lirik lagu tentang kemungkinan mencari tempat tinggal di luar bumi. ”Lagu ini jadi katalis yang membangun keseluruhan album,” kata LaBrie.
Lagu ”The Alien” diganjar Piala Grammy untuk Best Metal Performance. Itu adalah Grammy pertama yang diperoleh band progresif kawakan ini. ”Akhirnya ada juga band yang memainkan lagu panjang yang dapat Grammy. Itu keren karena kami bukan band pop normal,” kata LaBrie.
Dia membeberkan proses pembuatan album terakhir itu. Durasi pembuatan album, meski kali ini dikerjakan di studio sendiri, DTHQ, masih sama efektifnya dengan menyewa studio. Penulisan musik dan lirik membutuhkan waktu sekitar delapan pekan. Sisanya, mereka mengembangkan lagu-lagu itu dengan isian bebunyian gitar dan lapisan-lapisan bunyi kibor/synthesizer. Album kelar pada April 2021. Total waktunya sekitar tujuh bulan untuk karya sedemikian kompleks.
Baca juga: Dream Theatre Grammy Pertama
Album ke-16 itu merupakan album pertama yang diproduksi di studio sendiri DTHQ. Setelah berkarya lebih dari 30 dekade, Dream Theater akhirnya punya markas sendiri. Selain studio rekaman, DTHQ juga jadi studio latihan sebelum berangkat tur. Perkakas musik mereka juga disimpan di sana. Ada juga ruang kumpul tempat bersantai; benar-benar seperti markas.
”Nanti, sehari sebelum berangkat tur Asia ke Seoul, kami berkumpul satu kali, latihan seluruh set lagu sekitar empat jam. Istirahat, lalu besoknya berangkat dari sana,” kata LaBrie. Tur Asia berakhir di Jakarta. Selepas itu, mereka akan berangkat tur lagi pada Juni sampai Juli keliling AS dan Kanada sebagai babak akhir tur Top of the World. LaBrie bilang, mereka akan kembali berkumpul di DTHQ pada awal 2024 untuk mengerjakan album baru. Jadwalnya sangat rapi.
Dream Theater masih menjadi ”monster” di kancah musik rock/metal progresif. Belum ada tanda-tanda akan pensiun, fokus pada bikin album saja. Mereka masih mau tur dunia. Setelah memiliki markas untuk mendukung proses kreatif, kenapa tidak membeli pesawat untuk mengantar tur seperti Ed Force One, Boeing milik Iron Maiden?
”Itu ide yang bagus. Kalau sedang tidak tur, pesawat bisa kami sewakan, ya? Mungkin aku harus belajar jadi pilot seperti Bruce (Dickinson, vokalis Iron Maiden yang bersertifikat pilot komersial),” ujar LaBrie disambung tawa paling lebar setelah serius mengobrol sekitar 40 menit.
Dream Theater
Terbentuk: Boston, AS, 1985 dengan nama Majesty, berubah jadi Dream Theater 1988.
Anggota saat ini:
- James LaBrie (vokal)
- Jordan Rudess (kibor/synthesizer)
- John Petrucci (gitar)
- John Myung (bas)
- Mike Mangini (drum)
Album Studio:
- When Dream and Day Unite (1989)
- Images and Words (1992)
- Awake (1994)
- A Change of Season (1995)
- Falling into Infinity (1997)
- Metropolis Pt 2: Scenes from a Memory (1999)
- Six Degrees of Inner Turbulence (2002)
- Train of Thought (2003)
- Octavarium (2005)
- Systematic Chaos (2007)
- Black Clouds & Silver Linings (2009)
- A Dramatic Turn of Events (2011)
- Dream Theater (2013)
- The Astonishing (2016)
- Distance over Time (2019)
- A View from the Top of the World (2021)