Abdul Hamied, Edukasi Wirausaha Warung Madura
Afeksi Abdul Hamied berakar dari kepiluan masa kecilnya. Seusai berjualan es, bocah itu berbaring di atas gerobak sambil menatap pekatnya malam. Kini, ia merangkul dulur-dulurnya untuk meraih penghidupan yang lebih baik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F14%2F9dba5f96-c0b0-4d2e-944d-ea436e7d4438_jpg.jpg)
Abdul Hamied
Warung-warung madura menyelusup ke pelosok permukiman dan bersaing dengan jaringan toko waralaba modern. Di balik jaringan usaha rakyat itu, terpatri persaudaraan begitu erat, seperti yang disemai Abdul Hamied (44).
Warung kebutuhan pokok Putre Koneng masih saja ramai hingga pukul 21.00. Grosiran di Kelurahan Cinangka, Kecamatan Sawangan, Depok, Jawa Barat, itu diselingi bising sepeda motor, klakson mobil, sampai alunan disko dari pelantang sember yang dijinjing seorang pengamen.
Kurang nyaman, sudah tentu, tetapi keakraban amat melingkupi warung tersebut. Di sela perbincangan hangat di kursi panjang, Hamied sesekali membalas sapaan konsumen dan meminta pekerjanya menggeser dagangan. Pembeli datang silih berganti.
”Warung pertama yang saya buka tahun 2012. Sekarang saya sudah punya 12 warung,” ujar Hamied seraya tersenyum, Selasa (7/2/2023). Kegigihan mengantar Hamied turut membuka warung-warungnya di Bogor, Jawa Barat; dan Tangerang Selatan, Banten.
Lebih dari mata pencarian belaka, warung-warung itu sekaligus menjadi kawah candradimuka untuk sesama perantau asal Madura. Hamied merangkul mereka yang menaruh harapan untuk meraih kehidupan lebih baik tanpa memandang tinggi rendah pendidikannya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F14%2F5ba0bc8d-1814-488d-ba97-a4f05b46cf12_jpg.jpg)
Penjaga warung, Holis (48), berbincang dengan pemilik usaha tersebut, Abdul Hamied (44), di Depok, Jawa Barat, Selasa (7/2/2023).
”Enggak perlu keterampilan yang spesifik. Penjaga warung yang sudah tua, malah ngomong (bahasa) Indonesia masih berlepotan pun banyak,” katanya. Hamied hanya meminta mereka mahir berhitung, membaca, dan mengendarai sepeda motor untuk berbelanja.
”Enggak usah keahlian menjelimet. Paling penting, perantau mau, berani, dan jujur. Tidur bisa di warung,” ucapnya. Hamied lantas memperlihatkan pembukuannya yang teramat simpel lewat catatan transaksi tanpa di-input ke komputer.
Ia menyorongkan buku usang dengan kertas-kertas yang sudah kusam. Halaman-halaman dengan goresan pulpen terlihat kumal lantaran bercak, selotip, dan kerap dipegang. ”Dibuka terus setiap hari jadi lusuh. Memang, enggak mesti rapi,” ujarnya.
Mencetak juragan
Warung madura sebenarnya paradoksal dengan daya sintas demikian tinggi yang tak keder menghadapi jejaring waralaba ritel raksasa. ”Usahanya malah bisa berkembang pesat tanpa teknologi. Berani bersebelahan dengan minimarket, soalnya sudah tutup waktu larut malam,” kata Hamied.
Eksistensi warung madura dengan penambahan yang justru semakin gencar menegaskan resistansi sektor tersebut sudah demikian tinggi. Setiap usaha yang ia kelola buka 24 jam dengan pekerja yang diserap rata-rata dua orang. Pegawai datang dan pergi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F14%2F8503310e-2075-4c71-bec2-086b1cb76f20_jpg.jpg)
Beberapa pengemudi sepeda motor melintas tak jauh dari warung yang dimiliki Abdul Hamied (44) di Depok, Jawa Barat, Selasa (7/2/2023).
Hamied tak bisa memastikan jumlah pendatang yang pernah menimba pengalaman di warungnya, tetapi mencapai ratusan orang. Ia tak menjalankan usaha semata, tetapi juga menerapkan edukasi kewirausahaan ala Madura hingga mencetak juragan-juragan baru.
Jumlah karyawan Hamied yang berhenti lalu mendirikan warung sudah sekitar 30 orang. Banyak pula penunggu warung yang terlepas dari jerat rentenir.
”Mereka terlilit utang. Sebagian dagang di kampung. Buka lapak di pasar, tapi enggak bisa bayar,” ucapnya.
Beberapa perantau juga mengemban harapan mulia untuk menguliahkan anak-anaknya. Asa mereka terpenuhi, bahkan bisa memperbaiki rumah. Hamied dengan semringah turut menunjukkan kausnya yang bertuliskan ”Ngopi kerjaan gue. Visi Indonesia passion. Putre Koneng Ngabdi. Ngewarung.id cita-cita”.
Ia tengah menggarap Ngewarung.id, start up atau rintisan khusus warung madura. Hamied juga mencantumkan ”Juragan besar” pada kausnya yang lain. ”Pegawai-pegawai saya dikasih kaus tulisannya, ’calon juragan’. Nawaitu saya waktu bikin warung menolong sanak saudara,” ujarnya sembari tersenyum.
Bagi hasil ia terapkan untuk penunggu warung sebesar 50 persen. Itu pun, Hamied tak keberatan jika mereka mengonsumsi mi instan, makanan ringan, atau minuman dengan cuma-cuma. Bergantung pada omzet warung, pendapatan penjaganya berbeda-beda, tetapi mulai Rp 2,5 juta per bulan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F14%2Fa12a24f5-624f-43d9-b660-cee7e0ca9225_jpg.jpg)
Holis (48) menata dagangan di warung yang dimiliki Abdul Hamied (44) di Depok, Jawa Barat, Selasa (7/2/2023).
Pemasukan itu bisa mencapai Rp 5 juta jika mereka ramah melayani pelanggan, warung ditata dengan apik, apalagi kedudukannya strategis. ”Saya juga mewakafkan satu warung untuk yatim piatu, duafa, dan lansia. Jumlah yang disedekahkan variatif, kadang Rp 4 juta sampai Rp 5 juta,” katanya.
Berjualan es
Afeksi Hamied berakar dari kepiluannya semasa kecil. Bocah itu kerap diajak ayahnya berjualan es campur karena penghidupan dari bertani tak memadai. Gerobak didorong menuju perayaan keagamaan, layar tancap, dan Agustusan dengan jarak hingga 25 kilometer.
Dalam perjalanan pulang, Hamied berbaring di atas gerobak sambil menatap pekatnya malam. Ia kemudian menerawang saat mengenang sang ayah yang bermandikan peluh, tetapi tak letih-letihnya jua mengembuskan wejangan. Mereka bisa berdagang hingga tengah malam dan tiba di rumah saat subuh.
”Bapak bilang, ’Kelak, kamu harus sukses. Sekolah tinggi. Jangan kayak Bapak hanya tamat SD.’ Pelan tapi pasti, nilai-nilai soal dagang juga tertanam dalam benak saya,” ucapnya.
Ia menunaikan petuah orangtuanya dengan menumpang di kediaman kerabat untuk kuliah di Jakarta, tahun 1997.
Hanya setahun biaya hidup Hamied ditanggung ayahnya. Krisis moneter menghantam, tetapi ia mampu menyambung napas dengan mengandalkan beasiswa hingga lulus. Animo Hamied mengelola warung madura terbit saat kerap bertandang ke Tanjung Priok.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F14%2F63d40e6e-a025-445e-af38-5f783e8f6ac1_jpg.jpg)
Abdul Hamied
Pada tahun 1990-an, warung madura memang terkonsentrasi di Jakarta Utara. Setelah wisuda dan menekuni berbagai bisnis, mulailah Hamied mencari posisi yang menguntungkan. Ia menemukan warung batak yang tak terurus di persimpangan, mengambil alih usaha itu, dan mengatur ruangnya dengan rapi.
”Tadinya satu lantai, dibikin bertingkat. Selang tiga tahun, sudah punya saya setelah membelinya. Kalau warung-warung lain masih sewa,” ujarnya.
Lumrahnya berniaga, kerugian juga pernah membuntuti Hamied. Ia, misalnya, pernah mengeluarkan hampir Rp 100 juta untuk mengambil alih warung. Tak hanya dagangan, Hamied pun membayar untuk lokasi yang dianggap bagus. Baru sekitar enam bulan, penjaga warung tak amanah.
”Barang-barang diambil. Luar biasa menyakitkan. Kontrakan juga enggak diperpanjang pemiliknya. Jadi, rugi dua kali,” katanya.
Hamied tetap melaju. Tanpa kerumitan, ia sejatinya telah melancarkan diferensiasi strategi yang simpel, tetapi efektif. Tidak hanya pertukaran sosial, pembeli umumnya kenal dengan penjaga warung madura dan terbiasa bercakap-cakap, bahkan curhat.
Lebih dari sapaan kepada konsumen lazimnya prinsip pemasaran mutakhir, tetapi kerap berujung rutinitas yang banal, persahabatan terjalin di warung madura. ”Belum lagi, kalau pembeli ogah bayar parkir. Orang Madura juga ramah dan suka ngobrol, mau beli atau enggak di warungnya,” ucapnya.
Abdul Hamied
Lahir: Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, 17 Mei 1978
Istri: Dwi Fajar Yuliastuti (37)
Anak:
- Kenzie Fawwaz El-Hamied (13)
- Aidan Diewa El-Hamied (8)
- Aisya Raya El-Hamied (7)
- Alief Damar El-Hamied (4)
Pendidikan:
- Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum 1 Lenteng
- Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum 1 Lenteng
- Madrasah Aliyah 2 Annuqayah Sumenep
- S-1 Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta