Heriyanto "Heri Pemad", Merayakan Kegilaan
Kegilaan menjadi hal penting bagi Heri Pemad. Maka Heri menetapkan diksi “kegilaan” itu sebagai bagian dari kredo atau keyakinannya.
Penghargaan sebagai Pelopor Pertunjukan Seni Rupa disematkan kepada Heriyanto (46) pada Malam Apresiasi Kebudayaan Indonesia Tahun 2022. Pria kelahiran 12 April 1976 di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang memiliki nama akrab, Heri Pemad, itu ternyata memiliki kredo bahwa jalan kegilaan sebagai jalan menuju kewarasan; “Yen ora edan, ora waras.”
Ungkapan berbahasa Jawa ini bermakna, jika tidak gila, maka tidak waras. Ini sebuah metafora bagi Heri Pemad dalam menyikapi peristiwa seni rupa terkini dan menyuguhkannya sebagai pertunjukan kepada publik.
Ia mengejar kegilaan sebagai suatu keadaan di luar kelaziman, tetapi mengandung manfaat dengan unsur kebaruan atau ketidakterdugaan. Baginya, makin mendekatkan seni rupa kepada publik hingga bisa diterima dengan baik, maka ini sebagai kontribusi meningkatkan peradaban.
Kegilaan menjadi hal penting. Mungkin saja, karena nama bekennya berakhiran kata “pemad” yang dalam bahasa gaul orang Yogyakarta berarti edan atau gila. Maka Heri menetapkan diksi “kegilaan” itu sebagai bagian dari kredo atau keyakinannya.
Wajar saja, jika kemudian penghargaan sebagai Pelopor Pertunjukan Seni Rupa itu diberikan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta, Jumat (9/12/2022). Di samping Heri Pemad, masih ada sejumlah penerima penghargaan untuk kategori-kategori bidang seni lainnya.
Dari sekian banyak pameran seni rupa yang dibidaninya, Heri Pemad makin dikenal setelah melahirkan Jogja Art Fair #1 pada Festival Kesenian Yogyakarta 2008. Inilah cikal bakal agenda tahunan Artjog (sejak 2010) di Yogyakarta, yang bertahan sampai sekarang dan dikenal terbesar di tingkat Asia Tenggara.
Sebagai art fair atau pasar seni rupa, Artjog memiliki keistimewaan menghubungkan langsung perupa dengan khalayaknya. Di Indonesia maupun berbagai negara lain, pasar seni rupa selalu menghadirkan pihak galeri sebagai perwakilan perupa.
Di saat Jogja Art Fair #1, ada 450 lukisan karya 135 perupa dipajang bergantian dalam setiap minggunya. Kurang lebih agenda ini berlangsung sepanjang satu bulan bersama Festival Kesenian Yogyakarta. Pameran Jogja Art Fair #1 menggemparkan.
Heri Pemad juga dikenal berhasil mengembangkannya menjadi Art Bali (2018). Terakhir kali, menggelar Art Ina pada akhir 2022 di pertokoan termegah pertama di Jakarta atau Indonesia, Sarinah.
“Pemad” itu “apikan”
Beberapa hari setelah menerima penghargaan, Heri Pemad menuturkan sepak terjangnya di bidang pertunjukan seni rupa selama ini. Tentu saja diawali masa-masa kecilnya di Sukoharjo dan perihal nama “pemad” yang pada awalnya dibohongi maknanya sebagai orang “apikan” atau orang yang selalu berbuat baik. Padahal, makna kata itu “edan”, yang berkonotasi gila atau tidak waras,
Heri memiliki ibu kandung yang meninggal berselang sekitar tiga bulan dari kelahirannya. Ia kemudian dirawat oleh kakeknya, seorang petani di Sukoharjo. Berselang tiga tahun kemudian, ayahnya menikah lagi dan hingga sekarang lebih sering menetap di wilayah Banten.
Heri memiliki karunia gangguan pendengaran sejak kecil, sehingga ia harus mengenakan alat bantu dengar sampai sekarang. Sejak di bangku SD pula, Heri sudah dikenal pintar menggambar. Pada waktu menginjak kelas IV SD, ia pernah diminta menggambar pahlawan-pahlawan di atas kertas karton warna-warni. Kemudian gambar hitam putihnya itu dipajang di dinding kelas.
“Saya juga sering menggambari buku pelajaran, misalnya, ada gambar segi lima saya gambari membentuk perspektif. Lalu, sering dimarahi guru-guru, dipukul dengan penggaris, bahkan sampai dilempar penghapus,” ujar Heri, yang kemudian setelah lulus SMA pada 1994 pergi ke Yogyakarta.
Sewaktu duduk di bangku SMP dan SMA, Heri tidak menjumpai matapelajaran menggambar lagi. Ia terkesan, ketika di bangku SMA pernah menjumpai buku sejarah yang mencantumkan tiga nama pelukis besar meliputi Affandi, Basoeki Abdullah, dan Salvador Dali.
Kemudian pada 1993, Heri mendengar pemberitaan radio, televisi, dan koran tentang dibunuhnya pelukis Basoeki Abdullah. Heri terkesima dan makin memiliki keinginan untuk menjadi seorang pelukis. Hingga setelah lulus SMA tebersit keinginan untuk melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Setelah lulus SMA 1994 di Sukoharjo, Heri pergi ke Yogyakarta untuk mendaftar ke ISI Yogyakarta. Selain itu, ia mendaftar pula ke Sekolah Tinggi Arsitektur YKPN di kota itu. Akan tetapi, keduanya tidak menerima Heri. Heri pun enggan pulang ke Sukoharjo dan kos di Yogyakarta.
“Waktu itu, pamit ke kakek kalau saya kursus di Yogyakarta. Padahal, saya lebih banyak menggelandang dan berusaha makin mengenal dunia seni rupa di Yogyakarta,” ujar Heri, yang baru diterima masuk ISI Yogyakarta setelah ujian masuk ketiga kalinya, 1996.
Pada 1994, Heri pernah menyempatkan kursus melukis selama beberapa bulan kepada pelukis realisme Wahyu Santosa yang tinggal di Terban, Yogyakarta. Kursusnya terhenti, karena Heri terkena usus buntu dan harus dirawat bibinya yang tinggal di Banten.
“Dari kursus melukis waktu itu, saya mulai mengenal membuat kanvas dan spanram,” ujar Heri, yang mendapat dukungan sang kakek untuk belajar sesuai keinginannya di Yogyakarta. Ayahnya sendiri tidak mendukung dirinya belajar melukis.
Pada 1995, di Yogyakarta Heri bertemu salah satu teman asal Sukoharjo yang sedang menempuh studi di ISI Yogyakarta. Temannya itu pula mengenalkan kepada salah satu dosen ISI yang kebetulan menjabat Pembantu Rektor. Dari sinilah Heri mempersiapkan diri dan berhasil diterima sebagai mahasiswa ISI pada 1996.
“Menggambar bentuk sebagai ujian masuk ISI. Saya sering belajar menggambar bentuk ini dengan ikut melukis dan menggelandang di Malioboro,”” kata Heri.
Setelah diterima di ISI, Heri indekos di Madubronto, Kampung Bugisan, Yogyakarta. Ia mulai melukis dengan kanvas-kanvas besar sepanjang malam. Heri pun dikenal ringan tangan membantu warga kampung.
Hingga akhirnya banyak anak muda sering menemani Heri melukis. Setiap kali lukisan selesai, tanda tangan yang diberikan hanyalah berupa kata “heri”. Ada sebagain anak muda kampung yang kemudian mencarikan imbuhan nama “pemad” untuk tanda tangannya itu.
Heri tidak mengetahui makna kata itu, dan diberitahukan maknanya “apikan” atau orang yang baik. Berselang beberapa tahun hingga 1998, Heri menyadari makna kata “pemad” adalah edan. Ada Eko Purwanto, teman asal Sukoharjo yang sedang kuliah di Jurusan Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), memberitahukan arti kata “pemad” tersebut.
“Waktu itu saya sudah pindah kos di Sewon, Bantul. Saya langsung naik sepeda ke Madubronto dan mencari teman-teman saya yang bohong memberi nama ‘pemad’ waktu itu,” ujar Heri, yang menjumpai teman-teman di Madubronto sedang syukuran atas lengsernya Presiden Suharto.
Mengundurkan diri
Heri Pemad menjalani kuliah antara 1996 hingga akhirnya mengundurkan diri pada 2000. Ketika itu selepas Kuliah Kerja Nyata (KKN), tinggal satu matakuliah pilihan bebas yang harus ditempuh, yaitu Manajemen Pariwisata. Setelah itu, Tugas Akhir.
“Kuliahnya di ruang seni pertunjukan dan saya tidak mengerti. Saya merasa ilmu dari kualiahnya sudah habis, dan akhirnya saya mengundurkan diri ke dosen pembimbing Aming Prayitno waktu itu,” ujar Heri, yang waktu itu sudah menemukan pilihan jalan melukis dan sempat berpameran hingga lukisan-lukisannya laku terjual.
Periode tahun 2000 sampai 2008 banyak peristiwa penting bagi Heri, yang kemudian memutuskan untuk lebih banyak mengembangkan pameran seni rupa. Ia memiliki kegigihan, keuletan, keajegan, serta keberpihakan kepada seniman. Empat hal ini melekat pada dirinya.
Di bidang kehalian melukis, Heri memiliki prestasi. Pada 1997, ia mendapatkan penghargaan Cat Air Terbaik ISI Yogyakarta. Pada 1999, ia mendapat penghargaan Nokia Art Award Asia Pacific.
Sepak terjangnya di dalam menyuguhkan karya seni rupa di setiap pameran juga menarik perhatian masyarakat dunia. Heri Pemad pada 2008 pernah diundang untuk mempresentasikan kerja manajemen seninya di Vaduz, Liechtenstein.
Beragam pameran internasional sering dikunjunginya pula, seperti CIGE Beijing, Shanghai Contemporary Biennale, Triennial Guangzhou, Shanghai Art Fair, Sydney Biennale, Melbourne Art Fair, Singapore Biennale, Art Basel, Singapore Art Fair, ArtHK, Art Paris, Venice Biennale, dan lainnya.
Pada 2018 Heri Pemad diminta menjadi komite pengarah Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia. Selain itu, ia diuminta pula menjadi tim pengarah penanda keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta menjadi Dosen Tamu di Jurusan Tata Kelola Seni, ISI Yogyakarta. “Saya tidak lulus kuliah, tetapi saya juga diminta mengajar kuliah,” seloroh Heri Pemad.
Heri Pemad memiliki lika-liku hidup yang tidak mudah. Akan tetapi, ia menyikapinya dengan selalu tersenyum dan tertawa. Mungkin begitulah karakter seorang pelopor.
Heriyanto
Nama popular Heri Pemad.
Lahir : Sukoharjo, Jawa Tengah, 12 April 1976
Pendidikan : 1996–2000: Jurusan Seni Murni, Program Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (tidak tamat)
Prestasi dan pekerjaan:
- Penghargaan Cat Air Terbaik ISI Yogyakarta (1997)
- Penghargaan Nokia Art Award Asia Pacific (1999)
- Direktur Artistik Jogja Art Fair / Artjog (2008 – sekarang)
- Anugerah Adhikarya Rupa 2014 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
- Anggota Dewan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2019 -2022)
- Direktur Artistik Pameran Distrik Seni x Sarinah, Jakarta (2022)
- Direktur Artistik Art Ina di Sarinah, Jakarta (2022 – 2023).