Agus Susilo nyaris tak pernah meninggalkan teater selama 25 tahun. Lewat karyanya, ia mengkritik keadaan sosial dan membela kepentingan publik. Saat pandemi, menggagas kanal Meditasi Corona Virus sebagai media ekspresi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Seniman teater, Agus Susilo, di Medan, Sumatera Utara, Rabu (15/2/2023).
Agus Susilo (44) nyaris tak pernah meninggalkan teater selama 25 tahun sejak dia SMA. Di tengah keterbatasan ekonomi dan fisik, ia setia berkarya mementaskan drama, monolog, hingga puisi di gedung, pasar, hingga tempat sampah sekalipun. Lewat karyanya, ia mengkritik keadaan sosial masyarakat hingga membela kepentingan publik.
Agus baru saja pulang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Kota Medan, Rabu (15/2/2023) siang. Ia membonceng sepeda motor yang dikendarai Herawanti Handayani (48) yang juga seniman dari Komunitas Kata-Kata.
”Kami baru dari Disdikbud Medan untuk membicarakan persiapan Festival Payau Puan Paloh 11-12 Maret ini di Medan, seni pertunjukan yang menceritakan kehidupan perempuan di paloh, di daerah pesisir,” kata Agus memulai perbincangan saat ditemui Kompas di sebuah kafe di Jalan Letjen Suprapto, Medan.
Agus tampil dengan gaya eksentriknya yang khas. Ia memakai sarung yang bagian tengahnya dijahit sehingga mirip celana-rok atau kulot, dipadu sepatu kets. Atasannya berupa kemeja koko hitam lengan panjang. Rambutnya yang berantakan ditutup topi model newsboy.
Festival Koeli Kontrak menampilkan kesenian rakyat ketoprak dor di Kebun Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (14/1/2023). Festival itu digarap oleh Agus Susilo dan Ayub El Hamzah.
Agus mengenal seni pertunjukan sejak ia duduk di SMA Negeri 1 Binjai tahun 1998. Ketika itu, ia ditantang gurunya untuk menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Di sekolah ia dikenal pintar Matematika, Fisika, dan ilmu eksakta lain. Ia lalu ikut lomba puisi di Universitas Sumatera Utara dan Taman Budaya Sumut. ”Saya mendapat juara di lomba-lomba puisi itu,” kata Agus.
Agus semakin cinta pada seni pertunjukan. Saat melanjutkan kuliah di Jurusan Jurnalistik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan, Medan, ia bergabung dengan komunitas teater di kampus dan Taman Budaya Sumut. Pada awal tahun 2000-an, seni pertunjukan berada di puncak kepopulerannya di Sumut.
Di kampus-kampus muncul kelompok teater. Mereka menulis karya hingga latihan di kampus. Agus sendiri awalnya bergabung dengan Teater Lentera. Tidak jarang Agus dan anak teater lain harus menginap di kampus.
Tahun 2005, Agus keluar dari kampus lalu membuka Teater Rumah yang akhirnya berubah nama menjadi Teater Rumah Mata. Ia sempat meninggalkan kampus hingga kembali lagi pada 2011 untuk menamatkan kuliahnya setelah 11 tahun.
Kesetiaan pada dunia seni pertunjukan benar-benar diuji setelah keluar dari kampus. Sebagian besar anak teater akan meninggalkan panggung pertunjukan setelah tamat kuliah karena tidak menjanjikan secara ekonomi. Mereka memilih bekerja di perusahaan atau menjadi pegawai di instansi pemerintahan.
”Banyak yang melarikan diri dari teater karena masalah perut. Aku pernah mencoba lari, tetapi ada yang hilang dari diriku: spirit hidup dan jiwa,” kata Agus.
Ia pun memutuskan tetap berkarya di tengah keterbatasan ekonomi dan fisik. Agus lahir sebagai difabel dengan keterbatasan anggota gerak bawah. Ia pernah makan sekali sehari hanya dengan ikan asin selama berbulan-bulan. Dedek Wanti, panggilan akrab Herawanti, pernah menggadaikan cincin emas terakhirnya agar pertunjukan teater Agus tetap bisa dilaksanakan.
Banyak yang melarikan diri dari teater karena masalah perut. Aku pernah mencoba lari, tetapi ada yang hilang dari diriku: spirit hidup dan jiwa.
Namun, karya-karya Agus selalu mengguncang. Ia bukan penyair yang hanya menampilkan keindahan kata. Agus dikenal sebagai seniman yang menyentuh persoalan sosial yang dihadapi masyarakat. Menjelang Pemilu 2004, bersama Teater Lentera ia menampilkan karya berjudul Garis Tangan Republik yang mengkritik pemilihan presiden waktu itu.
Menjelang Pemilihan Presiden 2014, ia berkeliling sejumlah kota di Sumatera mementaskan monolog berjudul edMinus ander SKOR: Harus Jadi Presiden! Monolog itu menggambarkan pemilihan presiden yang dianggap minus skor atau tanpa membawa gagasan perubahan.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Seniman teater, Agus Susilo, di Medan, Sumatera Utara, Rabu (15/2/2023).
Tak hanya persoalan sosial politik, ia juga membawa kesenian membela kepentingan publik, antara lain penyelamatan Lapangan Merdeka Medan. Di sela Festival Teater Sumatera II di Palembang akhir tahun lalu, Agus menggerakkan sejumlah sastrawan dari berbagai daerah untuk menampilkan puisi tentang penyelamatan Lapangan Merdeka Medan.
Mereka membacakan puisi berjudul Anak-Anak Merdeka (karya Agus Susilo), Di Lapangan Merdeka (S Ratman Suras), Riwayat Taman Merdeka (Juhendri Chaniago), Di Lapangan Esplanade (Tatan Daniel), Di Lapangan Merdeka Aku Rindukan Nyanyian Indonesia Raya (Sugeng Satya Darma), hingga Melukis Esplanade (Porman Wilson Manalu).
Perjuangan menyelamatkan Lapangan Merdeka Medan dari komersialisasi ruang publik telah lama dilakukan bersama Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut. Pada akhirnya, pemerintah merevitalisasi lapangan itu dan merobohkan pusat jajanan, perkantoran, pagar beton tinggi, dan toko buku bekas yang mengokupasinya. Lapangan Merdeka kini dijadikan cagar budaya.
Kesenian rakyat
Agus juga tak lupa mengangkat kesenian rakyat. Pertengahan Januari lalu, bersama seniman Ayub El Hamzah, ia menyelenggarakan Festival Koeli Kontrak yang mementaskan pertunjukan ketoprak dor dan kuda lumping. Kesenian itu lahir dari masyarakat Jawa Deli yang hidup pada peradaban perkebunan tembakau di Sumatera di awal 1900-an.
Seni pertunjukan sempat menghadapi tantangan sulit di awal pandemi Covid-19. Namun, Agus tak mau tinggal diam. Ia menggagas pertunjukan seni daring bertajuk Meditasi Corona Virus yang tampil langsung melalui kanal Youtube dan Facebook. Festival itu disambut para seniman dengan menampilkan sejumlah pertunjukan dari sejumlah daerah.
Bagi Agus, teater juga menjadi sebuah kesenian yang mempersatukan Indonesia dari berbagai daerah. Ketika berbicara teater, semua seniman dari berbagai latar belakang melebur. ”Di dunia teater itu tak ada istilah aku Jawa kau China. Aku Islam kau Kristen. Semua seniman dari berbagai latar belakang selalu melebur tanpa sekat,” kata Agus.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Festival Koeli Kontrak menampilkan kesenian rakyat kuda lumping di Kebun Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (14/1/2023).
Agus menyebutkan, beberapa tahun terakhir ini seni pertunjukan mulai hidup lagi setelah ada dana abadi kebudayaan sebagai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Berbagai festival seni dan budaya yang selama ini sulit mendapat pembiayaan dari sponsor bisa memperoleh pendanaan dari manfaat dana abadi kebudayaan. Agus juga mengapresiasi Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid yang memberi perhatian lebih untuk menghidupkan seni pertunjukan di daerah-daerah.
Agus lalu mengambil tas ranselnya dan bersiap pergi untuk mengajar kesenian di sebuah sekolah di Medan. Di tengah kegiatan berkesenian, ia aktif mengajar ekstrakurikuler bidang kesenian di sejumlah sekolah. Ia ingin seni teater tetap hidup di tengah kemajuan kota….
Agus Susilo
Lahir : Sunggal, 23 Agustus 1978
Pendidikan :
SD Negeri 105272 Desa Purwodadi, Kecamatan Sunggal, Deli Serdang.
SMP Negeri 2 Sunggal
SMA Negeri 1 Binjai
Jurusan Jurnalistik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan Medan