Darsono adalah petani yang tekun berkarya membuat puisi berbahasa Jawa atau geguritan. Membentuk komunitas sastra, dia pun ingin menggugah kesadaran masyarakat untuk bersama menjaga sastra Jawa lestari.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Selain berprofesi sebagai petani, Darsono (60) adalah penulis yang terus berkarya tanpa henti, dengan terus membuat geguritan atau puisi berbahasa Jawa setiap hari. Ketekunannya untuk berkarya adalah bagian dari upaya menjaga agar sastra Jawa tidak terlupakan ditelan zaman.
Darsono yang merupakan warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, biasa membuat dua hingga tiga geguritan per hari. Inspirasi yang bisa datang kapan saja, pada akhirnya membuat dia terbiasa memanfaatkan media apa pun untuk menulis.
”Dulu, semasa sekolah, saya biasa menulis puisi di bangku, buku pelajaran, dan pohon. Setelah tua dan bekerja, saya bisa menulis di kertas apa saja, mulai dari bungkus teh, surat undangan pertemuan warga, hingga lembaran kertas surat tilang,” ujarnya sembari terbahak, saat ditemui, Minggu (15/1/2023).
Dia tak sekadar membuat geguritan untuk kemudian dibaca dan disimpan sendiri. Darsono juga berusaha memopulerkan sastra Jawa dengan menunjukkan karyanya, mendiskusikan dengan rekan, dan membacakannya dalam berbagai acara, mulai dari acara kesenian hingga pengajian.
Sejak lama, dia berupaya menggugah warga lain ikut membuat karya sastra. ”Saya sering mengajak, menantang warga lainnya. Buatlah karya apa saja, dan mari kita diskusikan bersama,” katanya. Hal ini ia lakukan karena dia ingin memiliki kelompok dengan minat yang sama, yang sekaligus menjadi ruang untuk berproses bersama.
Berlatar belakang kegelisahannya untuk menciptakan ruang berkarya bersama tersebut, dia bersama warga lain, Ida Fitri Lusiana, sepakat membentuk komunitas sastra Lintang Panjer. Ida sendiri adalah pengurus Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Ibnu Hajar di Desa Sirahan.
Pada awal berdirinya komunitas, pencarian anggota hanya dilakukan sebatas ingatan masing-masing tentang minat dan hobi warga lain di Desa Sirahan. Karena banyak yang tidak memiliki atau jarang menggunakan telepon seluler, upaya mencari dan mengajak bergabung dilakukan secara ”manual” di tempat-tempat warga tersebut biasa berada.
“Saat akan mengajak Pak Agus Yuwono dan tidak menemukan dia di sawah dan di rumahnya, maka saya pun mencari dan akhirnya bisa menemui dia di tepi sungai yang menjadi lokasi memancing favoritnya,” tutur Darsono.
Resmi terbentuk pada 2019, komunitas Lintang Panjer awalnya memiliki sembilan anggota. Sempat sepi, khawatir bertemu dan berkumpul karena terhadang pandemi, mereka kemudian memutuskan mengumpulkan karya sastra untuk membuat buku. Tahun 2021, buku kumpulan karya komunitas Lintang Panjer berjudul Sega Pecel akhirnya terbit.
Sebagai ketua komunitas Lintang Panjer, Darsono memastikan mereka tak akan berhenti di satu buku, dan justru bertekad menunjukkan eksistensi mereka dengan terus mencetak buku setiap enam bulan sekali.
Di samping memperbanyak buku, komunitas Lintang Panjer juga berupaya menambah jumlah anggota dengan fokus lebih banyak menggandeng anak-anak muda di dalamnya. ”Pengajaran, pengenalan tentang sastra Jawa wajib dilakukan di kalangan anak-anak muda karena di masa sekarang, bahasa Jawa yang digunakan dalam pergaulan mereka kacau balau,” ujarnya.
Sejak kecil
Darsono gemar menulis sejak kecil. Kegemarannya menulis puisi tumbuh seiring dengan munculnya kemampuan dan kesenangannya membaca buku apa saja semasa SD.
Kelas 2 SMP, Darsono putus sekolah. Dia tak melanjutkan sekolah karena memilih menjadi sopir angkutan desa selama lima tahun. Namun, kesenangannya menulis puisi tak pernah putus. Ketika itu, di masa muda, kebanyakan karyanya adalah puisi-puisi romantis untuk perempuan yang disukai dan kemudian menjadi kekasihnya.
Setelah itu, Darsono menikah. Tahun 1994, dia beralih menjadi sopir kendaraan pengangkut buah-buahan. Saat itu, nota-nota pembelian buah semangka pun turut jadi media menulis puisi Darsono.
Sejak 1998, dia memutuskan berhenti sebagai sopir dan menekuni aktivitas bertani di sekitar rumah. Namun perubahan ini tak mengubah kegemarannya menulis puisi. Dia rutin membuat dua hingga tiga puisi setiap hari. Sebagian besar puisi dibuatnya dalam bahasa Jawa menjadi geguritan, dan beberapa di antaranya ditulis dalam bahasa Indonesia.
Inspirasi bisa datang dari mana saja, dan hasrat menulis tak terbendung ketika Darsono mendapatkan ide tersebut. Sayang, kegemarannya menulis puisi kerap membuat istrinya salah paham dan akhirnya mereka bertengkar.
”Istri saya pernah marah besar ketika membaca puisi saya berjudul ’Ketika Harus Memilih’. Dia langsung curiga saya memiliki pilihan wanita lain, padahal saat itu saya sedang menulis puisi tentang pemilihan kepala desa,” ujarnya sambil tergelak.
Kalimat-kalimat yang ditulis Darsono memang puitis dan cenderung romantis. Kalimat yang kemudian diartikan mentah-mentah itulah yang sering membuat istrinya emosi.
Dulu, Darsono sering menulis puisi di ponsel di sela-sela aktivitasnya bertani. Namun, karena emosi istri itulah, belakangan dia memilih menahan diri dan baru menulis puisi setelah pulang ke rumah.
”Saya tidak lagi menggunakan ponsel. Enam ponsel saya rusak karena dibanting istri yang marah membaca puisi yang saya ketik di dalamnya,” ungkapnya.
Darsono memang hanya lulusan SD. Namun, kegemarannya menulis puisi membuat dirinya sangat peka melihat, mendengar dan mengikuti isu-isu yang ada di sekitarnya, hingga isu tingkat nasional.
”Saya juga menulis geguritan tentang (Ferdy) Sambo dan Teddy Minahasa,” ujarnya. Geguritan tersebut diberinya judul ”Wayahe Gara-gara”.
Dia juga menulis puisi yang terinspirasi dari peristiwa-peristiwa bencana, termasuk banjir lahar dingin dari Gunung Merapi, yang pernah meluluhlantakkan Desa Sirahan pada 2011.
Selain karena ingin merekam, mencatatnya sebagai sejarah yang pernah terjadi di desa, peristiwa itu ditulisnya karena terus membayang di ingatan. “Bencana banjir lahar dingin adalah bencana yang sulit dilupakan,” ujarnya.
Selain peristiwa, sebagian inspirasi juga bisa datang dari kata atau nasihat. Geguritannya yang berjudul ”Wasiat”, misalnya, adalah puisi tentang nasihat ayah kepada anak-anaknya, meminta mereka tidak terbelit konflik berebut warisan. Nasihat itu dianggapnya penting ditulis sebagai puisi karena ia menganggap isinya penting diketahui orang lain.
Hingga kini, Darsono memastikan akan terus berkarya. Selain ingin terus ikut merekam sejarah dan kenangan, semua inspirasi yang ia tuangkan dalam puisi diharapkan dapat menarik minat orang-orang di sekitarnya untuk mau terlibat menjaga sastra Jawa tetap lestari.