Djoko Kusumowidagdo dan Elly Tjahja, Transformasi Indonesia dari Luar Ruang
Keduanya telah jatuh bangun mengembangkan usaha berbasis kewirausahaan sosial dengan membuat pelatihan luar ruang dan eksperimental untuk ribuan orang dari berbagai kalangan di Indonesia.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Mereka ini boleh dibilang ikut mentransformasi Indonesia. Apakah sebutan ini berlebihan? Sepertinya tidak. Ketika mereka berhasil mengubah sudut pandang dan pikiran berbagai kalangan dari eksekutif perusahaan, preman, kaum rohaniwan, difabel, pegawai pemerintah, hingga pelajar berandalan, bukankah predikat ini layak untuk disematkan?
Predikat tersebut layak diberikan kepada pendiri Outward Bound Indonesia (OBI) Djoko Kusumowidagdo (74) dan istrinya, Elly Tjahja (73). Keduanya telah jatuh bangun mengembangkan usaha berbasis kewirausahaan sosial dengan membuat pelatihan luar ruang dan eksperimental untuk ribuan orang dari berbagai kalangan di Indonesia. Orang mungkin mengenal nama OBI, tetapi sedikit yang mengetahui jasa besar lembaga ini.
”Sesuatu yang berubah dari mereka yang ikut kegiatan luar ruang adalah sudut pandang. Orang yang takut menjadi berani dan orang yang tidak percaya diri menjadi percaya diri,” kata Djoko yang juga menjadi CEO menceritakan inti dari kegiatan luar ruang OBI. Ia dan Elly memulai kewirausahaan sosial ini tahun 1990 dengan persiapan dua tahun sebelumnya. Awalnya tak mudah. Niatnya ingin melatih para pemuda saat itu, tetapi khawatir dikonotasikan sebagai kegiatan politik sehingga ia memilih arena lain.
Arena itu adalah dunia bisnis. Oleh karena itu, ia melatih para eksekutif muda pada awalnya. Dengan mengajak mereka, kemungkinan stempel sebagai kegiatan berbau politik bisa ditepis. Mereka mengajak berbagai perusahaan untuk ikut di dalam program pelatihan luar ruang yang lokasinya berada di tepi Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
”Sangat susah untuk mengajak orang agar paham kegiatan luar ruang kala itu,” kata Djoko. Ia menemui satu per satu pimpinan perusahaan dan melakukan presentasi. Usahanya tidak sia-sia. Gayung bersambut. Sejumlah perusahaan kemudian ”menyekolahkan” karyawannya di OBI. Satu per satu perusahaan ternama bergabung. Peran OBI sangat besar saat itu karena beberapa perusahaan pada saat bersamaan tengah melakukan transformasi. Pelatihan di OBI sangat mendukung kebutuhan berbagai perusahaan.
Dalam perjalanannya, mereka tidak hanya melatih para eksekutif. Sebenarnya, setelah itu Elly tertantang untuk membuat pelatihan bagi kaum difabel. Akan tetapi, sebuah peristiwa tawuran pelajar di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, tahun 1998 membuat dirinya ”berbelok” sebentar dengan memberi perhatian pada masalah lain. Di depan mata, ia melihat kekejian dilakukan oleh pelajar dengan korban terbunuh sesama pelajar pula. Elly bisa dengan runut menceritakan kisah ini hingga ia berniat untuk ikut membantu menyelesaikan benang kusut dunia pelajar di Jakarta ini.
”Percuma ibu menyelesaikan masalah ini. Mereka memang anak jalanan,” ujar Elly menceritakan respons salah satu kepala sekolah dari tiga sekolah ketika ia mengajak bicara mereka untuk mendamaikan para pelajar. Elly tak menyerah. Ia terus meyakinkan satu per satu sekolah hingga akhirnya pihak sekolah mau mengirim masing-masing delapan pelajar yang merupakan pentolan tawuran. Pihak sekolah juga mau membiayai bus untuk memberangkatkan mereka ke pelatihan luar ruang selama delapan hari.
Saat di bus, mereka masih merasa terasing. Akan tetapi, setelah pelatihan, mereka tak mau berpisah satu sama lain. Hingga setelah pelatihan, mereka sering bertemu di sebuah rumah untuk membuat karya. Pelatihan untuk pelajar ini berlangsung selama lima tahun dan mengikutsertakan semua wilayah di Jakarta. Tak hanya pelajar yang suka tawuran, tetapi juga sejumlah preman pernah ikut pelatihan luar ruang.
Elly tak melupakan tantangan untuk melatih difabel netra. Di sela pelatihan untuk pelajar, ia mulai mengajak mereka. Keinginan untuk melatih mereka muncul ketika ia melihat difabel netra lebih banyak tinggal di rumah dan tidak percaya diri untuk bepergian ke luar. Program ini dimulai dengan meyakinkan mereka dan juga sejumlah lembaga agar mau ikut dalam pelatihan luar ruang.
”Ada salah satu yang berhasil dan berani ke luar negeri sendiri. Ia pernah ke Australia, China, dan Singapura. Setiap kali mengalami ketakutan dan kecemasan, ia ingat pelatihan di OBI dan tumbuh kepercayaan diri,” kata Elly. Program ini terus berjalan hingga mereka yang ikut pelatihan sebanyak 400 orang. Elly sendiri kemudian mendirikan dan menjadi Ketua Dewan Pembina Yayasan Helping Hands yang membantu para difabel.
Djoko dan Elly tak berhenti membuat tantangan. Ketika sebuah sebuah ordo suster memasrahkan pelatihan para suster ke OBI, pasangan ini langsung menyanggupinya. Mereka dilatih untuk percaya diri hadir di tengah masyarakat. Melalui berbagai pelatihan, para suster ini berani melangkah. Pada saat bersamaan, yaitu ketika reformasi 1998, para suster ini ikut berdemonstrasi. Wujud nyata sukses pelatihan, mereka terjun ke langsung ke lapangan.
Setelah itu, dengan melihat keterbelahan bangsa, tahun 2017 pasangan ini membuat program Ekspedisi Bhinneka bagi Bangsa. Mereka memanggil anak-anak muda dari berbagai provinsi untuk ikut pelatihan luar ruang. Dua kali pelatihan sempat diadakan, tetapi kemudian terjadi pandemi sehingga terhenti. Kini mereka akan memulai kembali ekspedisi yang mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
”Salah satu yang penting dari pelatihan luar ruang, orang menjadi sensitif dengan lingkungan sekitar,” kata Djoko. Peserta terstimulasi untuk berani mencoba, berpikir positif, tidak ragu-ragu, dan mau terlibat menangani persoalan sekitar. Mereka yang ikut pelatihan kemudian membagikan kisahnya. Dari membagikan kisahnya, peserta kemudian membuat komitmen untuk masa depan mereka.
Di era digital, pelatihan luar ruang bukan usang, melainkan malah menemukan tempatnya. Era ini membutuhkan kemampuan komunikasi, kecerdasan sosial, dan kemampuan beradaptasi yang bisa didapat dari pelatihan luar ruang. Negara tetangga mengembangkan pelatihan ini dalam jumlah besar untuk membangun generasi baru agar memahami karakter bangsanya.
Ada salah satu yang berhasil dan berani ke luar negeri sendiri. Ia pernah ke Australia, China, dan Singapura. Setiap kali mengalami ketakutan dan kecemasan, ia ingat pelatihan di OBI dan tumbuh kepercayaan diri.
Djoko Kusumowidagdo
Lahir: Tegal, 1948
Pendidikan:
SD Pius Tegal lulus 1961
SMP Pangudi Luhur Ambarawa lulus 1964
SMA St Aloysius Bandung lulus 1967
Portland State University:
- Bachelor of Science in Chemistry lulus 1972
- Master of Business Administration lulus 1975
Pekerjaan:
- Ogilvy & Mather Advertising 1975-1977
- PT Berca Indonesia-Sales Division 1977-1981
- PT Sanga Kencana Int’l 1981- 1990
Pendiri & CEO lembaga pendidikan karakter Outward Bound Indonesia 1990-sekarang
Riwayat kegiatan sosial:
Anggota Lions Club sejak 1976 hingga sekarang
Elly Tjahja
Lahir: Semarang, 1949
Pendidikan:
- SD Christus Rex lulus 1961
- SMP Kebon Dalam lulus 1964
- SMA Kebon Dalam Semarang lulus 1967
- Universitas Atma Jaya Jakarta, S-1 Bimbingan & Konseling lulus 2010
Pekerjaan:
- Universitas Trisakti 1974
- Manulife 1989-1993
Kegiatan sosial:
- Pendiri Lembaga pendidikan karakter Outward Bound Indonesia 1990
- Pendiri & Ketua Pembina Yayasan Helping Hands tahun 2015 - sekarang