Broku Mengukir Kelestarian Alam
Ketekunan selalu membuahkan hasil. Begitulah prinsip Broku (54), pengukir asli Dayak Tomun yang tinggal di Desa Riam Tinggi, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah yang merupakan desa wisata.
Broku atau yang lebih senang dipanggil "Mas Bro" menjalani hidupnya yang sibuk. Pagi hingga siang hari dirinya biasa mengajari anak-anak mengukir, tetapi pada Senin (27/3/2023) siang ia kedatangan begitu banyak tamu dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah.
Ia pun mengambil lawung, topi khas Dayak, dipakai sekenanya. Ia beranjak dari rumah mengenakan mobil pikap menuju pusat desa, sekitar satu kilometer dari rumahnya di pinggir jalan Trans Kalimantan perbatasan antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Broku menemui para pengunjung. Ia mulai bercerita mulai dari sejarah desa hingga objek wisata yang biasa dikunjungi turis asing maupun turis lokal. Semua ceritanya berdasarkan sejarah leluhur, cerita yang diturunkan hingga cerita yang ia alami.
Broku memiliki pribadi yang kocak. Semua ceritanya diselingi komedi yang membuat pengunjung betah dan tak sadar sudah berjalan kaki mengelilingi desa yang lebih kurang lima sampai enam kilometer saja.
“Ini adalah salah satu tempayan tertua, di dalamnya terdapat tulang -tulang orang pertama yang tinggal di desa ini,” kata Broku menjelaskan, berharap para pengunjung di belakangnya mendengarkan.
Namun bukan pengunjung yang menjawab melainkan tetangga rumahnya. Broku tertawa, ia pikir pengunjung masih di belakangnya, ternyata ia berjalan begitu cepat.
Begitulah Broku. Tingkahnya memang komedi, siapa saja di dekatnya pasti dibuat tertawa. Tetapi itu semua berbeda ketika ia sudah memegang pahat di tangan.
Broku hanya lulusan SMP. Keahliannya mengukir tentu saja bukan dari bangku sekolah yang ia jalani puluhan tahun lalu. Keahlian itu datang karena ia tekun melihat orang-orang tua jaman dulu saat sedang mengukir talawang atau perisai kayu khas Dayak, membuat topeng bukung (topeng khas Dayak Tomun) atau mengukir ulin untuk menjadi sapundu, tiang kayu dalam ritual kematian.
Saat kecil ia hanya jadi pesuruh para pengukir. Membuatkan teh, kopi, mengambil ini dan itu. Namun karena tekun menjalankan perintah, ia perlahan. Pikirannya masih di ukiran meski tangannya mengaduk air gula suruhan guru-guru ukirnya.
Broku remaja memulai ukiran pertamanya membuat talawang. Ia masih ingat talawang itu memiliki panjang lebih kurang dua meter. Terbuat dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau si kayu besi, dengan gagang di bagian dalamnya. Talawang sedikit melengkung dengan sudut tajam keluar.
Karena digunakan untuk perang, talawang biasanya memiliki ukiran pembangkit semangat kadang menyeramkan. Broku mengukir talawangnya dengan bentuk burung tingang. Burung yang sering ia lihat saat masih kecil dan kian sulit saat Broku beranjak dewasa. Kemegahan burung tingang menjadi penambah semangat orang yang memegang talawang. Kini talawang merupakan pernak-pernik budaya dan produk wisata.
Broku menemui para pengunjung. Ia mulai bercerita mulai dari sejarah desa hingga objek wisata yang biasa dikunjungi turis asing maupun turis lokal. Semua ceritanya berdasarkan sejarah leluhur, cerita yang diturunkan hingga cerita yang ia alami.
“Ukirannya itu semua bersumber (terinspirasi) dari alam. Ada juga gambar pohon bahkan ada juga yang bergambar sayuran. Intinya semuanya dari alam,” kata Broku.
Selain talawang, broku juga membuat topeng bukung yang biasanya dibuat dalam ritual adat kematian Dayak Tomun yang disebut babukung. Topeng ini sedikit menyeramkan, karena memang fungsinya digunakan saat upacara kematian. Penggunanya pun kerap kerasukan. Namun, seiring berjalannya waktu topeng ini juga jadi bagian dari festival besar di Lamandau dan Kalteng dan ujungnya pernak-pernik budaya Dayak.
Semua karya Broku bisa dinikmati di Desa Riam Tinggi. Mereka bahkan memiliki ruangan khusus di kantor desa yang menjual berbagai kerajinan tangan termasuk ukiran dan topeng buatan Broku dan teman-temannya.
“Semua orang di sini bisa mengukir, tapi tidak semua mau terus mengukir. Karena itu saya membuat kelompok ukir, supaya anak-anak juga belajar. Jadi mereka belajar gak hanya di bangku sekolah tapi di bangku dapur juga sambil ngukir,” kat Broku tersenyum.
Ia kemudian membuat kelompok seni ukir Dayak di Desa Riam Tinggi sejak setahun belakangan. Kelompok ini tadinya hanya berisi broku dan keluarganya, kini sudah bertambah sekitar 20 lebih anggotanya. Sebagian besar anak sekolah dan remaja di kampung.
Sadar wisata
Inisiasi kelompok seni ukir tidak lahir begitu saja. Kebutuhan menambah pengukir dirasakan Broku sejak desanya menjadi destinasi wisata paling laris di Kabupaten Lamandau. Kesadaran wisata itu yang membuat dirinya menjabat sekretaris Kelompok Sadar Wisata Riam Tinggi.
Semua itu bermula atas usaha Kepala Desa Riam Tinggi Endang Kusrini di tahun 2015 bersama Broku dan warga lain. Keinginan itu didukung oleh pemerintah daerah yang mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Lamandau nomor 188.45/1531II/HUK/2015 tentang Penetapan Kecamatan Delang sebagai Destinasi Wisata. Di dalamnya, Desa Riam Tinggi juga ditetapkan sebagai desa wisata.
Munculnya surat itu kemudian dibentuk kelompok sadar wisata di Riam Tinggi. Broku tak hanya bertugas sebagai sekretaris tetapi juga sekaligus juru bicara sekaligus pemandu turis. “Bahasa Inggris memang belepotan tapi bisa kok pakai Bahasa kalbu,” katanya bercanda.
Ia menjadi pemandu turis karena dianggap paling bisa bicara, tidak malu, dan punya banyak pengetahuan, apalagi soal ukiran. Rumahnya pun bersebelahan dengan pintu masuk Bukit Lubang Kilat, salah satu destinasi wisata paling laris di desa itu. Jam 04.00 pagi dini hari pun Broku bisa bangun dari tidurnya ketika mendengar bunyi kendaraan parkir di depan rumahnya sebelum mendaki ke bukit.
Tak hanya itu. Bahkan saat menunjukkan para pengunjung cara memasak orang Dayak Tomun, Broku paling depan menjelaskan semua nama peralatan tradisional memasak ibu-ibu Dayak. Mulai dari nama dalam Bahasa daerah hingga cara membuatnya.
Seperti saat itu menjelaskan kan baluh, atau tempat menyimpan air tradisional. Baluh, kata Broku, adalah sebuah labu hutan yang ukurannya besar. Isinya tak perlu dikorek tapi cukup direndam air sampai isinya keluar sendiri, hancur terbawa air. Lalu kulitnya dibungkus dan mongering seperti kayu. Semua air yang disimpan menjadi lebih segar.
Ia juga menjelaskan semua jenis-jenis ikan di sungai Riam Tinggi hingga cara memasaknya. Ia tahu betul mana ikan yang durinya banyak, hingga cara memasak ikan buntal sungai yang terkenal beracun.
Memasak juga tak cukup. Di depan para pengunjung Broku terkadang menunjukkan kemampuannya membuat baju kapuak, atau rompi khas Dayak yang terbuat dari kulit kayu Kapuak.
“Awalnya beban, tetapi setelah dijalankan ternyata ini sesuai dengan keinginan semua orang. Keinginan kami sederhana saat itu, kami mau hutan kami terjaga sehingga warisan leluhur aman, ternyata lewat wisata itu bisa terwujud,” ungkap Broku yang dihubungi lagi dari Palangkaraya, Jumat (3/3/2023).
Baca juga: Arsyad Penjaga "Rugu" di Manggarai Timur
Bukan tanpa alasan, Desa Riam Tinggi berbatasan dengan desa-desa lain yang kini hutannya habis dialihkan menjadi perkebunan sawit. Menurutnya banyak desa yang mulai kehilangan adat karena kehilangan hutan atau kerusakan alam.
Broku Bahagia dengan pekerjaannya. Apalagi saat banyak teman sekolahnya dulu lebih banyak bekerja di kota. “Kalau saya tinggal di sana (kota) mungkin saya gak bisa tahan,” katanya.
Hutan, sungai, dan bukit adalah rumah Broku. Hal itu juga yang ia tanamkan pada anak-anaknya. “Sekolah tinggi-tinggi, tapi kalau pulang (sudah pintar) jangan bikin rusak hutan,” katanya.
Baginya alam memberikan kehidupan. Hal itu diajarkan oleh semua orang tua yang ia kenal di desa kelahirannya itu sehingga membuat dia takut kalau hutan hilang. Bukan soal pekerjaannya yang ikut hilang, ia lebih khawatir identitasnya juga hilang, pengetahuan lokal pun bisa hanyut bersama riam.
Broku
Lahir: Riam Tinggi, 20 April 1968
Pendidikan:
- SD Inpres Sepoyu
- SMP Kristen Palangkaraya
Istri: Dom Fariyati