Topeng-topeng Lutesha
Beradaptasi. Kata itu yang dipegang aktris Lutesha (28) ketika jalan hidupnya mengantarkan pada terang sorotan kamera. Si pendiam yang nyaman dengan dunia sendiri kini membuka diri melalui kepingan topeng dari perannya.

Lutesha Sadhewa
Beradaptasi. Kata itu yang dipegang aktris Lutesha (28) ketika jalan hidupnya mengantarkan pada terang sorotan kamera. Si pendiam yang hanya nyaman dengan dunianya sendiri kini membuka diri melalui kepingan topeng dari aneka peran yang dijalani.
Irit bicara. Kesan itu pertama muncul ketika berjumpa seusai pemutaran perdana film barunya, Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang. Dia berulang kali mengulas senyum dan tawa, gerakan lewat bahasa tubuhnya berupaya santai.
”Iya, ya? Eh, tapi sampai sekarang memang kalau harus yang press conferencegitu-gitu aku masih suka bingung. Enggak bisa yang ngomong panjang atau merangkai kata yang gimana gitu. Bawaannya pengin cepat selesai,” ujar Ute, sapaan akrab Lutesha, sambil tertawa tergelak ketika bersua lagi di kantor Kompas, Rabu (8/2/2023).
Pertemuan kali ini sekaligus menggugurkan kesan irit berbicara. Obrolan ringan mengalir serasa kawan lama yang tengah menyesap es teh manis dan menanti menu ayam Kalasan favorit di Kantin Sastra Universitas Indonesia. Salah satu tempat tongkrongannya ketika masih mengenyam pendidikan di Sastra Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Masa yang tidak sekadar kuliah, tapi sekaligus momen pembuka di jalur karier yang digelutinya saat ini. ”Tadinya ikut GoGirl! Look 2013. Itu sebenarnya udah telat juga, ya, karena kan biasanya pas masih SMA gitu kan. Itu aku udah kuliah. Tapi emang iseng aja sih karena main interest aku sebenarnya bukan ke modelling dan lebih karena liat kakak sama sepupu aja,” tutur Ute.

Lutesha Sadhewa
Bahkan, jika dirunut, tak pernah terlintas dalam pikirannya sejak kecil untuk menjadi model, apalagi aktris film. Cita-citanya justru menjadi dokter hewan. ”Ha-ha-ha. Enggak tahu gue kenapa dulu kalau ditanya, selalu nyebut jadi dokter hewan. Tapi saat SMA gue sadar kalau mau jadi dokter hewan itu harus belajar IPA dan itu susah, ya. Jadi, oke kita ganti haluan,” ungkapnya.
Di balik pendiamnya, Ute jago menari. Ketika SMA, ia sempat dikirim ke Turki, Swiss, dan Ceko untuk misi kebudayaan. Setidaknya ada 10 tarian tradisional yang dikuasainya. Ketika kuliah, hobinya menari disalurkan melalui panggung teater. ”Teater itu aku nari juga. Aku kurang nyaman berperan di teater. Karena mungkin semua penonton itu fokusnya bakal ke aku kalau saat berperan, ya. Beda sama film,” ujarnya.
Ketertarikan Ute terhadap dunia seni mulai dari nonton film, mendengarkan musik, hingga seni lukis juga membawanya pada impian menjadi desainer grafis. Demi mewujudkan mimpi itu, bimbingan belajar menggambar Villa Merah pun dijabaninya agar bisa masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang telah mencetak banyak lulusan sebagai desainer grafis andal. ”Seni lukis atau gambar itu kayak mimpi muluk kali, ya. Saat ikut les Villa Merah, kayaknya bakat gue emang enggak di sini. Skill gambar gue tuh mentok,” tuturnya.
Walakin, apa boleh buat, takdirnya tertambat di Sastra Belanda FIB UI. Itu karena ia rutin terpapar bahasa Belanda dari komunikasi ibu dan omanya yang berdarah Belanda serta aneka literatur Belanda yang ada di rumahnya.
Tanpa disadarinya, kesempatan mengembangkan kemampuan desain grafisnya tetap tersalurkan di kampus. Pada tiap acara yang mewakili jurusannya, seperti Pekan Apresiasi Seni Rupa, Olimpiade Budaya, hingga Petang Kreatif, Ute selalu ditunjuk untuk menangani urusan desain poster, kaus, dan lain-lain. Ia lalu akrab dengan kamera analog sejalan dengan hobi fotografinya. Sebuah akun di Instagram sengaja dia buat khusus untuk mengunggah hasil jepretan dengan berbagai jenis kameranya.
”Makin lama aku lebih suka yang visual gitu, terlebih foto, ya. Karena gambarnya tidak bergerak dan hasilnya harus sempurna, harus indah. Visualnya juga harus elok. Gitu juga pas jadi model, enggak harus ngomong kan,” ujarnya yang menjalani profesi model sembari kuliah saat itu.
Perjalanan berkuliah sembari meniti karier tak mudah rupanya. Kesibukan kuliah, kegiatan kampus, dan jadwal sesi foto kadang bertubrukan. Pernah satu waktu, ia telat tiga jam untuk datang ke sesi pemotretan karena berbarengan dengan ujian. Padahal, ada kebutuhan harus mengejar pencahayaan matahari yang prima untuk sesi foto kali itu.
”Selesai ujian, langsung ngejar kereta dari Depok sampai di Sudirman. Naik ojek, waktu itu belum yang onlinekayak sekarang. Make upartist-nya udahkesel, make up-innya udah kasar kayak di-usek-usek,hih ini model lama banget. Terus kami kan punya jatah absen kelas juga kan tiga kali, itu gue maksimalin. Sampai akhirnya pernah bikin surat izin sakit palsu. Ha-ha-ha. Ya kan, gimana dong harus kerja,” ungkapnya, yang berhasil lulus tepat empat tahun.

Lutesha Sadhewa
Alih-alih fokus menekuni profesi model selepas kuliah, Ute justru mengambil pekerjaan di Bali sebagai manajer media sosial di sebuah galeri seni sambil masih mengikuti sesi pemotretan di Jakarta yang mengharuskannya bolak-balik. Selama 18 bulan menjalaninya, Ute memutuskan untuk pulang ke Jakarta setelah terpilih sebagai salah satu pemeran di film My Generation (2017).
”Gue pernah castingGalih & Ratna (2017) yang Refal (Refal Hady) sama Sheryl (Sheryl Sheinafia), tapi enggak lolos, bok. Pas yang ini keterima, ya udah gue putusin untuk balik ke Jakarta,” ujarnya.
Belum percaya
Berkecimpung di industri film tak semudah bayangan Ute. Ia harus mengalahkan segala keengganan disorot kamera sambil berdialog dan berekspresi. Jauh berbeda dengan pengalamannya sebagai model yang cukup berpose atau videoklip yang hanya berekspresi sesuai arahan.
Film kadang membutuhkan lebih dari satu kamera. Banyak kru juga yang fokus memandanginya. Si anak tengah yang pendiam, introvert, berbicara seperlunya, dan kerap dianggap judes ini ditantang menaklukkan dirinya sendiri. Keluar dari zona nyaman. Proses berlatih selama tiga bulan di bawah arahan sutradara Upi Avianto tak seketika menaikkan rasa percaya dirinya.
Suaranya ketika berdialog tak lepas, bahkan kerap kali belibet karena buru-buru ingin selesai tiap adegan. Rasa malu masih menjalarinya. Namun, dukungan dari sesama pemain dan kru saat itu diakui cukup membantunya hingga membuat sutradara lain, Farid Demawan, tertarik mengajaknya bekerjasama di film Ambu (2019).
Di tahun yang sama, ia berhasil memperoleh peran Suci di film Bebas (2019) besutan sutradara Riri Riza setelah menjalani proses castingyang cukup panjang hingga hampir setahun. Namun, belakangan mulai muncul kekhawatiran pada dirinya sehingga sempat ingin tak meneruskan karier filmnya.
”Gue tuh khawatir awal-awal jadi typecast,gitu. Coba deh dari film pertama, kedua, sampai Bebas, itu kan karakternya selalu anak yang depresi, durhaka membangkang orangtua, emo, atau yang ketus dingin gitu. Mungkin karena pendiam dan resting bitch face yang galak-galak gitu ya sehari-hari gue. Ha-ha-ha,” tutur Ute, yang rindu jalan-jalan naik transportasi umum.
Di tengah jeda dari film pertamanya, Ute sempat bermain di sebuah serial bertajuk Halustik (2018). Film itu mengharuskan Ute menjadi orang yang ramai dan selalu ramah. Perbedaan signifikan ini diakuinya melelahkan karena dia benar-benar menjadi orang lain. Itu pula yang membuatnya kembali pada peran yang dianggapnya familiar, meski diliputi kekhawatiran akan terus berada pada tipe peran serupa.

Lutesha Sadhewa
Ketika itu, Ute lagi-lagi tetap bekerja juga sebagai desainer grafis sambil shooting. Tujuannya, agar dia bisa tetap aman jika karier filmnya terhenti. Namun, dukungan dari sang suami justru menguatkan dia untuk terus mengembangkan diri di dunia film dengan aneka tantangan yang membuat dirinya kian bertumbuh.
Ia kian mantap meniti karier ini dan meninggalkan dunia kantoran seusai merampungkan film Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 (2020) yang disutradarai Timo Tjahjanto. ”Ini mulai beda. Gue jadi hantu. Ha-ha-ha. Orang jadi hantu itu kan enggak ada tolok ukurnya. Terserah lu mau jadi hantu belalang, hantu harimau, ya jumpalitan enggak ada orang yang akan menilai lu jelek. Jadi, all outaja jadi setan,” ungkapnya.
Keputusannya tepat memilih jalur film. Meski kembali menjadi cewek ketus dan dingin di Penyalin Cahaya (2021), Ute merasakan pengalaman berbeda. Sebab, film yang memenangi banyak penghargaan di Festival Film Indonesia 2021 ini memiliki latar cerita tentang pelecehan seksual. Dia sadar, perilaku itu juga marak di industri yang dijalaninya. Karakter Ute yang dingin pun dipengaruhi kejadian pelecehan seksual yang dialami. Ia memiliki batasan tersendiri dalam menjalankan profesinya saat ini.
Keseriusan dan kematangan aktingnya mulai naik kelas dengan ragam peran yang perlahan variatif. Peran Alpha di The Big 4 (2022), misalnya. Selain memaksanya berlatih bela diri yang dia anggap sangat sulit karena tak terbiasa olah fisik, Ute ditantang bernyanyi dan bergoyang dangdut dengan tampilan norak. ”Itu tuh yang jadi extras anak-anak asli dari Bali. Jadi, mereka pas liat aku itu ngeliatin dari atas sampai bawah. Kan gue makin beban, ya. Senyum dikit kek bantuin gue. Ha-ha-ha,” ujarnya.

Lutesha Sadhewa
Perannya sebagai Honey di Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang ini juga berbeda. Bahkan, ketika casting, ia sengaja menyetel dirinya menjadi sosok yang ceria dan hangat. Namun, kali ini ia jauh lebih merasa nyaman karena telah memahami esensi dari pilihannya kini. Teranyar, perempuan yang ingin memperoleh peran sebagai diva atau perempuan keturunan Belanda seperti Annelies dalam Bumi Manusia ini baru saja terlibat dalam film Dear David (2023) dan Panduan Mempersiapkan Perpisahan (2023).
”Gue enggak suka peran gue di situ (Panduan Mempersiapkan Perpisahan). Demi (nama perannya) jahat banget. Gue di situ perannya agak kayak Summer (500 Days of Summer). Gue enggak kayak gitu orangnya,” ujarnya yang berpacaran sejak kuliah dengan suaminya ini.
Pada dasarnya, kecintaannya pada film telah tumbuh sedari Ute kecil yang tiap pukul enam pagi meminta diputarkan VHS Cinderella ke ayahnya. Berlanjut sepulang SD, dia mampir ke bioskop Megaria untuk menonton film. Di rumah, ia juga senang berpura-pura tengah menjadi siswa Hogwarts dari kisah Harry Potter atau ngomong sendiri menirukan adegan Lord of the Rings. Hingga kini, ia yang disaksikan di layar lebar. Dari banyak perannya yang disuguhkan, jadi siapa Lutesha?
“Gue ya gue, Lutesha. Walau bisa berubah 180 derajat berbeda dalam peran, gue masih menyisipkan Lutesha di dalamnya. Mungkin lebih tepatnya, lebih lihai punya topeng. Bisa menempatkan diri dan meng-handle diri,” pungkasnya.
Langkahnya masih panjang. Masih banyak topeng yang belum dijajalnya untuk terus mewarnai film Indonesia dan terus bertumbuh.
Lutesha Sadhewa
Lahir : Jakarta, 23 Juni 1994
Pendidikan:
- SMA Plus Pembangunan Jaya
- Sastra Belanda FIB UI