Rasa yang Memanggil Wira
Memahami kuliner sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara juga bisa membangkitkan kecintaan dan kebanggaan terhadap Tanah Air, Indonesia.

Chef Wira Hardiansyah di Menara Kompas, Jakarta.
Wira Hardiyansyah lama malang melintang sebagai chef di sejumlah negara. Spesialisasinya masakan Eropa. Suatu hari ia diminta membuat menu masakan Indonesia. Di situ dia sadar, dia tidak tahu apa-apa soal masakan negeri sendiri. Sejak saat itu, ia serius mempelajari kuliner Nusantara seperti rasa yang memanggilnya pulang.
Chef Wira merasa tak lagi cukup sekadar berkutat menjalani profesinya seperti biasa, business as usual. Dia merasakan ada semacam panggilan kuat yang akan membawa dia bertualang ke banyak tempat di Nusantara.
Ia menelusuri, mempelajari, sekaligus memahami warisan budaya kuliner negeri ini lalu menularkan pengetahuan tentang hal itu ke sebanyak mungkin orang. Dengan begitu, dia meyakini akan semakin banyak orang mencintai negeri dan bangsa ini lewat kuliner.
Semua kisah perjalanannya itu dia ceritakan saat bertemu akhir tahun 2022 di Menara Kompas, Jakarta. Ia datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Begitulah kebiasaannya kalau punya janji atau akan beraktivitas di satu tempat. Dengan demikian, dia punya cukup waktu untuk berkeliling dan mencari tahu kuliner menarik di sekitar situ.

Chef Wira Hardiansyah
Kebiasaan serupa ia lakukan saat bepergian ke sejumlah daerah. Sejak hampir sewindu terakhir, Wira berkeliling mendatangi banyak tempat di Indonesia. Sebagian perjalanan atas inisiatif dan biaya sendiri. Sebagian untuk memenuhi undangan sebagai pembicara atau narasumber.
Kepada pengundang, dia biasanya minta dibuatkan jadwal perjalanan khusus yang memungkinkan dia bisa singgah ke beberapa tempat. Dengan begitu, dia punya sedikit waktu mendatangi beberapa lokasi di sekitar kota tujuan utama. Di sana ia akan mengulik informasi seputar kuliner yang menarik. Ia tak ragu bertanya kepada kenalan atau pihak pengundang terkait hal itu.
Dari beberapa lokasi itu tak jarang sang chef mendapat banyak informasi berharga seperti kuliner atau makanan khas tertentu, yang biasanya hanya populer di situ, tetapi kurang dikenal di tempat lain. Temuan-temuan itu lantas diperkaya tambahan data dan informasi yang diperolehnya dari bahan bacaan lain.
Semua pengetahuan yang ia peroleh, ia olah kembali dan diunggah di akun media sosialnya yang cukup banyak membahas beragam jenis kuliner Nusantara. Ia melengkapi unggahannya dengan cerita latar sejarah yang lumayan informatif.

Chef Wira Hardiansyah saat wawancara dengan Kompas di Jakarta, Sabtu (24/12/2022).
Walau begitu, Wira menolak disebut sebagai orang yang menguasai sejarah kuliner tertentu. Bagaimanapun dia bukanlah akademisi apalagi peneliti sejarah kuliner Nusantara.
Sebagai seorang chef keliling (travelling chef), dia hanya ingin mengajak orang lain ikut menyenangi dan memahami kekayaan kuliner negerinya sendiri lewat unggahan-unggahannya.
Tak mengherankan jika mengintip akun media sosialnya ada banyak kuliner khas tradisional menarik dibahas sang chef mulai arsik dari Sumatera Utara, rawon dari Jawa Timur, kue apem di Yogyakarta dan Jawa Tengah, kue balok menes dari Baduy, kue bulukat dari Aceh, kolak ayam, tiliaya asal Gorontalo, dan masih banyak lagi.
Kita ini terkadang lucu. Kalau diklaim orang marah-marah, tapi selama ini kita sendiri enggak pernah memelihara, melestarikan apalagi mempelajari kuliner kita secara mendalam.
Wira meyakini dengan menguasai dan memahami kuliner bangsa sendiri, maka Indonesia akan bisa memperkenalkan kekayaan tradisi dan budayanya itu ke dunia luar. Diplomasi gastronomi. Begitu katanya.
”Jadi, ketika suatu saat ada pihak lain mengklaim kekayaan kuliner Nusantara kita akan dengan mudah mengatasinya. Kita ini terkadang lucu. Kalau diklaim orang marah-marah, tapi selama ini kita sendiri enggak pernah memelihara, melestarikan apalagi mempelajari kuliner kita secara mendalam,” kata pria kelahiran Kota Blitar, Jawa Timur, 36 tahun silam.
Awal-awal menjalani panggilannya itu, Wira mengenang kerap dicemooh dan bahkan dihujat. Dia dinilai sekadar sok-sokan mengerjakan sesuatu, yang bukan bidangnya. Namun, begitu dia memilih untuk tak peduli dan tutup telinga. Seiring waktu, tambahnya, orang kini semakin menyadari pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah kuliner Nusantara.

Chef Wira Hardiansyah
Mendatangi dan mencari tahu langsung ke daerah asal sumber kuliner yang dipelajarinya, menurut Wira, juga sangat membantu. Dirinya mengaku, dengan mendatangi dan mengajak berbincang langsung pemilik rumah makan atau juru masak tujuannya ada banyak tambahan informasi dan cerita, yang akan semakin memperkaya pengetahuannya.
Para pemilik warung, rumah makan, atau tukang masak, biasanya sudah berusia sepuh, tak pernah pelit ilmu. Mereka tak segan membagi resep dan bahkan teknik memasak mereka. Mereka tak mengenal yang namanya resep atau bumbu rahasia. Semua resep dan teknik memasak sama tetapi tangan yang meracik atau mengolahnyalah yang akan membedakan kelezatan satu jenis masakan.
Baca juga: Denny Chasmala, Birama Vespa dan Lagu Pesta
”Jadi, kalau cuma ingin tahu resep masakan itu gampang. Tinggal cari di Google. Tapi dengan langsung datang dan menemui pemilik rumah makan atau tukang masaknya akan ada banyak cerita dari mereka, yang bisa menambah pengetahuan,” ujar Wira.
Selain resep dan teknik memasak, tak jarang juga terdapat sejumlah kearifan lokal dan filosofi dari masakan tertentu, yang juga memengaruhi cara memasak. Semisal terkait pantangan yang tak boleh dilanggar. Hal seperti itu hanya bisa diketahui dengan mengalami dan menjalaninya langsung dari tangan pertama. Semua itulah yang memperkaya tradisi kuliner Nusantara sekaligus membedakannya dengan kuliner asal negara lain.

Chef Wira Hardiansyah
Titik balik
Mengapa Wira tertarik mendalami kuliner Tanah Air dan meninggalkan pekerjaan serta kariernya yang sudah mapan di luar negeri?
Wira membagi kisahnya. Titik balik itu dimulai ketika satu waktu ia ditugasi mempresentasikan beragam menu khas Indonesia di restoran tempatnya bekerja. Saat itu restoran di hotel berbintang di Qatar tempatnya bekerja menjalin kerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Qatar yang akan menggelar satu acara. Mereka ingin restoran itu menyediakan sejumlah menu khas asal Tanah Air.
Wira yang sudah beberapa tahun bermukim dan bekerja di banyak negara dengan spesialisasi masakan Eropa, sempat gelagapan saat diminta memasak dan menyajikan menu-menu Nusantara. Dia mendapati dirinya ternyata tak menguasai sama sekali masakan Indonesia. Wira terpaksa mencari resep-resep dari Google.
Walau belakangan acara sukses dan semua pihak bisa menerima hasil masakannya, Wira mengaku tak puas. Kejadian itu menyisakan kegalauan dalam hatinya.

Chef Wira Hardiansyah
Dia merasa malu lantaran bagaimana bisa dirinya, yang seorang chef profesional berpengalaman sekaligus putra asli Indonesia, justru kebingungan saat diminta memasak menu-menu makanan asal negerinya sendiri.
Selang beberapa waktu Wira memutuskan pulang ke Indonesia dan belajar sekaligus mendalami masakan Indonesia. Pada tahap awal, dari sekian banyak menu yang ada dia terpikir untuk memulai dengan belajar memasak sayur lodeh. Menu sayur bersantan kegemarannya sejak masih kecil, masakan ibu tercinta.
Baca juga: Jasmine Okubo, Biar Sunyi Tak Kesepian
Pada percobaan pertama Wira gagal lantaran sang ibu menolak masakannya dan menilai yang disajikan bukan sayur lodeh. Hal itu tentu saja mengejutkannya. Belakangan dia baru sadar kesalahan terjadi lantaran dirinya menerapkan teknik dan pengetahuan memasak makanan Eropa saat membuat sayur lodeh.
”Nama lodeh itu berasal dari kata lodho, yang artinya lembut. Seluruh sayuran dimasak dalam santan sampai lembut (overcooked). Masalahnya di kuliner Eropa tidak dikenal cara memasak sampai terlalu matang (overcooked) begitu. Makanya sayur lodeh masakan saya dinilai gagal oleh ibu karena belum sampai matang,” kenang Wira.
Masalahnya di kuliner Eropa tidak dikenal cara memasak sampai terlalu matang (overcooked) begitu.
Perjalanan Wira mempelajari kuliner Nusantara pada akhirnya membuat ia jadi tempat bertanya. Ia kerap diundang untuk berbicara di forum diskusi dan acara kuliner mulai yang digelar di kampus, kantor media, kedutaan besar negara sahabat, hingga instansi pemerintah.
Selain itu, dia juga beberapa kali terlibat dalam acara festival budaya, perayaan adat, dan kuliner di daerah tertentu. Dia bercerita tak semua undangan upacara atau tradisi, yang menyajikan kuliner-kuliner khas daerah tertentu, bisa dia ikuti secara partisipatif.
”Saya, misalnya, diundang ikut upacara (adat) di Toraja atau Batak. Walau Muslim dan tak bisa ikut makan hidangan di acara itu karena nonhalal, saya tetap datang. Saya paham mereka mengundang bukan untuk makan, tetapi untuk memberi tahu kalau mereka punya tradisi dan kuliner seperti ini. Bagi saya, undangan seperti itu sangat berharga. Justru dengan semakin kita tahu maka akan semakin toleran lah kita,” ujar Wira berpetuah.
Boleh jadi sejak awal langkah Wira mendalami kuliner Nusantara berikut latar sejarah, filosofi, dan pengetahuan yang mengikutinya sudah sangat benar. Dari situ kita memang semakin menjadi kaya, setidaknya dengan pengetahuan dan ajaran moral, dengan jalan menghargai budaya sendiri lewat kulinernya. Ragam rasa dalam kekayaan kuliner itu memanggil Wira pulang untuk mengenal asalnya lebih jauh.

Chef Wira Hardiansyah