Mimpi konservasi penyu di tempat pembantaian penyu bisa menjadi nyata di Pantai Riang Dua, Kabupaten Lembata, NTT. Di belakang itu, ada sosok Polikarpus Bala.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Saat satu per satu ekor tukik keluar dari dalam ember, puluhan orang berdiri membentuk pagar betis di kiri dan kanan mengawalnya. Mereka bertepuk tangannya merayakan puncak penyelamatan satwa dilindungi itu. Sebuah kerja panjang menyelamatkan telur penyu hingga menetaskannya menjadi tukik.
Matahari perjalan turun mendakati kaki langit, sebanyak 106 ekor tukik merayap perlahan di atas lekukan pasir halus menuju air laut. Senja dengan suhu lebih adem adalah saat yang tepat melepasliarkan bayi penyu itu untuk hidup di alam bebas.
Setiap ekor tukik berjuang sendiri hingga menyentuh air. Tak boleh disentuh apalagi diangkat dengan maksud membawa tukik segera masuk air. Biarkan setiap tukik tetap merayap agar bisa merekam tempat dimana ia ditetaskan.
”Tukik akan mengingat tempat ini. Yang betina, nanti ia akan kembali bertelur di sini, di tempat ia ditetaskan,” kata Polikarpus Bala (42) di Pantai Riang Dua, Desa Bour, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur pada Jumat (27/1/2023) petang.
Bayi penyu yang masuk air langsung bergerak menuju Laut Sawu yang berada di hadapan Pantai Riang Dua. Jenisnya penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Sebagaimana di kutip dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan, penyu lekang banyak ditemukan di Samudera Hindia yang terhubung langsung dengan Laut Sawu.
Penyu lekang merupakan penyu berukuran kecil. Panjangnya mencapai 70 sentimeter dan beratnya hingga 45 kilogram. Penyu lengkang dan semua jenis penyu merupakan satwa terancam punah yang harus dilindungi. Penyu masuk dalam daftar merah yang dikeluarkan The Internasional Union for Conservation of Nature.
Secara nasional, perlindungan penyu sudah diatur dalam berbagai regulasi. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Poli, sapaan Polikarpus, menyampaikan pengetahuan tentang penyu di hadapan puluhan wisatawan yang ikut menyaksikan pelepasliaran bayi penyu. Ia berulang kali menegaskan bahwa penyu adalah hewan yang harus dilindungi. Ia menjadikan momentum itu untuk mengampanyekan tentang konservasi penyu.
Setiap kali proses pelepasliaran tukik, mereka selalu mengumumkan lewat komunitas atau langsung melalui media sosial. Pada pelepasliaran kali ini, beberapa wisatawan dari Jakarta yang kebetulan berada di Lembata ikut hadir menyaksikan.
Tampak juga wisatawan dari mancanegara yang datang. Ada yang kebetulan mampir dan ada pula yang datang melihat proses penyelamatan penyu di Riang Dua, satu-satunya di Lembata.
Lokasi pembantaian
Poli bukanlah aktivitas lingkungan melainkan pegawai puskesmas. Pada saat bertugas di Puskesmas Loang pada tahun 2015, tak jauh dari Pantai Riang Dua, ia kerap melihat warga setempat menjual daging dan telur penyu. Warga setempat menganggap biasa.
Saat menyisir Pantai Loang hingga Riang Dua, ia juga kerap menghirup bau amis. Ternyata lokasi itu menjadi tempat pembantaian penyu yang ditangkap di tengah laut. Penyu yang naik bertelur di pesisir tak akan kembali. Telurnya diambil kemudian induknya dibunuh.
Melihat kondisi itu, ia berfikir untuk menyelamatkan penyu. Ia mulai mengajak masyarakat setempat mau menyelamatkan penyu. ”Tidak mudah karena penyu ini sumber uang. Saya dianggap gila. Kerja di puskesmas tetapi urus penyu,” tutur Poli.
Poli tidak menyerah. Ia memulai sendiri sambil mengajak beberapa orang yang mau terlibat. Dengan modal sendiri, ia membuat tempat penetasan telur penyu. Keberadaan tempat itu dapat menyelamatkan 75 persen telur penyu di pesisir. Ada warga yang tertarik untuk bergabung.
Salah satunya Densianus Ado Nunang (41). Bekas pemburu penyu mengatakan, Poli hadir menyadarkan mereka. Ado dulu menjadi predator penyu yang paling terkenal di daerah itu. Sejak sekolah dasar, ia sudah memiliki naluri untuk membunuh penyu.
Ia menghafal titik penyu berada. Setiap kali menyelam, ia bisa menangkap hingga delapan ekor penyu. Hasil tangkapan dimakan dan sebagian dia jual untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Memburu penyu jadi mata pencahariannya.
Setelah bertemu Poli, Ado berubah total. ”Saya memburu penyu karena ketidaktahuan saya bahwa penyu adalah hawan dilindungi. Saya putuskan untuk tidak lagi memburu. Masih ada hasil laut lain yang bisa dijual,” katanya.
Ia kini menjadi orang kepercayaan Poli. Setiap malam ketika musim penyu bertelur, mereka mengambilnya lalu membawa ke tempat penetasan. Jika dibiarkan, telur itu akan dimakan predator seperti anjing.
Ado kini menjadi penyayang penyu. ”Satu butir telur penyu yang pecah atau satu ekor tukik mati, saya merasa sangat menyesal. Merasa sangat berdosa. Saya sedih sekali,” katanya.
Ado pun mengajak warga setempat agar terlibat menyelamatkan penyu. Kepada mereka ia mengungkapkan bukti bahwa keserakahan justru akan membawa kepunahan. Sebagai contoh, salah satu daerah di Lembata dulunya menjadi lumbung kerbau. Kini, kerbau tinggal nama.
Tempat belajar
Kini, Poli bersama kelompoknya sudah memiliki kadang penetasan permanen dengan ukuran 8 meter x 8 meter. Setiap kali musim bertelur antara April sampai Desember, mereka melakukan patroli di pesisir untuk mengambil telur penyu dan membawanya ke tempat itu. Sekitar 40 hingga 45 hari, telur itu menetas. Lebih dari 30.000 ekor tukik telah dilepasliarkan.
Tempat itu pun kini menjadi lokasi belajar. Untuk memancing kehadiran anak-anak di desa itu dan sekitarnya, Poli membangun taman baca dan mengadakan pembelajaran Bahasa Inggris gratis. Dalam kesempatan kesempatan belajar itu, materi konservasi penyu disisipkan.
Mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di NTT dan dari Pulau Jawa juga sering menjadikan tempat itu sebagai obyek penelitian. Bahkan, ada juga peneliti dari luar negeri yang mengamati perilaku penyu di sana. ”Yang dari luar negeri baik peneliti maupun wistawan, saya selalu minta untuk isi kelas Bahasa Inggris,” kata Poli.
Mimpi Poli untuk menjadikan lokasi itu sebagai sumber belajar dan destinasi wisata konservasi kini terwujud. Sebuah mimpi yang pada awalnya agak mustahil menjadi nyata. Melindungi tukik di lokasi pembantian penyu kini bukan lagi mimpi.