Bunsei Sato, Tokoh di Balik Keramahan Jepang untuk Turis Muslim
Di Desa Hakuba, Nagano, Jepang, seorang laki-laki bernama Bunsei Sato dan rekan-rekannya mendorong agar pariwisata di daerah tersebut menjadi ramah Muslim.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu, Bunsei Sato, berdiri di Stasiun Kamishiro, Desa Hakuba, Nagano, Jepang, Minggu (19/2/2023). Sato adalah sosok yang mendorong agar pariwisata di desa tersebut menjadi ramah Muslim. Inisiatif ini berkembang hingga menginspirasi daerah lain dan pemerintah pusat. Selain sibuk di bidang pariwisata, Sato juga bekerja sebagai Kepala Stasiun Kamishiro.
Ada masa ketika Muslim begitu asing bagi Jepang. Di Desa Hakuba, Prefektur Nagano, sebuah inisiatif muncul sejak satu dekade terakhir guna membuat pariwisata lebih ramah terhadap pemeluk Islam. Bunsei Sato (64) adalah sosok penting di balik upaya tersebut.
Suhu mendekati nol derajat di kawasan Hakuba Goryu Snow Resort, Desa Hakuba, Nagano, Sabtu (18/2/2023), sore. Di dalam Escal Plaza, duduklah Sato sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu. Ia tengah menjadi pendamping rombongan jurnalis Indonesia untuk program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jenesys) 2022.
Putih salju Pegunungan Alpen Utara di sekitar senada dengan uban di kepalanya. Raut kebapakan tenang terpancar dari wajahnya. Meski hanya bisa bicara seperlunya lewat penerjemah, Sato tanpa lelah memperkenalkan Desa Hakuba sebagai tujuan wisata yang berjarak lebih dari 200 kilometer dari Tokyo.
Perkenalan itu Sato padukan dengan kesigapan melayani kebutuhan para peserta Muslim. Sambal pedas dia sediakan waktu makan, sedangkan mukena dan sajadah dia tawarkan kepada yang ingin shalat. Kepekaan itu ada alasannya.
“Dulu citra Islam di mata orang Jepang adalah teror dan Al Qaeda. Informasi itu kami dapatkan lewat berita yang disiarkan di televisi atau radio. Ternyata mereka sangat ramah,” tutur Sato.
Perubahan persepsi itu terjadi pada 2010. Sato menerima kunjungan rombongan Jenesys yang juga dari Indonesia. Di situlah dia baru tahu soal Muslim.
Sato berinteraksi dengan mereka. Banyak kesulitan yang mereka sampaikan, seperti kesulitan mendapati makanan halal dan menunaikan kewajiban shalat di Jepang. Alhasil, saat wudhu misalnya, mereka harus menggunakan tempat cuci muka yang membuat lantai basah kuyup. Sato sempat kebingungan.
Pengetahuan terbatas tentang wisatawan Muslim menggugah Sato untuk belajar. Ia pergi ke sejumlah seminar dan lokakarya, termasuk yang diadakan Sophia University di Tokyo. Belum cukup, laki-laki ini mengunjungi pameran perjalanan di Malaysia pada 2011 dan agensi perjalanan di Indonesia pada 2012.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Tampak Restoran Alps360 di kawasan Hakuba Goryu Snow Resort berlatar pemandangan Pegunungan Alpen Utara yang terletak di Desa Hakuba, Nagano, Jepang, Sabtu (18/2/2023), siang. Desa Hakuba terkenal dengan pariwisata musim dingin, terutama ski.
Pada 2012, Sato mendorong inisiatif pariwisata Desa Hakuba yang ramah Muslim. Pria ini berbagi pengetahuan tentang wisatawan Muslim ke rekan-rekan di asosiasi yang beranggotakan 70 penginapan dan dua ski resor. Dalam rapat, ia mulai dengan menjelaskan hal esensial, yakni kebutuhan sholat, makanan yang diharamkan dalam Islam, dan cara interaksi dengan perempuan Muslim.
Tak semua menyambut hangat usulan Sato. “Mereka menolak inisiatif Muslim Friendly itu karena merasa ada kendala bahasa. Saat itu, wisatawan asing selain orang Barat tidak banyak,” ujarnya.
Seiring berlalunya waktu, inisiatif itu mulai menampakkan hasil. Para penyedia jasa di Desa Hakuba yang bersedia memulai dengan hal sederhana. Mereka mau menyediakan makanan halal dan tempat shalat. Sato turut mendapat dukungan. Pada 2015, seorang tamu dari Malaysia mengirim mukena dan sajadah yang digunakan sampai sekarang.
Desa Hakuba jadi mulai menerima rombongan pengunjung Muslim, baik itu turis maupun peserta program internasional. Mereka kebanyakan berasal dari Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Ada juga rombongan dari Uni Emirat Arab dan Afghanistan.
Menurut Sato, jumlah pengunjung Muslim terus meningkat terutama di era tahun 2017-2018, meskipun tidak ada data pasti. Sebelum pandemi, ia bisa menangani 5-6 grup yang rata-rata berisikan 15 orang dalam setahun. Paket wisata yang Hakuba tawarkan, antara lain main ski, pemandangan Sakura, dan makan siang di atas salju.
Pelopor inisiatif
Di Jepang, inisiatif ramah Muslim masih baru. Sebelumnya hanya ada istilah halal dan haram. Bisa dibilang, Sato menuturkan, inisiatif ramah Muslim yang muncul di Desa Hakuba sejak musim gugur tahun 2012 itu merupakan pelopor di Jepang.
Sato tidak bekerja sendiri. Ada tiga teman lain yang membantu inisiatif itu, yaitu Masahiro Hashitomi, Mamoru Sakamoto, dan Kenji Sakurada. Nama Desa Hakuba, yang dulu terkenal sebagai tempat penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin 1998, lantas melambung sebagai tempat wisata ramah Muslim.
Pemerintah pusat hingga organisasi pariwisata lain di Jepang, sebutlah Okinawa dan Wakayama, ikut terinspirasi menggunakan istilah itu. “Kalau konsep pariwisata ramah Muslim kami adalah berusaha memberi informasi dan fasilitas semampu kami agar pengunjung senang,” kata Sato.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu, Bunsei Sato, berdiri di Stasiun Kamishiro, Desa Hakuba, Nagano, Jepang, Minggu (19/2/2023). Sato adalah sosok yang mendorong agar pariwisata di desa tersebut menjadi ramah Muslim. Inisiatif ini berkembang hingga menginspirasi daerah lain dan pemerintah pusat. Selain sibuk di bidang pariwisata, Sato juga bekerja sebagai Kepala Stasiun Kamishiro.
Upaya Sato dan teman-teman tentulah tak sempurna. Tidak ada pembangunan fasilitas khusus Muslim di Desa Hakuba. Sosialisasi dan koordinasi bagi anggota asosiasi juga masih harus ditingkatkan. Namun, desa dengan 9.000 penduduk ini telah punya kepekaan atas kebutuhan dasar pengunjung Muslim, seperti lewat penyediaan ruang shalat dan makanan halal.
Sato menjelaskan, Desa Hakuba mengincar wisatawan Muslim dari Asia Tenggara ketimbang negara di kawasan lainnya. Wisatawan Asia Tenggara mudah beradaptasi dengan kebiasaan orang Jepang dan kondisi desa yang memiliki penginapan kecil. Untuk sekarang saja, bisa sekitar dua juta wisatawan datang setiap tahun ke desa ini walau wisatawan domestik masih mendominasi.
Terlepas dari motivasi bisnis yang ada, inisiatif ramah Muslim tersebut membuka wawasan baru buat Jepang tentang Muslim. Jepang pun lambat laun siap menerima wisatawan dari segala latar belakang.
“Pemahaman yang sekarang dimiliki adalah kita semua sesama manusia. Kita hanya memiliki kepercayaan dan kebiasaan makan yang berbeda,” ujar Sato yang ingin membuat penginapan ramah Muslim ini.
Bunsei Sato
Lahir: Akita, Oktober 1958
Pekerjaan: Kepala Stasiun Kamishiro, Desa Hakuba (1997-sekarang)