Andre Melompat Lebih Tinggi
Perjalanan karier gitaris Andre Dinuth (40) berawal dari gitar pemberian sang ibu, yang kala itu dibeli seharga Rp 50.000.

Andre Dinuth
Dua puluh lima tahun sudah gitaris Andre Dinuth (40) malang melintang di dunia musik. Jejak panjang itu menempatkannya sebagai salah satu musisi yang diperhitungkan di dunia musik Tanah Air, tak semata ”gitaris cabutan” belaka. Semua berawal dari gitar pemberian sang ibu, yang kala itu dibeli seharga Rp 50.000.
Hidup bagi Andre Dinuth ibarat lompatan-lompatan kesempatan yang tak pernah luput menawarkan tantangan-tantangan baru yang mengasyikan. Bak sebuah dadu yang terus menggelinding, Andre melakoni lompatan-lompatan kesempatan dalam hidupnya dengan elan yang terus menyala.
Setelah pandemi Covid-19 melandai, perlahan tetapi pasti, Andre pun mulai kembali menata langkah untuk memulai lompatan barunya. Kali ini Andre tak sendiri, ada Wanda Omar, istrinya yang seorang pemain bas, siap mengiringi lompatan barunya.
Sudah cukup lama mereka mempersiapkan lompatan baru itu. Meracik formula duo Andre (gitaris) dan Wanda (basis), serupa duo Endah (gitar) N Rhesa (bas) dalam versi terbalik. ”Ini adalah refleksi kami berdua, di tengah-tengahnya. Kalau aku instrumental yang fusion, dia lebih ke R&B, funk. Kami saling menyelami untuk jadi sebuah packaging di proyek solo artist ini,” ujar Andre, Kamis (26/1/2023) sore, saat bertandang ke kantor harian Kompas di kawasan Palmerah, Jakarta. Wanda turut menemani.
Tak hanya memainkan instrumen, di proyek ini Andre dan Wanda pun akan menunjukkan kemampuan mereka berolah vokal. Dalam waktu dekat, setidaknya Februari, singel baru siap dilepas. Judulnya ”Drive Me Crazy”.
”Dulu kami mikirnya kami enggak akan bisa (nyanyi). Ternyata setelah dicoba bisa,” imbuh Wanda menimpali. Banyak rencana telah disusun.
Bagi Andre, melompat pada hal baru dalam perjalanannya di dunia musik bukan lagi hal baru. Dia sudah banyak belajar bahwa di dunia musik, dia tak bisa hanya berpuas diri dengan satu hal. Banyak hal yang bisa terus dieksplorasi tanpa mengubah ciri khasnya.
”Mungkin karena aku bergelut di dunia musik yang banyak genre, jadi aku masih selalu haus. Apalagi ya, apalagi. Yang penting aku belajar, enggak pernah mapan dengan comfort zone. Kaki boleh tetap menjejak, tapi explore terus supaya ada yang bisa terus didapat dan dibagikan ke orang-orang,” ujarnya serius.
Dahaga yang tak pernah putus itu pada akhirnya memang selalu mengantarnya pada pintu-pintu baru yang terus terbuka. Mulus, nyaris tanpa hambatan.
”Aku bersyukur punya karier seperti ini, sementara banyak yang lain harus strive. Aku selalu yakin, kalau kita niat tulus mau berkarier di sini, enggak tendensi mau jadi artis atau apa, pasti Tuhan kasih jalan,” ucapnya. Semua dibarengi dengan komitmen, tentu juga kerja keras.
Dia meyakini betul adagium malu bertanya sesat di jalan. Maka, sejak awal Andre pun tak malu untuk banyak bertanya, berkenalan dengan banyak orang untuk belajar, mengisi dahaganya agar tuntas. Dia tak segan ikut nongkrong saat ada teman atau senior yang sedang main, rekaman atau melakukan aktivitas musik lainnya. ”Aku tuh ngintilgitu orangnya,” katanya.

Andre Dinuth saat berkunjung ke Menara Kompas, Kamis (27/1/2023).
Pilot
Lompatan pertama Andre terjadi di usia belia. Semula, Andre kecil bercita-cita menjadi pilot. Ketertarikannya pada profesi itu muncul gara-gara dia sering mengantar ayahnya yang seorang tentara ke Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Dia terpesona melihat banyak pesawat. ”Pah, jadi pilot lucu juga, ya,” kata Andre kala itu.
Ayahnya, seorang tentara berjiwa seni yang suportif, memberikan dukungan kepada anak keduanya itu. Andre diperkenalkan pada majalah Angkasa yang memang fokus membahas pesawat demi merawat cita-cita menjadi pilot.
Memasuki masa remaja, awal-awal duduk di SMP, perhatian Andre terbetot pada gitar. Gara-garanya, sepupu dekat Andre yang diam-diam kerap saling bersaing dalam hal positif dengannya, mulai belajar gitar.
Ego Andre tersengat. Tak mau kalah, Andre lantas meminta ibunya membelikan gitar. ”Ibu yang tahu aku masih anget-angetan, akhirnya membelikan gitar akustik murah, Rp 50 ribu-an. Jadi, kalau bosen ya no worry,” kenang Andre.
Tak dinyana, ajudan ayahnya rupanya senang bermain gitar. Melihat Andre memiliki gitar, dia lalu mengajari Andre bermain gitar. ”Aku inget dia ngajarinnya Koes Plus karena dia suka banget lagu-lagu Koes Plus. ”Ke Jakarta”, ”Kolam Susu”,” ucap Andre. Salah satu kunci pertama yang dia pelajari adalah kunci G.
Minatnya pada gitar makin mekar setelah dia menemukanbuku Teknik Termudah Bermain Gitar karya RE Rangkuti saat bertandang ke toko buku yang menjadi rutinitasnya di akhir pekan. Buku itulah yang kemudian ”mengajari” Andre kunci-kunci gitar. Termasuk chord lagu ”Mungkinkah” milik Broery yang ada di lembar halaman kedua buku itu.
”Jadi, belajarnya dari situ, sambil belajar dari ajudan Bapak. Aku masih inget warnanya biru. Sayang, bukunya kebawa banjir,” kata Andre.
Sambil menjajagi keseriusan Andre, orangtuanya kemudian memasukkan Andre ke Chic’s Music di Rawamangun, mengikuti les gitar. Di situlah Andre berjumpa dengan Ridho Hafiedz, salah satu sosok penting dalam karier bermusik Andre. Kala itu Ridho baru kembali dari sekolah gitar di Guitar Institute of Technology/GIT (kini Musicians Institute) di Los Angeles, California, Amerika Serikat, masih tergabung dengan band Last Few Minute.
Bisa dikatakan, Ridho-lah yang ”membentuk” Andre. Dari Ridho, Andre belajar hal-hal fundamental dalam bermain gitar. ”Aku selalu bilang sama kakak Ridho, ’Kakak, kalau dulu kakak enggak ngajar beta, kayaknya beta enggak di sini”. Itu bener karena aku belajar dari nol sama sekali. Pengetahuanku tentang musik itu hanya kunci G, C, D, enggak tahu harmoni enggak tau apa-apa,” kata Andre.

Andre Dinuth
Bersama Ridho, sesi belajar gitar yang ’resminya’ hanya 30 menit kerap kali menjadi lebih panjang. ”Tunggu dulu deh, kalau ntar murid gue enggak ada. Masuk lagi aja kita ngejam. Kayak gitu,” kenang Andre.
Di masa itu, Andre juga kerap ditantang untuk tak sekedar mengulik permainan gitar di sebuah lagu, tetapi juga membuat versi lain lagu tersebut. Dengan kata lain, improvisasi, tidak semata-mata meng-cover. Ilmu itu kelak menjadi bekal yang bermanfaat dalam perjalanan karier Andre.
Saat Ridho mulai sibuk karena bergabung dengan Slank, Andre ’diasuh’ bergantian oleh Bernard Larso dan gitaris jazz Ricky Nasution. Ketiganya memberi pengaruh dalam permainan gitar Andre.
”Tapi, memang yang bikin fundamental pertama itu Kakak Ridho. Masa itu aku sadar blues rock itu enak banget, ya. Terus suka dikasih referensi, akhirnya terbentuk. Tapi, aku memang juga suka Eric Clapton, Jimi Hendrix, sama Eddie van Hallen gitu,” ujarnya.

Andre Dinuth
Gitaris cabutan
Di SMA, Andre makin tak terbendung. Dia mulai kerap bertarung di festival dan sering menyabet gelar juara. Jejaringnya dengan para musisi pun mulai terbangun. Rekaman pertamanya pun terjadi saat duduk di kelas 2 SMA, membantu proyek salah seorang teman. Namun, Andre belum mendapat izin untuk tampil rutin. Cita-citanya menjadi pilot makin pupus karena kondisi mata yang minus.
Andre kemudian bahkan mendapat lampu hijau untuk kuliah di Fakultas Seni Jurusan Musik Universitas Pelita Harapan. Dia sempat mencoba ”merayu” ayahnya untuk memberinya izin kuliah di GIT, tetapi gagal karena situasi ekonomi yang belum pulih di tahun 1999-an. ”Akhirnya masuk jurusan musik UPH dan apa yang kupelajari dari Ridho kepake. Elektriknya, blues rock itu di Ridho, klasikalnya di kampus,” kata Andre.
Kesibukannya yang padat karena mulai rutin bermain musik membuat Andre memutuskan untuk lebih fokus pada musik dibandingkan dengan studi. Bukan soal uang, melainkan lebih pada soal pengalaman, serius menjejaki dunia musik.
Di luar dugaan, ayahnya mengizinkan, dengan catatan harus tetap bertanggung jawab. ”Saya enggak mau lihat kamu begajulan. You kalau mau bertanggung jawab, ya, saya pengin lihat,” begitu mengulang kata sang ayah.
Tapi memang yang bikin fundamental pertama itu Kakak Ridho. Masa itu aku sadar blues rock itu enak banget, ya. Terus suka dikasih referensi, akhirnya terbentuk. Tapi aku memang juga suka Eric Clapton, Jimi Hendrix, sama Eddie van Hallen ’gitu’.
Akhir tahun 2.000 Andre mulai penasaran memainkan jazz. Dia lalu makin kerap datang ke kafe-kafe untuk menyimak permainan jazz. Masa itu pula Andre mulai mengenal profesi gitaris studio atau gitaris session. Gitaris cabutan.
”Boleh juga, ya, main gitu, bisa mainin banyak genre,” katanya. Andre memang tak pernah tertarik memiliki band. Cita-cita menjadi musisi solo pun belum ada.
Jalan menjadi gitaris cabutan pun terbuka semakin lebar. Dari festival, sekolah musik, jejaring Andre terus berkembang. Dia mulai kerap mendapat job untuk rekaman.
”Ajaibnya musik itu kayak virus. Udah Dinuth aja pake. Dari situ aku mulai hoops in studio ke studio. Direferensi aja terus sama temen. Udah kayak gitu,” ucapnya.
Namanya pun bergulir di antara musisi-musisi ”kelas berat”. Dari Indro Hardjodikoro, kemudian Tohpati, Andi Rianto, hingga Erwin Gutawa, semua mengajak Andre main bersama. Konser besar pertama Andre adalah Konsr Titi Dj tahun 2005 bersama Tohpati.
Tentu tak semata jejaring, tanggung jawab dari sisi skill juga penting. Andre pun terus mengasah diri. Tahun 2006, Andre bergabung dengan almarhum Glenn Fredly tur ke sejumlah kota di Tanah Air.
”Sebagai gitaris session, tantangannya adalah memainkan genre musik yang banyak, tetapi dunianya sangat kecil. If you’re making a mistake, atau atittude lo jelek, people will know. Jadi, kalau kita baik dan melakukan kerja kita dengan baik, you will get network. Jadi, kombinasi skill dan atittude, mau kerja keras, bangun network dan jangan lupa tetap mau belajar,” ujarnya.

Pasangan gitaris Andre Dinuth dan basis Wanda Omar menyemarakkan panggung Jazz Gunung 2022 di Amfiteater Jiwa Jawa Resort di kawasan wisata Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (23/7/2022).
Pernah suatu kali, saat harus main untuk Los Marranitos menggantikan Noldy Benyamin, Andre sampai harus membeli kasetnya di Duta Suara agar bisa mendengarkannya dan mempelajarinya dengan baik. ”Kalau sekarang, kan, enak ada platform musik kayak Spotify. Dulu, kan, enggak,” katanya.
Dia juga harus bisa menurunkan ego. ”Selalu lakukan yang terbaik untuk lagu dan artisnya. Kalau kita bicara session, artinya kita tetap musisi yang menopang supaya musiknya lebih baik,” ujarnya.
Toh, keasyikan Andre menjadi session player harus terusik. Banyak senior yang mengingatkan, salah satunya Dewa Budjana, agar Andre mulai membuat karya sendiri, tak melalu memainkan karya orang lain. Dorongan serupa dilakukan Tohpati, Indro, Ridho juga Glenn yang kemudian membuat Andre berhasil menelurkan album pertamanya tahun 2013.
Baca juga: Ucup, Biangnya Pesta
”Sempat enggak percaya diri, apa bisa, ya. Karena, udah terlalu nyaman. Bukan karena penghasilan, melainkan bener juga, sih, sometimes kita harus ke ujung daripada kita di safe zone. Aku bersyukur dulu enggak cuma diajari ngulik aja, tapi juga coba bikin sendiri. Jadi, album pertama itu aku kayak bikin bank lagu, tapi enggak pede ngeluarin,” kata Andre.
Dari pengalamannya sebagai gitaris cabutan, Andre banyak belajar tentang gaya bermusik. Dari Erwin dan Tohpati, misalnya, Andre belajar tentang harmonisasi.
”Akhirnya aku bikin instrumental, tapi dengan masih ada napas rocknya,” katanya tentang ciri personalnya.
Lompatannya terus berlanjut. Semakin tinggi. Dari gitaris cabutan, melepas album, Andre juga kemudian menjadi arranger hingga memproduseri penyanyi lain. Andre, yang kini memiliki 40 gitar sebagai rekaman perjalanan kariernya, masih akan terus menggelinding dan melompat lebih tinggi untuk menuntaskan dahaga.

Andre Dinuth
Andre Dinuth
Lahir: Jakarta, 3 Agustus 1982
Pendidikan:
- TK Fransiskus III (1986)
- SD St Fransiskus III (1991)
- SMP St Fransiskus II (1996)
- SMA Don Bosco II (2000)
- Universitas Pelita Harapan (2004)
- Kursus Musik: Lembaga Pendidikan Chic’s Music (1997)
Album:
1. Andre Dinuth (Self Titled) 2014
2. Here With You (2016)
Singel:
1. Menemukanmu feat Thavita (2017)
2. Aeonian (2018)
3. Billion Stars feat ABDA (2021)
4. Ataraxia (2022)
Penghargaan:
- Nominasi AMI 2020 Kategori produser rekaman terbaik, artis solo instrumentalia rock terbaik, karya produksi instrumentalia terbaik.