Setia di Jalur Pengabdi Humor
Ketika ayahnya melucu, Rahmat membayangkan dirinya juga ingin tumbuh seperti itu. Melucu, membuat orang di sekitarnya tertawa dan senang. Dengan keahliannya menggambar, akhirnya Rahmat memilih jalan seperti ayahnya.
Meski mengibaratkan karya kartun strip berisi humor itu cuma remah-remah roti, Rahmat Riyadi (75) berhasil memanggungkannya selama separuh abad di beragam media ternama, termasuk 38 tahun sampai sekarang dengan karya kartun strip Timun di harian Kompas edisi Minggu. Rahmat setia di jalur pengabdi humor.
Rahmat menunjukkan salah satu kartun strip karyanya yang dimuat harian Indonesia Raya tahun 1973, persis 50 tahun silam. Harian ini mencuat karena berbagai berita politik yang kritis disertai investigasi yang tajam.
Harian Indonesia Raya sempat dikenal sebagai muckracking paper atau surat kabar yang mengivestigasi tuduhan korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintah dan menyiarkannya dengan gegap gempita. Periode penerbitannya selama dua kali, yaitu periode Orde Lama tahun 1949 sampai 1958. Pada periode Orde Baru pada tahun 1968 sampai 1974.
Keterhentiannya diwarnai pembredelan berulang oleh pemerintah Orde Lama. Kemudian pembredelan hanya satu kali oleh pemerintah Orde Baru, tetapi ini sekaligus mematikan harian yang dipimpin Mochtar Lubis itu sejak awal 1974.
Pembredelan ketika itu disebabkan berbagai pemberitaan anti-modal asing. Puncak peristiwanya pada demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang dikenal sebagai Malari atau Malapetaka Limabelas Januari 1974. Setelah peristiwa itu, harian Indonesia Raya tidak pernah terbit lagi.
”Selama setahun kartun strip saya dimuat setiap hari di harian Indonesia Raya. Isu sosial lebih disukai,” ujar Rahmat, Selasa (14/2/2023), ketika mempersiapkan Pameran Kartun Strip Timun Parodi Negeri Kami di Bentara Budaya Jakarta.
Parodi Negeri Kami
Pameran Parodi Negeri Kami berlangsung pada 16-23 Februari 2023. Pameran ini menampilkan ratusan karya kartun strip Timun di harian Kompas, disertai puluhan lukisan Rahmat yang dibuat semenjak istrinya, Darmuji Ningsih, meninggal pada 7 Juli 2020.
Kartun strip Timun di harian Kompas tidak jauh berbeda dengan kartun strip di harian Indonesia Raya. Hanya saja, kartun strip di Indonesia Raya tidak diberi nama. Tema kritik sosialnya lugas dengan humor satire.
Suatu ketika Rahmat menyentil persoalan gaji guru yang rendah. Dari kartun strip yang dimuat Indonesia Raya pada 1973 itu, Rahmat menggambarkan situasi kelas.
Di bagian pertama ada sebuah papan tulis kosong. Pak Guru di sampingnya, digambarkan dengan muka sinis seraya memberi perintah, ”Latihan menulis halus. Mat Jorok maju!!”
Berikutnya, wajah Pak Guru digambar tidak sinis lagi dan berubah dengan senyumannya yang lebar. Ia berkata, ”Hah?? Bagus sekali tulisanmu kali ini!!!”
Pada kenyataannya, bentuk tulisan muridnya yang disebut sebagai Mat Jorok itu bukanlah sebuah tulisan halus yang bagus. Besar kecil huruf tidak seragam dan tidak rapi. Ada huruf tegak, ada huruf latin. Ada pula goresan untuk menutup salah satu huruf yang mungkin salah.
Ternyata, sang murid menuliskan, ”Pemerintah akan memperbaiki gaji guru.”
Senyum Pak Guru rupanya bukan karena tulisannya yang halus. Tetapi, karena tulisan itu membiaskan keinginan yang diidam-idamkannya, yakni gaji guru naik.
Ini humor berbobot kritik sosial yang dilontarkan Rahmat. Ketika itu usia Rahmat menginjak 26 tahun. Rahmat lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, Oktober 1947.
Ia menuntaskan pendidikan SD hingga SMA di Pekalongan. Setelah lulus SMA pada 1967, Rahmat meneruskan kuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Atma Jaya, di Yogyakarta. Hingga dua tahun kemudian, Rahmat memutuskan keluar dan putus kuliah.
Setelah putus kuliah itulah Rahmat merantau ke Jakarta. Ia mengadu nasib.
Dari sekian panjang perjalanan hidupnya, Rahmat sempat menjadi jurnalis, fotografer, dan penulis skenario film. Di setiap waktu luangnya Rahmat menggambar kartun strip humor dan dikirimkan ke berbagai media cetak agar dimuat.
Karena itulah kemudian disebutnya sebagai remah-remah roti, karena membuat kartun strip tidak menjadi pekerjaan utamanya. Demi mengabdi kepada rasa humor, Rahmat setia mencipta kartun strip humor sampai sekarang.
Sebuah kartun strip Timun yang dimuat Kompas menunjukkan keinginan kuat untuk selalu mencipta rasa humor. Rahmat menggambar Timun dan istri, Delima, dan satu anak laki-laki yang diberi nama Terong.
Rahmat menyajikan suasana Lebaran. Timun dan Delima mengucapkan minta maaf lahir dan batin. Terong juga. Akan tetapi, Terong mengucapkan, ”Maapin kalo kami tidak lucu!”
Terong mewakili pikiran Rahmat. Rahmat meminta maaf, kalau-kalau kartun strip humornya ada yang tidak lucu.
Keseharian
Selera humor Rahmat tersulut sejak kecil dari tengah keluarga. Ia terlahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya yang bernama Sampe ternyata suka melucu di tengah keluarga.
”Ayah saya sering bercerita humor tentang peristiwa kesehariannya. Sampai-sampai ibu saya menangis karena tertawa terpingkal-pingkal. Adik perempuan saya ada yang tertawa sampai terkencing-kencing hingga lari masuk kamar mandi,” ujar Rahmat.
Rahmat dan kakaknya yang laki-laki, Kartono Riyadi, yang akhirnya menjadi fotografer Kompas, juga tertawa. Akan tetapi, mereka tidak sehisteris ibu dan adik-adiknya yang perempuan.
”Kejadian seperti itu berulang kali. Kadang ayah saya malah ditanggap di mana-mana untuk melucu,” kenang Rahmat.
Ketika ayahnya melucu, Rahmat membayangkan dirinya juga ingin tumbuh seperti itu. Melucu, membuat orang di sekitarnya tertawa dan senang. Dengan keahliannya menggambar, akhirnya Rahmat memilih jalan seperti ayahnya untuk melucu, membuat orang yang melihat gambarnya bisa tertawa dan senang.
”Ayah saya juga suka menggambar. Saya pun sejak kecil sering menggambar. Ketika SMP, saya pernah menjadi juara kedua lomba menggambar di Pekalongan,” tutur Rahmat.
Masa-masa kuliah di Yogyakarta akhirnya menentukan arah perjalanan hidupnya. Ia tinggal di sebuah asrama yang memiliki sebuah perpustakaan. Di situ ia sering mendapati majalah luar negeri.
Rahmat sering mengalihbahasakan artikel majalah asing menjadi sebuah tulisan berbahasa Indonesia. Ia kemudian mengirimkan ke media-media cetak, terutama yang terbit di Jakarta. Tidak ketinggalan, Rahmat juga sering mengirim gambar karikatur supaya dimuat di media-media cetak di Jakarta.
”Dari situ saya mendapat honor tulisan dan gambar, hingga selama dua tahun saya kuliah akhirnhya merasa bosan dan keluar,” kata Rahmat.
Sepeninggalnya dari bangku kuliah di Yogyakarta, Rahmat pergi ke Jakarta dan menetap di rumah saudaranya di Kwitang, Jakarta Pusat. Di masa-masa awal Rahmat tekun memotong gambar tokoh-tokoh terkenal dari berbagai koran dan majalah untuk dibuat karikaturnya.
Karikatur tokoh-tokoh terkenal itu dikumpulkan mencapai 100 orang lebih. Rahmat pun meraih rasa percaya diri untuk melamar pekerjaan di beberapa media cetak yang terbit di Jakarta dengan menunjukkan kemampuannya membuat karikatur tokoh terkenal.
Suatu kali ia melamar di sebuah kantor majalah berita ternama di Jakarta dan redakturnya menolak dengan mengatakan belum membutuhkan karikaturis. Sewaktu akan keluar gedung itu, Rahmat sempat berpapasan dengan Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi majalah Tempo.
Goenawan Mohamad masuk dalam daftar tokoh terkenal yang dibuat karikaturnya oleh Rahmat. Rahmat tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan karikatur Goenawan dan melamar sebagai karikaturis di majalah Tempo. Goenawan ternyata mengungkapkan hal sama, belum membutuhkan karikaturis.
Rahmat meneruskan perjuangannya. Beberapa hari kemudian ia melamar menjadi karikaturis untuk majalah berita Ekspres. Namun, lowongan yang tersedia hanya sebagai reporter. Rahmat pun melamar dan diterima sebagai reporter majalah Ekspres selama tiga tahun di Jakarta.
Meskipun menjadi jurnalis berita, gairah untuk terus menggambar tidak pernah terbendung. Sepulang kerja, setiap sore Rahmat menggambar.
Ia sempat melihat koran Indonesia Raya belum ada kartun strip. Ia mulai tertarik untuk mengirimkan kartun-kartun strip untuk koran itu dan diterima.
Rahmat, sejak 1973, kemudian bekerja membuat kartun strip setiap hari untuk Indonesia Raya. Hingga kemudian koran ini dibredel pemerintah.
Tidak berselang lama, Rahmat diminta pemimpin redaksi majalah anak-anak Kawanku, Toha Mochtar, agar membuat kartun strip di majalah itu. Pada 1976 muncul kartun strip Tomat karya Rahmat di majalah Kawanku.
Majalah Kawanku sempat beralih kepemilikan ke grup Gramedia. Rahmat dengan pekerjaan yang sempat berpindah-pindah masih membuat kartun strip Tomat hingga 1992, ketika akhirnya majalah anak-anak itu diubah menjadi majalah perempuan remaja.
Di rentang masa itulah Rahmat juga bekerja sebagai jurnalis di harian Berita Yudha. Pada 1981 Rahmat berpindah kerja ke Gramedia Film. Ia bekerja menjadi penulis skenario film panjang dan bertemu dengan Dwi Koen, rekan kerja yang mengurusi film dokumenter dan membuat kartun strip Panji Koming untuk harian Kompas.
”Suatu hari Dwi Koen meminta saya untuk menemani mengisi edisi Kompas Minggu dengan kartun strip lainnya. Di sinilah kemudian lahir kartun strip Timun,” ujar Rahmat.
Kartun strip Timun dimuat pertama kali pada 27 Januari 1985. Sejak itulah, kartun strip Timun selalu menghiasi Kompas edisi hari Minggu sampai sekarang.
Setelah masuk Gramedia Film pada 1981, Rahmat menjalani berbagai tugas sebagai karyawan grup Gramedia hingga masa pensiunnya pada 2008. Di antaranya setelah Gramedia Film ditutup, Rahmat beralih kembali ke tugas jurnalis di tabloid Monitor.
Kemudian beralih mengurusi majalah Senang dan majalah Kawanku dengan izin usaha yang sudah dibeli Gramedia. Ia juga mengurusi penerbitan kartun Jepang.
Setelah pensiun, Rahmat pun tidak berhenti. Selain melanjutkan pembuatan kartun strip Timun untuk Kompas, ia juga sempat diminta membuat kartun strip untuk animasi kartun pendek Bang One di TV One.
”Ternyata ada juga remah-remah roti itu dari televisi,” ujar Rahmat.
Kegemaran terbarunya kini melukis, semenjak ditinggal istrinya pada 2020. Pada mulanya ia melukis bertema wayang kulit Mahabharata dan Ramayana. Beberapa waktu kemudian beralih ke tema kritik sosial sekaligus humor, seperti kartun-kartun strip yang dibuatnya selama ini.
Ada satu hal baru yang ditemuinya. Ternyata olah pikir untuk membuat lukisan berbobot membutuhkan waktu yang panjangnya bisa sampai satu bulan lebih.
”Hal paling berat untuk membangkitkan rasa humor pada lukisan,” pungkas Rahmat, yang sampai kini masih setia di jalur humor.
Biodata
Nama: Rahmat Riyadi
Lahir: Pekalongan, 20 Oktober 1947
Pendidikan:
1967-1969: S-1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta (tidak selesai).
Pekerjaan:
1985-sekarang: Pembuat kartun strip Timun di harian Kompas.
1981-2008: Bekerja di grup Gramedia hingga pensiun.
1976-1992: Pembuat kartun strip Tomat di majalah Kawanku.
1973-1974: Pembuat kartun strip di harian Indonesia Raya.
1970-1973: Jurnalis majalah berita Ekspres di Jakarta