Yudhatama Fajar Nugroho, Energi Industri Animasi di Surakarta
Yudhatama Fajar Nugroho menjadi bagian penting dari geliat industri animasi di Surakarta yang baru tumbuh. Ia tidak hanya mendirikan studio animasi, tetapi juga mencetak SDM dan ikut merintis komunitas animasi.
Belasan anak muda duduk menghadap komputer di studio animasi Manimonki milik Yudhatama Fajar Nugroho (43) di kawasan Purwosari, Lawean, Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (14/12/2022) siang. Mereka sibuk mengerjakan sejumlah pekerjaan animasi seperti membuat karakter dan menggerakkan karakter itu hingga tampak bernyawa. Di ruang terpisah, Yudha sedang memeriksa aset animasi yang akan dijahit menjadi film utuh.
Film itu adalah versi animasi dari film box office bergenre drama komedi yang menggaet jutaan penonton, termasuk versi sekuelnya pada 2016 dan 2019. "Semua dikerjakan di sini. Sekarang masih dalam tahap aset animasi, bikin karakter, dan semestanya. Rencananya bikin 26 seri dengan target pengerjaan dua tahun," ujar laki-laki kalem itu.
Sebagian besar animator yang bekerja di Manimonki dilahirkan dari pelatihan-pelatihan animasi yang digelar Yudha. Yudha ingat benar, ketika membuka Studio Manimonki di kota itu tahun 2016, ia kelimpungan mencari sumber daya yang ia butuhkan. Padahal, tawaran pekerjaan membeludak. "Kami sampai menolak-nolak pekerjaan," kenang Yudha.
Yudha mencoba mencari tenaga animator di Surakarta. Tetapi ia tidak menemukannya karena tenaga kerja yang ada sebagian bekerja di berbagai kota, terutama Jakarta. "Tidak ada cara lain, saya harus mencetak SDM sendiri," kenang Yudha.
Yudha memulainya dengan membentuk divisi pengembangan sumber daya manusia (SDM) Manimonki yang diberi nama Gomonki. Lewat Gomonki, Yudha menggelar kursus animasi di Kota Surakarta. Ia datangi sejumlah SMK di Surakarta yang memiliki jurusan animasi untuk memberi masukan terkait kurikulum animasi yang sesuai kebutuhan industri. Ia juga menawarkan pelatihan-pelatihan. "Tetapi tidak ada yang berminat." katanya.
Ia pun menoleh ke Balai Latihan Kerja Kota Surakarta. Lembaga ini ternyata tertarik dengan tawaran Gomonki. Akhirnya, pelatihan animasi bisa digelar di sana pada periode 2017-2018 dengan kurikulum yang diperbaharui terus sesuai perkembangan industri. Dari pelatihan itu lahir animator-animator baru. Sebagian alumninya langsung direkrut Manimonki. Sebagian lagi bekerja di studio lain atau di industri kreatif non-animasi. "Sekarang 75 persen dari 27 karyawan Manimonki berasal dari pelatihan itu," ujar Yudha.
Baca juga: Tatuk Marbudi, Si Manusia Jembatan
Yudha terus bergerak untuk memperkuat industri animasi Surakarta. Bersama sejumlah dosen Institut Seni Indonesia Surakarta dan Universitas Sebelas Maret, ia membentuk Animasi Solo Raya (ANSORA) pada 2019. Di komunitas itu mereka berdiskusi tentang ekosistem industri animasi dan jejaring yang kuat.
Keberhasilan mencetak SDM dan kehadiran komunitas animasi memberi energi baru pada industri animasi Surakarta yang mulai tumbuh. Kota ini mulai diperhitungkan oleh jaringan industri animasi sebagaimana kota Bandung, Malang, Bali, Batam, dan Jabodetabek. Banyak proyek-proyek animasi dari dalam dan luar negeri yang sekarang dikerjakan di Surakarta, yang menawarkan ongkos produksi lebih murah. "Dulu waktu saya membuka Manimonki, baru ada satu studio animasi. Sekarang ada tiga studio animasi di sini," tutur Yudha.
Meniti karier
Yudha sejak remaja tertarik dengan industri kreatif. Saat duduk di bangku SMP, ia mulai menggambar komik. Salah satu karyanya pernah dimuat di tabloid Fantasi yang membuatnya senang bukan kepalang. Ketika duduk di bangkus SMA, ia mengerjakan majalah sekolah. "Saya buat komik sampai cerpen. Teman-teman saya bilang, 'ini majalah Yudha (bukan majalah sekolah). Soalnya semua isinya Yudha yang buat'," kenangnya.
Ia melanjutkan pendidikan di Unikom Bandung Jurusan Desain Grafis pada 1997. Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1998, ia dituntut keadaan untuk mencari uang sendiri sambil kuliah. Ia memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya di bidang desain grafis untuk melamar pekerjaan. Dia diterima di Red Rocket, studio animasi yang ketika itu paling bagus di Bandung. Proyek pertamanya mengerjakan serial animasi Aku dan Kau untuk sebuah stasiun televisi swasta.
Sebagian besar tugas pertamanya adalah mewarnai (coloring) karakter-karakter animasi. Selanjutnya, ia belajar komposit yakni menggabungkan elemen visual dari sumber terpisah menjadi satu gambar dan belajar menggunakan perangkat lunak animasi 3D. Yudha mengaku mendapat banyak pengetahuan baru di Red Rocket, termasuk dari koleksi buku animasi dan sinematografi yang ada di perpustakaan Red Rocket. "Waktu saya buka studio sendiri, saya meniru Red Rocket. Saya bikin perpustakaan dengan koleksi buku yang bagus," cerita Yudha.
Selepas dari Red Rocket, ia bekerja selama satu tahun di sebuah rumah produksi di Brunei yang memasok program-program ke televisi Brunei, RTB. Karena tidak mendapat pengetahuan dan tantangan baru, ia pulang ke Indonesia dan tinggal di Bandung. Di Kota Kembang ia bekerja lepas untuk proyek-proyek dari sejumlah perusahaan di Jakarta. Belakangan, ia diminta ke Jakarta oleh pemberi pekerjaan.
"Struktur industrinya seperti itu. Jakarta sebagai pemasok proyek, sementara, studio-studio yang ada di berbagai daerah seperti Bangdung, Botabek, Malang, dan Solo sebagai penjahit," ujar Yudha.
Setelah malang melintang bekerja di Jakarta, ia memutuskan pulang ke Solo pada 2006. “Saya bosan bikin animasi iklan. Saya ingin bikin animasi non-iklan. Jadi saya bisa bekerja di luar Jakarta. "Waktu itu, saya dapat proyek animasi 'Si Unyil' dari Perusahaan Film Negara. Ini proyek nasional yang dikerjakan dari banyak kota antara lain Bandung, Malang, dan Yogya. Saya bilang ke orang PFN, saya ambil job-nya tapi mengerjakannya di Solo.”
Pada 2011, Yudha kembali ke Jakarta dan mendirikan studio Minimongki, khusus untuk mengerjakan proyek animasi. Lima tahun kemudian, ia memindahkan semua pekerjaannya ke Solo.
Manimonki terlibat dalam banyak proyek animasi mulai iklan, efek visual film, film pendek animasi, maupun film serial animasi. Proyek yang dikerjakan antara lain efek visual film Wiro Sableng untuk scene ketika Wiro turun dari gunung, efek visual film Mantan Manten, avatar digital Noah DekadeXPerience, klip video sejumlah lagu, dan animasi Si Bulan Koki Super serta Malam Jumawut. Malam Jumawut masuk nominasi Film Pendek Animasi pada FFI 2021.
Selain itu, Manimonki terlibat dalam sejumlah proyek film animasi milik rumah produksi dari Jepang, Malaysia, dan beberapa negara lainnya. Salah satu di antaranya adalah serial animasi Mechamato milik rumah produksi Malaysia. Tahun depan, Manimonki diminta membantu serial animasi BoboiBoy musim kedua milik rumah produksi yang sama.
"Dulu kami kebagian pekerjaan membuat latar belakang, pewarnaan, karakter, dan animasinya. Lalu dipercaya mengerjakan proyek secara utuh mulai produksi sampai pasca produksi, tetapi konsep dan dananya dari pihak lain," tuturnya.
Baca juga: Adjie DFL, Lelaku Metal Lelaki Kekar
Seiring waktu, Manimonki memproduksi animasi sendiri mulai konsep hingga pengerjaan. "Saya ingin membuktikan bahwa kami juga bisa memproduksi konten sendiri," kata Yudha. Beberapa proyek yang dikerjakan sendiri adalah serial animasi Mama Papa, Ghost School Days, dan Cerita Si Amang.
Yudha melihat masa depan industri animasi Indonesia cukup cerah karena kue industrinya masih besar. Rumah produksi film lokal misalnya sudah mulai memiliki kesadaran membuat film atau serial animasi untuk dijual ke stasiun atau di kanal streaming, contohnya Sopo Jarwo dan Kiko. Studio animasi dari luar negeri pun semakin banyak yang melirik Indonesia. "Sekarang ada delapan studio Korea yang buka kantor di Jakarta. Belum lagi yang tetap berkantor di Korea tapi memberi pekerjaan ke studio-studio di Indonesia. "Dulu mereka ke Malaysia, sekarang lari ke sini karena ongkos produksinya lebih murah."
Ongkos produksi untuk membuat satu episode animasi berdurasi tujuh menit di Korea Selatan, lanjut Yudha, mencapai Rp 1 miliar dan di India Rp 500 juta. Di Indonesia, ongkosnya hanya Rp 200an juta.
Yudha berpendapat, tahap sebagai "tukang" bagi industri animasi global yang lebih maju, memang harus dilalui industri animasi Indonesia. Tetapi untuk selanjutnya, industri animasi tanah air mesti berubah. "Idealnya industri animasi Indonesia itu sudah bikin serial berkelanjutan dan film box office. Kita dan Malaysia itu mulainya sama, tapi sekarang mereka lari kencang duluan," ujar Yudha.
Untuk itu, lanjut Yudha, perlu peran pemerintah dalam membangun ekosistem industri yang kuat. "Di Malaysia pemerintah kasih subsidi poryek besar seperti Upin Ipin dan BoboiBoy. Yang disubsidi banyak, yang jadi cuma dua. Tapi industri mereka jadi jauh berkembang. Indonesia mau nggak subsidi 100 yang jadi dua?"
Yudhatama Fajar Nugroho
Lahir: Surakarta, 13 Maret 1979
Anak: empat orang
Pendidikan:
- SMA Al Islam 1 Surakarta (1995-1997)
- D3 Jurusan Desain Grafis Unikom Bandung (1997-2000)
Penghargaan:
- Kreatif Best SEA Short Animator 2020 lewat karya Sepi
- Nominasi Film Pendek Animasi FFI 2021 lewat Malam Jumawut