Ayisha Siddiqa membuktikan generasi muda bisa berbuat kebaikan untuk masyarakat dunia. Dia berjuang untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Oleh
MARIA SUSY BERINDRA
·4 menit baca
Pengalaman masa remaja yang pahitmenggerakkan hati Ayisha Siddiqa untuk menjadi pembela hak asasi manusia dan aktivis perubahan iklim. Pendirian organisasi Polluters Out menjadi salah satu bukti kepeduliannya terhadap masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak. Ajakan kepada kaum muda untukterus bergerakdigaungkan Siddiqa.
Awal bulan Maret 2023, Siddiqa menjadi salah satu penerima penghargaan Women of the Year 2023 dari majalah Time. Nama Siddiqa sejajar dengan para tokoh dunia, seperti aktris Cate Blanchett, Angela Bassett, penyanyi dan penulis lagu Phoebe Bridgers, penulis dan aktivis HAM Masih Alinejad, dan pemain sepak bola Amerika Megan Rapinoe.
”Dunia yang terluka masih terlihat indah karena dia terus menghasilkan kehidupan. Tugas saya adalah mempertahankan kehidupan, terutamamembela hak-hak perempuan dan hak asasi manusia,” kata Siddiqa dalam video wawancara dengan majalah Time, Jumat (3/3/2023).
Misi yang dilakukan Siddiqa tidak terlepas dari perjalanan hidup keluarganya. Lewat tulisan berjudul ”Climate Change and Me”, Siddiqa menceritakan bagaimana kehidupan keluarganya di Pakistan. Saat berusia 14 tahun, dia menyadari lingkungannya tidak aman. Tahun 2012, sang kakek meninggal karena kanker darah, lalu dua tahun kemudian neneknya meninggal akibat polio. Keduanya berusia 60-an tahun. Saudara sepupu Siddiqa meninggal karena tetanus. Selain itu, beberapa saudaranya sering sakit.
Menurut Siddiqa, semua penyakit yang diderita keluarganya akibat air yang dikonsumsi sudah tercemar. Dia menuliskan,berdasarkan data dari Center for Global Development yang berbasis di AS, negara-negara maju bertanggung jawab atas 79 persen dari total global emisi gas rumah kaca. Pakistan menyumbang kurang dari 1 persen. Namun, 200 juta penduduknya paling rentan terhadap konsekuensi perubahan iklim yang terus meningkat.
Menginjak remaja,Siddiqa pindah ke Coney Island, Brooklyn, New York. Dia pun semakin menyadari hubungan antara hak asasi manusia dan perubahan iklim. Bagi sebagian orang, memperjuangkan udara dan air yang bersih bisa mempertaruhkan nyawa. Namun, Siddiqa tetap gigih berjuang.
Lewat puisi
Jika berbicara tentang puisi, wajah Siddiqa langsung berseri-seri. Bagi dia, puisi mewakili sebuah harapan, menjadi cara untuk mencapai ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. DalamKonferensi Iklim PBB tahunan di Mesir pada November 2022, Siddiqa membagikan puisi berjudul ”So much about your sustainability, my people are dying”. Sebuah puisi untuk menyindir para pemimpin negara yang dinilai gagal menyelesaikan berbagai masalah perubahan iklim.
Siddiqa merasa kebijakan para pemimpin kurang berdampak ketika dia menyaksikan banjir besar di Pakistan akibat perubahan iklim yang semakin ekstrem. Karena itulah, dia menumpahkan semua curahan hatinya melalui puisi.
”Ini adalah upaya untuk mempertahankan apa yang tersisa, selagi saya masih punya waktu membuat tulisan. Menurut saya, seni membuat hidup lebih layak dijalani, membuat manusia layak untuk diperjuangkan. Seperti semua hal yang kita tinggalkan, bukankah disayangkan jika tidak ada orang lain yang mengamatinya?” kata Siddiqa.
Tahun 2020, Siddiqa ikut mendirikan Polluters Out. Organisasi Polluters Out diluncurkan pada 24 Januari 2020 sebagairespons dari Konferensi Para Pihak (COP) Ke-25 Perubahan Iklim tahun 2019. Perjalanan organisasi dimulai dengan 150 anggota yang tersebar di 40 negara. Selain aktivis muda, mereka juga mengajak para ilmuwan yang membantu menyusun usulan kebijakan serta tuntutan. Mereka berkoalisi untuk gerakan mencari solusi nyata dari berbagai masalah perubahan iklim. Harapannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara tegasmembela rakyat.
Polluters Outmembantu meluncurkan Fossil Free University, sebuah kursus pelatihanbagi para aktivis. Saat ini, dia membantu anak-anak muda mencari dana bagi keadilan iklim sebagai upayamemperbaiki ketidakseimbangan sumber daya yang dimiliki aktivis dibandingkan dengan industri bahan bakar fosil.
Kerja nyata Siddiqa yang menghasilkan dana tersebut didistribusikan kepada aktivis akar rumput di seluruh dunia. Sebagai peneliti proyekClimate Litigation Accelerator di Center for Human Rights and Global Justice, New York University,diamenciptakan sistem dukungan yang menjembatani kesenjangan antara pemimpin dan aktivis lokal.
”Pekerjaan ini pasti lintas generasi. Saya masih muda sekarang. Besok, saya tidak muda lagi.Saya sangat suka bekerja dengan orang yang lebih muda dari saya untuk menyebarkan pengetahuan ini sehingga rantai tidak pernah putus,” kata Siddiqa.
Perjuangan yang dilakukannya hingga kini pun tak terlepas dari kerja sama dengan banyak orang. Siddiqa mengungkapkan hal itu dalam sebuah unggahan di akun Instagram miliknya.
”Tidak ada yang namanya aktivis tunggal. Saya ada karena komunitas, orang-orang yang secara sukarela duduk di depan Zoom menyerukan berjam-jam bekerja untuk mencari cara mengubah/menantang sistem yang sulit dan kuat di dunia,” tulis Siddiqa.
Dia menambahkan kalimat, ”Saya ada karena orang muncul dalam dingin/hujan/panas untuk memprotes membela kehidupan di planet Bumi. Saya ada karena mereka berbagi sandwich dan sup dan memastikan bahwa di tengah badai mana pun kami tetap hangat. Saya ada karena pelukan mereka. Pembela tanah, aktivis iklim, pembela hak asasi manusia, kami banyak sekali.”
Ayisha Siddiqa
Lahir : Jiang, Paskistan, 8 Februari 1999
Pendidikan:
-Ilmu Politik dan Bahasa Inggris Hunter College, New York (2021)