Ahmadun tinggal sebatang kara di tengah padang rumput yang tersembunyi di balik hutan. Setiap hari, selama 20 tahun, ia mengumpulkan sampah dari pantai untuk membangun istana sampah laut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Semula Ahmadun (50) hanya berniat mengambil sampah-sampah di laut untuk dijadikan bahan membangun rumah. Belakangan dia paham bahwa caranya itu menjadi bagian dari penyelamatan lingkungan. Lewat istana sampah laut itu, Ahmadun berpesan agar orang-orang berhenti membuang sampah ke laut.
Di pesisir utara Pulau Bintan, ada sebuah jalan setapak yang membelah hutan menuju ke arah pantai. Jalan itu akan mengantar orang sampai ke suatu padang rumput yang luas.
Parit kecil yang jernih meliuk-liuk membelah padang rumput. Di bawah pohon-pohon kelapa yang teduh, berdiri sebuah rumah kayu yang dikelilingi ratusan patung dengan berbagai bentuk.
Bangunan itu dibuat oleh Ahmadun dari sampah laut. Ia mengumpulkan benda-benda itu dari pantai yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Hal itu telah ia lakukan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.
”Niat saya membersihkan sampah itu sebenarnya cuma supaya saya bisa enak jalan-jalan di pantai saja. Saya engga tahu sama sekali kalau ternyata itu ada manfaatnya buat lingkungan dan orang lain,” kata Ahmadun, Jumat (3/2/2023).
Ahmadun sebenarnya berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ia tak bisa mengingat secara pasti sejak kapan ia tinggal di Desa Pengudang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Namun, ia mengira-ngira ia telah berada di sana sejak akhir 1990-an atau awal 2000-an.
Sedari awal tiba di Bintan, Ahmadun memilih tinggal di hutan dekat pesisir yang jauh dari permukiman warga. Di tempat itu pula ia perlahan membangun rumahnya dari sampah-sampah yang ia kumpulkan dari pantai.
Bagi Ahmadun, pantai dan laut adalah tempat ajaib yang menyediakan semua kebutuhannya. Selain memberi dia material untuk membuat rumah, laut juga memberi dia makanan untuk disantap setiap hari.
”Saya nyari ikan dan kerang, tapi hanya saya makan sendiri untuk lauk. Kalau dapat ketam (kepiting) baru saya jual, nanti uangnya saya belikan beras,” katanya.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan mandi-cuci-kakus, Ahmadun menggali parit sepanjang ratusan meter untuk mengalirkan air dari sumbernya di hutan ke rumahnya. Sedangkan untuk kebutuhan minum ia menadah air dari hujan.
”Kata orang saya miskin sekali. Tapi saya senang hidup begini,” ucapnya.
Dicibir
Orang sering mencibir saat pertama kali Ahmadun mulai mengumpulkan sampah dari pantai. Ia dianggap bodoh dan kurang waras karena tak mungkin seseorang sanggup membawa tumpukan sampah laut yang amat banyak ke dalam hutan.
Memang bukan hal mudah membawa tumpukan sampah menuju hutan tempat Ahmadun tinggal yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari pantai. Ia harus melewati hutan bakau dan rawa-rawa.
”Kadang orang juga nakut-nakutin saya kalau di sini banyak buaya dan ada ular sebesar batang kelapa, tapi saya tak peduli. Kadang memang saya jumpa hewan semacam itu, tetapi mereka ada urusan sendiri dan saya pun punya urusan sendiri,” kata Ahmadun sambil terbahak.
Selama 20 tahun, setiap hari Ahmadun bolak-balik mengangkut sampah tanpa bantuan siapa pun. Ia hidup sebatang kara, tidak ada yang menemaninya, kecuali beberapa kucing dan anjing liar yang datang ke ke rumahnya.
”Saya memang suka kucing, kalau anjing sebenarnya sih enggak begitu suka. Tapi biar bagaimanapun kan kita tidak boleh usir tamu yang datang. Anjing-anjing itu enggak jahat, jadi saya pun enggak boleh jahat,” ujarnya.
Sampai enam tahun lalu, tak banyak warga Desa Pengudang yang tahu soal rumah sampah Ahmadun. Ia sebatas dikenal sebagai laki-laki aneh yang suka memungut sampah di pantai.
Cerita mengenai rumah sampah itu baru tersebar setelah seorang pesepeda asal Australia tersesat ke hutan dan tak sengaja sampai ke tempat Ahmadun. Turis itu kagum terhadap karya Ahmadun dan menceritakan pengalamannya kepada Iwan Winarto, pegiat wisata di Desa Pengudang.
Berawal dari sana, Iwan mengajak Ahmadun untuk menjadikan rumah sampah sebagai salah satu destinasi wisata di Desa Pengudang. Sejak saat itu, rumah sampah mulai ramai dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar negeri.
Setiap kali ada orang baru datang ke sana, wisatawan maupun bukan, Ahmadun akan membuatkan patung di halaman rumah sampah. Patung, yang juga terbuat dari sampah laut, itu menjadi cara bagi Ahmadun untuk mengingat karakter dan kisah orang yang pernah singgah di rumahnya.
”Semakin banyak orang datang ke sini, semakin banyak pula patung-patung saya. Karena itu rumah saya sekarang jadi besar sekali sampai-sampai orang jadi menyebut tempat ini istana sampah,” kata Ahmadun yang kemudian tertawa lebar.
Meskipun kini rumah Ahmadun telah menjadi salah satu tujuan wisata di Bintan, sifat laki-laki bertubuh gempal itu tidak berubah. Ia tak mau memungut biaya kepada para wisatawan yang datang. Ia hanya ingin punya teman, tak sedikit pun ia punya niat untuk berbisnis.
”Semua orang boleh datang asal niatnya baik. Engga bayar engga masalah, engga bawa apa-apa juga engga masalah. Malah kalau terlalu miskin dan tidak bisa beli makan, nanti saya kasih beras sama mie instan. Sebenarnya saya juga enggak punya uang, tapi nanti saya bisa kok utang ke warung dekat sini,” ujarnya dengan serius.
Satu hal yang diharapkan Ahmadun dari orang-orang adalah agar mereka berhenti membuang sampah ke laut. Ia sedih sering melihat ikan terlilit sampah plastik dan menyaksikan penyu mati terkena tumpahan minyak hitam.
”Nelayan di sekitar sini sering mengeluh sekarang makin susah cari ikan. Saya pun tak bisa buat apa-apa. Paling-paling cuma pungut sampah begini. Tapi tangan saya cuma dua, sedangkan sampah di laut banyak sekali,” ujarnya.
Ahmadun
Lahir: Buton, 17 Agustus 1972
Pendidikan terakhir: SMA Negeri Lombe, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara