Hutan bakau yang menjadi benteng alami bagi perkampungan adat orang Melayu terus menyusut di Batam. Seorang perantau yang terkesan dengan kearifan lokal setempat tergerak menjaga hutan yang tersisa.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Mendung menggantung dan guntur bergemuruh. Angin kencang datang membawa ombak besar yang bergulung-gulung menghantam pesisir utara Pulau Batam, Kepulauan Riau. Saat musim angin utara seperti ini, puting beliung dan banjir rob bisa datang kapan saja menghancurkan rumah warga di pesisir.
Namun, tak ada kepanikan di Kampung Tua Bakau Serip yang terletak di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, itu. Orang dewasa melaksanakan shalat Ashar dengan tenang dan anak-anak bermain lato-lato dengan riang. Mereka tak khawatir karena kampung itu dibentengi hutan bakau yang amat lebat. ”Hutan bakau ini pusaka kampung kami. Ini warisan leluhur yang harus kami jaga,” kata Gari Dafit Semet (41), Jumat (13/1/2022).
Kampung Tua Bakau Serip adalah perkampungan adat orang Melayu yang merupakan warga asli Pulau Batam. Gari, yang sebenarnya perantau dari Lampung, menikah dengan salah satu warga kampung tersebut.
Pada 2017, ayah tiga anak itu terdorong melindungi hutan bakau yang tersisa di Kampung Tua Bakau Serip. Hutan bakau di sekitar kampung itu menyusut dengan cepat akibat pembangunan di wilayah pesisir yang masif.
Selain itu, kayu bakau juga banyak dicuri oleh orang luar kampung. Pohon-pohon Rhizophora apiculata berusia ratusan tahun yang tinggi menjulang diam-diam ditebang waktu malam kemudian dibawa dengan kapal untuk nantinya dijadikan arang.
Pada saat yang sama, dampak krisis iklim semakin nyata di Kampung Tua Bakau Serip. Warga yang mayoritas nelayan merasakan pasang air laut semakin tinggi, badai semakin sering terjadi, dan cuaca semakin sulit diprediksi.
Saat itu, Gari memetakan ada sekitar 7 hektar hutan bakau di Kampung Tua Bakau Serip yang kondisinya masih baik. Selama satu tahun, sendirian ia membersihkan sampah plastik yang tersangkut dan menumpuk di antara akar-akar bakau.
”Waktu itu banyak yang mencibir buat apa bersihin hutan, toh, sampah datang terus dibawa ombak. Saya cuek saja, pokoknya jalan dulu pasti nanti ada manfaatnya,” ujar Gari.
Seiring waktu berjalan, Gari menyadari upaya menjaga kelestarian hutan bakau tak bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu, kemudian ia membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Pandang Tak Jemu.
Ia mengajak 15 warga untuk turut membersihkan hutan bakau. Selain itu, mereka juga membangun jembatan kayu serta pondokan agar dapat menarik kedatangan wisatawan dan memberi pemasukan tambahan bagi warga kampung.
Hutan bakau seluas 7 hektar itu kemudian dinamai Pandang Tak Jemu. Sejak 2019, hutan tersebut dijadikan warga sebagai destinasi utama di desa wisata Kampung Tua Bakau Serip.
Tak berapa lama, wisatawan dari dalam dan luar negeri pun mulai berdatangan untuk melihat keindahan hutan bakau Pandang Tak Jemu. Jumlahnya tak banyak, puluhan orang dalam satu atau dua minggu, tetapi itu cukup untuk membuat warga semangat merintis desa wisata.
Di Pandang Tak Jemu, wisatawan dapat menyusur ke dalam hutan dengan meniti jembatan kayu. Pohon Rhizophora apiculata menjulang di kiri dan kanan jembatan. Akar-akarnya saling memeluk di genangan air laut yang dangkal.
Sinar matahari yang menerobos di antara daun-daun bakau jatuh memantul ke genangan air di antara akar bakau. Bau tanah basah dan aroma laut menyatu dalam kesunyian.
Setelah melangkah jauh, gemuruh laut akan mulai terdengar di kejauhan. Di ujung jembatan, di tepi laut, Sonneratia alba berbaris tegak. Pohon-pohon itu berdiri kokoh meskipun batangnya koyak ditembus ombak.
Dampak pandemi
Pandemi Covid-19 yang datang pada 2020 hampir membunuh asa warga Kampung Tua Bakau Serip untuk merintis desa wisata. Baru satu tahun dibuka, wisata itu harus ditutup karena pembatasan sosial. ”Waktu itu saya enggak tahu harus bagaimana. Usaha kami gugur sebelum mekar. Semua seperti sia-sia,” ucap Gari.
Beruntung, pada akhir 2020, Kampung Tua Bakau Serip dipilih pemerintah menjadi lokasi penanaman mangrove lewat Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Total ada 25 warga yang terlibat dalam program tersebut.
Selama tiga bulan, mereka berhasil menanam bakau seluas lebih dari 15 hektar. Insentif yang didapat dari penanaman mangrove itu sedikit meringankan beban ekonomi para pegiat wisata yang terpuruk selama pandemi.
Setelah pandemi mulai melandai pada akhir 2021, Gari dan kelompoknya mencoba bangkit kembali menggerakkan ekowisata di Kampung Tua Bakau Serip. Itu tak mudah karena kunjungan wisatawan merosot drastis pascapandemi.
Namun, angin segar bertiup saat kampung itu diumumkan masuk 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022. Pokdarwis Pandang Tak Jemu juga menyabet pemenang III desa wisata dengan suvenir terbaik dalam ADWI 2022.
”Kalau usaha kami melestarikan mangrove ini diganjar penghargaan oleh pemerintah, saya rasa itu sekadar keberkahan. Yang saya harap usaha kami menjaga hutan bakau bisa ditiru warga pesisir lain di Batam,” ujar Gari.
Minim perhatian
Gari berharap agar pemerintah daerah dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada kelompok warga yang merintis desa wisata. Dukungan dari pemerintah itu bisa berupa pelatihan bagi anggota pokdarwis untuk menyusun paket wisata.
”Kami ingin merintis ekowisata yang maju dan mandiri di desa kami. Namun, sumber daya manusia yang ada saat ini masih harus banyak belajar agar dapat menciptakan manajemen desa wisata yang berkelanjutan,” ucap Gari.
Selain soal pengelolaan desa wisata, tantangan lainnya adalah masalah pencemaran. Sering kali bibit bakau yang ditanam warga mati karena terkena limbah minyak hitam atau sludge oil. Pencemaran ini terjadi hampir setiap tahun di musim angin utara di Kepri.
”Cemaran minyak hitam itu menempel di batang bakau yang masih kecil, karena limbah itu lengket sehingga sampah-sampah juga ikut menempel di sana. Akibatnya, batang bakau yang masih kecil akan patah saat terkena ombak,” tuturnya.