Darmanto Mendorong Kemandirian Difabel di Magelang
Darmanto memodifikasi sepeda motor roda tiga yang dibutuhkan bagi warga difabel. Dengan memberi keringanan pembayaran, dia ingin memberi semangat bagi warga difabel untuk mandiri dan mampu bekerja.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Berkaca dari pengalaman sendiri, Darmanto (47) mendorong sesama warga difabel untuk hidup mandiri. Dukungan kemandirian diwujudkan dengan memodifikasi sepeda motor roda tiga untuk difabel yang bisa dibayar dengan cara dicicil tanpa batasan waktu. Selain itu, Darmanto jugamembantu tambahan modal bagi mereka yang akan berwirausaha.
Darmanto merupakan penyandang disabilitas dengan cacat fisik pada bagian kaki. Saat berada di rumah, dia beraktivitas menggunakan kursi roda. Untuk bepergian yang lebih jauh, dia menggunakan sepeda motor roda tiga, atau menggunakan mobil yang sudah dimodifikasi sehingga bisa dikemudikan sendiri.
Pada Sabtu (1/4/2023), di ruang kerja bengkel las, Darmanto, dengan bergerak menggunakan kursi roda, memantau sekaligus memberi arahan kepada karyawannya. Di ruangan berukuran 5 meter x 12 meter terdapat tumpukan tongkat pembantu jalan warga cacat kaki. Di sudut lainnya tampak tumpukan perkakas untuk sepeda motor hasil modifikasi Darmanto. Di tengah ruangan, seorang karyawan tengah sibuk mengelas kaki-kaki meja pesanan pelanggan.
Darmanto memodifikasi sepeda motor dengan menambah bak di samping kiri. Darmanto menjual produknya Rp 3,5 juta per unit, di bawah rata-rata harga pasaran produk serupa Rp 5 juta per unit.
”Seorang pembeli sepeda motor roda tiga yang berkeluh kesah kesulitan memulai usaha pembibitan ikan langsung saya beri uang Rp 175.000. Saya sarankan uang itu dipakai sebagai bantuan modal awal untuk membeli bibit ikan,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sebagian besar pembeli tidak langsung membayar lunas sepeda motor yang dibeli dan baru bisa melunasi bertahun-tahun kemudian. Jika ada pembeli yang membutuhkan modal besar, dia memberikan saran tentang alternatifsumber-sumber dana, seperti dinas sosial. Darmanto malah melarang sebagian difabel yang akan melunasi cicilan pembelian sepeda motor supaya uangnya bisa digunakan untuk tambahan modal.
Seorang pembeli sepeda motor roda tiga yang berkeluh kesah kesulitan memulai usaha pembibitan ikan langsung saya beri uang Rp 175.000. Saya sarankan uang itu dipakai sebagai bantuan modal awal untuk membeli bibit ikan.
Di luar masalah uang, dia selalu terbuka memberikan masukan dan saran tentang berbagai alternatif bidang usaha yang bisa dicoba. Segala masukan didasari pengetahuan dan pengalaman Darmanto yang sempat menggeluti sejumlah bidang usaha.
Sejak tahun 2009, Darmanto memproduksi sepeda motor roda tiga yang dimodifikasi supaya bisa digunakan difabel. Hingga kini, ratusan sepeda motor sudah digunakan para difabel yang berada di Solo, Jakarta, Yogyakarta, sampai kota-kota besar di Sumatera dan Kalimantan.
Meski demikian, hal itu tidak menjadi alasan baginya untuk terus berbuat baik. Sedari awal, diatidak menjadikan usaha modifikasi sepeda motor itu untuk mencari keuntungan.
”Usaha memproduksi sepeda motor roda tiga ini sebenarnya sebatas saya jalankan sebagai kepedulian nurani untukmembantu teman-teman difabel,” ujarnya.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama keluarganya, Darmanto mendapat penghasilan dari bengkel las. Dia dibantu tiga karyawan. Selain itu, perekonomian keluarga juga dibantu usaha istrinya, Siti Jualiyah (47), yang berjualan berbagai jenis kuliner dengan membuka kedai di tepi jalan di desa.
Tak berpangku tangan
Hingga umur dua tahun, Darmanto sempat merasakan hidup normal, berjalan dengan dua kaki. Namun, tiba-tiba Darmanto demam danmendadak tidak bisa berjalan. Orangtuanya panik dan membawa berobat ke berbagai tempat, termasuk mendatangitukang pijat.
Diagnosis salah satu dokter yang mereka datangi menyatakan Darmanto tidak bisa disembuhkan lagi. ”Dokter meminta kami semua menerima kondisi tersebut. Saya didiagnosis terjangkit polio,” ujarnya.
Darmanto menuturkan, ketika itu ayahnya tetap berusaha mencari alternatif pengobatan pijat lainnya. Namun, karena tidak kunjung ada perubahan, Darmanto pun terpaksa beraktivitas, berusaha bergerak, berpindah tempat dengan cara merangkak. Darmanto juga tidak didaftarkan masuk sekolah dan hanya dibiarkan di rumah.
Suatu ketika, dalam suatu acara kenduri keluarga, kakek Darmanto mengumpulkan semua anak dan cucunya. Dalam pertemuan itu, sang kakek berpesan supaya seluruh anggota keluarga ikut menjaga dan mengurus Darmanto. Seketika, Darmanto yang kala itu masih berusia tujuh tahun langsung menangis tersedu-sedu.
”Mendengar ucapan mbah, saya langsung tersadar bahwa saya menjadi beban pikiran dan masalah yang harus ditanggung seluruh keluarga,” ujarnya.
Sejak itulah, dia membulatkan tekad untuk mandiri dan tidak merepotkan orang lain.
Melukis
Tahun 1992, ketika sudah beranjak remaja, diamenjalani rehabilitasi dan pendidikan keterampilan di Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) di Yogyakarta. Di sana, secara khusus dia belajar membuat lukisan tiga dimensi. Darmanto juga belajar beraktivitas, berjalan kaki dengan menggunakan sepatu khusus dibantu dengan tongkat.
Setahun kemudian, dia berusaha mandiri denganmembuat lukisan-lukisan tiga dimensi yang dijual dengan sistem konsinyasi ke sejumlah hotel di Bali. Dia juga berupaya keluar dari ketertinggalan dengan mengikuti program Kejar Paket A, B, hingga C.
Setelah menikah dan memiliki satu anak, dia mengajak keluarganya mencoba merantau selama dua tahun di Kabupaten Cilacap. Di sana, dia terus berkarya membuat dan menjual lukisan ke sejumlah pelanggan.
Usahanya pun menemui sejumlah kendala, antara lain terdampak situasi akibat Bom Bali tahun 2002. Dia juga sempat bermitra dengan orang lain, termasuk membuat lukisan dari foto-foto karya seorang fotografer. Namun, dia justru merugi karena seluruh lukisan tertiup angin kencang.
Namun, dia tak putus asa.Dengan sisa tabungan, dia membeli tanah di kampung kelahirannya, Kabupaten Magelang. Sembari sesekali masih melukis, dia pun mencoba-coba menerjuni berbagai pekerjaan, antara lain membuka servis jam di Pasar Sraten di Kecamatan Mertoyudan, berjualan sayur keliling, dan sempat pula berjualan bibit tanaman secara berkeliling.
Setelah itu, tahun 2006, dia mulai belajar mengelas dan akhirnya membuka bengkel las, termasuk dengan merekrut warga sekitar sebagai karyawannya. Tahun 2009, barulah dia kemudian belajar membuat sepeda motor roda tiga dan menjualnya untuk warga difabel yang berminat dan membutuhkannya.
Darmanto juga membuka bengkel lasnya sebagai ruang belajar untuk orang lain. Tahun lalu, Pemerintah Desa Wringinputih menggelar pelatihan las untuk warga difabel di bengkel las milik Darmanto. Dengan tangan terbuka, dia menerima siapa saja yang membutuhkan pelatihan mengelas.