Kiprah Prapti Wahyuningsih makin banyak. Pendidikan anak-anak dan pengolahan sampah jalan terus. Kini, ia juga punya Sekolah Rempah Nusantara. Ia juga mengadvokasi dan mengumpulkan produk pertanian organik.
Oleh
Agnes Aristiarini
·5 menit baca
Prapti Wahyuningsih (45) terus tersenyum. Duduk di kursi rodanya, ia melayani permintaan berfoto bersama, termasuk menjawab mereka yang bertanya ini itu.
Kamis, 23 Februari 2023, ia menjadi bintang di antara para penerima Gatra Citra Perempuan Indonesia, hasil kerja sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yayasan Duta Indonesia Maju, dan Gatra Media Group. Mungkin karena tampak sederhana di antara yang cantik dan wangi. Ningsih—begitu ia dipanggil—beserta 13 perempuan lain, menerima penghargaan tersebut karena dinilai berkontribusi memberdayakan masyarakat.
Tiga belas tahun lalu, 21 April 2010, Ningsih menerima A Tribute to Woman 2010. Penghargaan itu atas karyanya mengubah hal kecil menjadi bermakna bagi masyarakat. Sepanjang hidupnya, memang banyak hal dilakoninya. Ia menjadi buruh, aktivis, dan terlibat berbagai advokasi buruh. Berhenti jadi buruh ia berkelana dan mengajar anak-anak. Di tempat lain ia menjadi aktivis lingkungan, mengajak masyarakat mengolah sampah.
Ia tidak banyak berubah sekarang. Masih tampak ceria meski sudah beberapa hari tidak bisa jalan. Ia bahkan sempat mengesot ke kamar mandi karena kakinya bengkak parah gara-gara kadar gula darah di atas 400. ”Dulu malah pernah hampir 600,” kata Ningsih enteng.
Saat acara, sebenarnya ia mulai bisa melangkah meski dengan susah payah. Dua ibu dari Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) DPD Jawa Barat, Sri Hardjanti dan Tanti Mariani yang berbaik hati meminjamkan mobil, menemaninya dari Bandung ke Jakarta. Mereka membantu Ningsih naik turun mobil dan mendudukkan di kursi roda.
Sekarang kiprahnya makin banyak. Pendidikan anak-anak dan pengolahan sampah jalan terus. Tambahannya ia punya Sekolah Rempah Nusantara. Ia juga mengadvokasi dan mengumpulkan produk pertanian organik.
Setelah berhasil membeli tanah di Desa Pasir Angling, Lembang, Jawa Barat, ia berambisi membangun gedung sekolah tiga lantai. Selama ini kelas-kelasnya yang beratap terpal selalu bubar jika hujan deras tiba.
Pejuang
Dibuang orangtuanya sejak bayi, ia dibesarkan dan dinamai Prapti Wahyuningsih oleh pasangan Sukinem dan Sastro Mulyamto. Tanggal ia ditemukan menjadi tanggal lahirnya. Ningsih hanya lulus SD, itu pun tanpa ijazah karena menurut Sukinem, ”Uang buat ambil ijazah mending buat beli beras.”
Menyambung hidup, Ningsih menjadi buruh sejak usia 11 tahun. Masuk serikat buruh membuat ia ikut pelbagai demo, kenyang pentungan polisi, bahkan pernah masuk bui. Namun, setelah bertahun-tahun menjadi buruh dengan pangkat tertinggi pengawas keuangan, ia memutuskan berhenti.
Tahun 1999, ketika usianya 21 tahun, ia merintis Sanggar Budaya Anak Indonesia (Sang Budi). Di situ, ia mengajar anak-anak keluarga miskin sekitar tempat tinggalnya membaca, berhitung, dan bernyanyi. ”Saya nulis-nulis aja di tanah, kenalin huruf dan angka pada anak-anak,” kenangnya.
Ternyata ia tak betah berlama-lama. Solo ia tinggalkan. ”Kalau masyarakat butuh, pasti sekolah rintisan saya mereka teruskan.”
Kakinya membawa ia ke Cibenda, Ciampel, Karawang, Jawa Barat. Saat itu, 2002, jangan bayangkan Karawang jadi kota seperti sekarang. Meski pabrik-pabrik mulai berdiri, kampung gelap dan sunyi. Masih ada hutan di sekitarnya. Penduduk sebagian besar buta huruf dan tak mampu berhitung. Setiap panen tiba, mereka selalu dicurangi tengkulak.
Setelah Ningsih mengajari anak-anak baca tulis dan berhitung, mereka membantu orangtuanya menghadapi tengkulak. Ningsih mengguncang kemapanan. Puncaknya ia diperkosa beramai-ramai dan ditemukan penduduk pingsan bersimbah darah di hutan.
Ningsih menyingkir ke Desa Tapos, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, 2003. Setiap hari ia berjuang memulihkan jiwa raganya yang remuk redam. ”Aku cuma memohon sama Tuhan, bisa menghapus sakitku dengan kebaikan buat sesama.” Matanya berkaca-kaca.
Ia kembali mengajar anak-anak Tapos, yang hanya fasih berbahasa Arab, tetapi tak bisa berbahasa Indonesia. Seperti di tempat-tempat sebelumnya, ia mulai mengajarkan baca tulis hitung. Ditambah menyanyi dan mengenal Tanah Air.
Tapos ia tinggalkan untuk merawat orangtuanya di Solo. Dari Solo Ningsih ke Bandung, 2007. Ia bergabung dengan organisasi lingkungan Walhi dan berkenalan dengan isu-isu lingkungan. Ia belajar daur ulang sampah plastik jadi mainan, dompet, tas, dan mengajak masyarakat turut serta.
Ia berkenalan dengan Suster Irene OSU dari sekolah Santa Angela dan mendapat pinjaman untuk menyewa rumah di Cigending, Ujungberung, Bandung. Di sinilah konsep sekolah hijau ia terapkan: belajar baca tulis hitung sekaligus menjaga lingkungan. Banyak anak bergabung dan ibu-ibunya mau mengelola sampah dan membuat produk daur ulang.
Konsep sekolah hijau ia kembangkan di banyak tempat. Begitu komunitas tumbuh, ia pergi ke tempat lain. Ia sempat dianggap tidak bertanggung jawab karena selalu berpindah, tetapi ia yakin masyarakat bisa melanjutkan.
Bangun sekolah
Di atas tanahnya, ia membangun sekolah. Matanya berbinar menceritakan gedung sekolah impiannya, yang pembangunannya baru jalan sepertiga. ”Saya ingin gedungnya berbentuk H, melambangkan sekolah hijau. Nanti ada aulanya, kantin, dan kolam renang,” ujarnya.
Memang selalu saja ada yang mengulurkan tangan padanya. Pulang dari Kementerian PPPA pekan lalu, beberapa ibu yang hadir saweran dan menyerahkannya dalam amplop. Sebelum berangkat ke Jakarta, ada kiriman baju batik untuk acara.
Di Karangsari, Pasteur, ia mengembangkan sekolah rempah untuk mengenalkan kekayaan rempah Indonesia, mengolah, sekaligus menjualnya. Setiap hari ada saja yang ia tawari membeli bawang merah, bawang putih, dan aneka sayuran. Produk pertanian organik seputar Lembang.
”Satu lagi, saya ingin membangun universitas kehidupan lestari,” katanya.
Biodata
Nama : Prapti Wahyuningsih
Lahir : Solo, 26 Januari 1978
Orangtua : Sastro Mulyamto dan Sukinem
Pendidikan : Sekolah Dasar
Pendiri : Sanggar Budaya Anak Indonesia (Sang Budi), Sekolah Hijau Lestari, Sekolah Rempah Nusantara
Penghargaan : A Tribute to Woman (2010), Gatra Citra Perempuan Indonesia (2023)