Harjanto Kusuma Halim, Merawat Tradisi Tionghoa
Di luar pekerjaannya sebagai pengusaha, Harjanto Kusuma Halim aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya, khususnya di Kota Semarang, Jateng. Ia bertekad mengenalkan tradisi Tionghoa yang inklusif dan universal.
Membumikan tradisi-tradisi luhur Tionghoa secara konsisten telah dilakukan oleh Harjanto Kusuma Halim (57) di Kota Semarang, Jawa Tengah, selama puluhan tahun terakhir. Pengusaha dengan nama lain Liem Tun Hian itu ingin agar tradisi Tionghoa bisa diterima dan menjadi berkat bagi masyarakat secara luas.
Puluhan orang duduk menghadap meja-meja yang ditata sejajar memanjang sekitar 100 meter di Jalan Gang Baru, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jumat (20/1/2023) malam. Orang-orang dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan golongan itu larut dalam kebersamaan. Jamuan makan malam di meja panjang itu dalam tradisi Tionghoa dikenal sebagai tok panjang.
Dalam tok panjang itu, orang-orang disuguhi nasi ulam bunga telang, yakni olahan makanan yang dibuat dari nasi, daging ayam, kacang panjang, bunga telang, daun kecombrang, daun ketumbar, dan daun mint. Cita rasa makanan itu kemungkinan besar nikmat. Sebab, wajah orang-orang semringah sesaat setelah menyuapkan makanan itu ke mulut mereka. Seorang perempuan berhijab merah bahkan mengacungkan jempolnya sambil tetap mengunyah makanan itu. Acungan jempol tersebut disambut tawa kecil orang-orang di sekitarnya.
Dalam tradisi Tionghoa, tok panjang dilakukan di rumah pada malam menjelang Imlek. Biasanya, acara itu diikuti oleh keluarga besar. Tujuan dari acara itu untuk menjalin kedekatan dan keakraban satu sama lain.
”Tok panjang yang kami adakan malam ini untuk menjalani silaturahmi dengan seluruh perwakilan masyarakat Kota Semarang. Tok panjang ini menjadi ciri khas perayaan Imlek di Kota Semarang, sebab di kota-kota lain tidak ada,” kata Harjanto, yang merupakan Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata atau Kopi Semawis, Jumat malam.
Tok panjang malam itu di gelar di tengah acara Pasar Imlek Semawis di Gang Baru. Setelah absen dua tahun karena pandemi Covid-19 melanda, kegiatan dalam rangka menyambut tahun baru China itu kembali digelar oleh Kopi Semawis pada Jumat-Minggu (20-22/1/2023). Di tempat itu, orang-orang bisa berbelanja perlengkapan perayaan Imlek atau Ji Kao Meh.
Penyelenggaraan Pasar Imlek Semawis tidak bisa dilepaskan dari Harjanto. Ia merupakan salah satu inisiator acara yang telah digelar sejak tahun 2004 tersebut. Pasar Imlek Semawis diharapkan Harjanto tidak hanya untuk memudahkan masyarakat Tionghoa membeli perlengkapan Imlek, tetapi juga bisa membantu menggeliatkan perekonomian dan pariwisata di kawasan pecinan Kota Semarang.
Seiring berjalannya waktu, Pasar Imlek Semawis terus berkembang. Pasar yang semula hanya menjual barang perlengkapan Imlek atau makanan khas Tionghoa itu bermetamorfosis menjadi kian lengkap. Aneka jajanan khas Jawa, Kalimatan, Sumatera, hingga makanan Jepang dan Korea pun tersedia di pasar itu.
Harjanto menyebut, pada masa awal penyelenggaraan, sebagian besar penjual di Pasar Imlek Semawis merupakan orang-orang Tionghoa. Kini, penjualnya berasal dari berbagai etnis. Perkembangan yang terjadi di Pasar Imlek Semawis itu amat dibanggakan oleh Harjanto. Baginya, hal itu merupakan contoh paling kecil dari akulturasi budaya yang membawa berkah.
Kendati memegang jabatan sebagai Ketua Kopi Semawis, tugas Harjanto bukan hanya mengatur atau memerintah ini dan itu dalam kegiatan Pasar Imlek Semawis. Ia mau turun tangan mengatasi berbagai hal. Membantu petugas kebersihan yang terjebak kerumunan orang misalnya.
Baca juga: Singgih Arif Kusnadi, Merawat Kesenian Rakyat di Lereng Merbabu
Peristiwa itu terjadi pada beberapa jam menjelang pembukaan Pasar Imlek Semawis. Meski belum dibuka, kawasan itu sudah penuh disesaki pengunjung. Dalam kondisi itu, ada sebuah kendaraan pengangkut sampah yang terjebak di pintu masuk gang. Melihat hal itu, Harjanto yang kala itu tengah berbincang dengan Kompas langsung meminta izin untuk membantu petugas kebersihan terlebih dahulu.
Setelah berada cukup dekat dengan kendaraan pengangkut sampah, Chief Executive Officer PT Marimas Putera Kencana itu langsung mengeluarkan sebuah peluit putih dari saku kemejanya. Peluit itu ditiup Harjanto hingga beberapa kali sambil berujar, ”Permisi Bapak, Ibu, tolong beri jalan sedikit, ada yang mau lewat sebentar.” Pengunjung menepi, kendaraan sampah akhirnya bisa lewat.
Sepanjang acara, Harjanto juga kerap menghampiri dan mengajak mengobrol orang-orang yang datang. Sesekali, ia juga mendapatkan keluhan maupun masukan dari pengunjung. Kepada mereka Harjanto berkomitmen akan terus berbenah sehingga penyelenggaraan Pasar Imlek Semawis pada tahun-tahun berikutnya bisa lebih baik.
Malam itu, Harjanto sudah seperti magnet. Ia banyak menyedot perhatian orang-orang di sekitarnya dengan berbagai macam ulah unik. Salah satunya mengibaskan kipas jumbo yang ia pegang hingga berbunyi ”braaak!”. Suara itu membuat orang menoleh lalu tergelak.
Harjanto yang selalu menyebar senyum itu juga dimintai foto oleh hampir setiap orang yang melihatnya. Permintaan demi permintaan foto yang dilayangkan orang-orang dituruti oleh Harjanto dengan senang hati.
Menurut orang-orang, Harjanto adalah sosok yang baik dan dermawan. Saat pandemi, mereka mengaku banyak ditolong oleh Harjanto. ”Pak Harjanto ini kalau memberi tidak hanya memberi ikannya saja, tetapi juga memberi pancing dan mengajari kami cara mancing ikan. Sehingga, kami bisa cari ikan sendiri sampai sekarang,” ucap salah satu di antara mereka.
Sosok Harjanto juga dikenal baik oleh orang-orang dari etnis lain Kota Semarang. Berbagai kegiatan derma sering kali digelar oleh Harjanto. Kegiatan itu bahkan tetap dilakoni tatkala Harjanto sedang dalam kondisi terpuruk karena ibu yang dikasihinya meninggal dunia. Ketika itu, Harjanto dan keluarganya menyalurkan bantuan kepada komunitas difabel. Kepada orang-orang tersebut, Harjanto menyampaikan bahwa berbagi merupakan sarana menghibur hatinya yang sedang bersedih karena ditinggal orang terkasihnya berpulang.
Mengembalikan roh
Selama beberapa tahun terakhir, Pasar Imlek Semawis digelar di Gang Wotgandul hingga Gang Pinggir. Tahun ini, acara itu diselenggarakan di Gang Baru sebagai salah satu upaya mengembalikan roh Ji Kao Meh. Sebab, sejak ratusan tahun lalu, Ji Kao Meh selalu dilakukan di Gang Baru.
Bagi Harjanto, pusaka pecinan itu bukan hanya soal gedung atau klentengnya saja, tetapi juga kegiatan di dalamnya, termasuk kegiatan ekonominya, seperti Ji Kao Meh. Kegiatan ekonomi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun itu disebut Harjanto sebagai bagian dari warisan budaya yang tidak boleh punah.
Sebenarnya, Harjanto dan masyarakat pecinan punya misi lain terkait pemindahan lokasi Pasar Imlek Semawis ke Gang Baru, yakni supaya wilayah itu lebih diperhatikan oleh pemerintah. ”Kalau sudah dilirik, harapannya kawasan ini selanjutnya bisa dibenahi dan dirawat. Sehingga, kondisinya menjadi lebih rapi dan bersih, syukur-syukur kalau bisa dijadikan pasar tematik,” ucapnya.
Selain sebagai Ketua Kopi Semawis, Harjanto juga menjadi Ketua Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma. Perkumpulan yang berdiri sejak tahun 1876 itu awalnya diperuntukkan bagi masyarakat Tionghoa. Kebanyakan, anggotanya merupakan orang-orang tua. Selain kegiatan seni dan budaya Tionghoa, perkumpulan itu juga mengurus soal santunan kematian.
Sejak Harjanto menjabat sebagai ketua, beberapa tahun lalu, perkumpulan itu dibuat menjadi lebih terbuka. Kegiatan yang diselenggarakan tidak lagi melulu berkaitan dengan budaya Tionghoa, tetapi kegiatan universal seperti pelestarian seni budaya hingga diskusi. Jabatan pengurus Rasa Dharma, yang dulunya hanya diemban orang-orang tua dari etnis Tionghoa, sekarang mulai diemban oleh anak-anak muda yang berasal dari berbagai etnis, agama, dan golongan.
Pada tahun 2014, pengurus Rasa Dharma memasang sinci atau papan nama Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sinci Gus Dur dipasang di sebuah altar penghormatan, bersebelahan dengan sinci para pendiri Rasa Dharma sebagai bentuk penghormatan atas jasanya kepada masyarakat Tionghoa. Di depan sinci Gus Dur, pengurus Rasa Dharma meletakkan sajian berupa ikan, daging ayam, dan daging kambing. Selain itu, ada kopi hitam, rokok kretek, dan juga mendoan yang merupakan kudapan favorit Gus Dur.
Baca juga: Daniel Kho, Jalan Seniman Pengembara
”Kebanyakan, sajian yang diletakkan di depan sinca itu ikan, daging ayam, dan daging babi. Karena Gus Dur Muslim, tidak makan daging babi, kami ganti daging kambing. Kalau orang bilang, harus saklek daging babi, menurut saya tidak. Bisa dikompromikan kok, yang penting hewan darat, kambing kan juga hewan darat,” tutur Harjanto.
Sejak sinci Gus Dur dipasang, Rasa Dharma juga rutin memperingati Haul Gus Dur. Kegiatan lintas agama juga kian kerap digelar di tempat itu. Pada Sabtu (21/1/2023), ada juga kegiatan basuh kaki orangtua yang merupakan tradisi orang-orang Tionghoa jelang Imlek. Meski basuh kaki merupakan tradisi Tionghoa, orang-orang berbagai macam latar belakang turut dalam kegiatan itu.
Tradisi itu disebut Harjanto punya nilai yang universal, yakni menujukkan bakti anak kepada orangtua. ”Bagi saya, tradisi yang baik itu yang nilai-nilainya universal. Kalau tidak universal, sepertinya perlu ditelaah ulang,” ujar Harjanto.
Harjanto Kusuma Halim atau Liem Tun Hian
Lahir: Kota Semarang, 18 Desember 1965
Pendidikan terakhir: Food Science and Technology University of California Davis, Amerika Serikat