Adaptasi menjadi tantangan bagi semua, termasuk gereja. Namun, kemauan dan niat untuk berhikmat dengan mendengarkan suara Tuhan diyakini mampu membawa kebaikan.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
Sepanjang dua tahun ini, gereja mengalami tantangan yang besar dan belajar untuk melakukan penyesuaian. Tidak sekadar kondisi, tetapi juga pola pemikiran yang mesti berpihak pada sesama bukan hanya golongan. Melalui tema Natal kali ini, umat diajarkan untuk bersedia berhikmat demi keutuhan bangsa ini.
”Karakter gereja benar-benar terus diuji. Apakah gereja mau menjadi institusi yang tertutup atau terbuka? Eksklusif atau inklusif? Gereja biasanya sulit berubah. Sementara, pandemi memaksa gereja untuk terbuka pada perubahan dan menyesuaikan diri, meninggalkan gaya persekutuan dan pelayanan yang konvensional,” kata Imam Gereja Anglikan Indonesia Agustinus Titi saat dihubungi.
Sejak pandemi menghantam pada Maret 2020, Gereja Anglikan berupaya mencari cara baru di tengan pembatasan yang sangat ketat dalam menjalankan ibadah, sakramen baptisan, perjamuan kudus, bahkan ibadah pemakaman dan penghiburan. ”Memang di awal terasa gagap untuk beralih ke online, tetapi lama-lama mulai terbiasa. Sampai sekarang gereja terus belajar untuk lebih fleksibel. Kekakuan yang dulu seolah tidak mungkin ditembus dan diubah, mulai lebih cair,” kata Agustinus.
Kini, pandemi memang sudah mereda, tetapi belum sepenuhnya hilang. Protokol kesehatan tetap dipertahakan di lingkungan gereja. Sebagian ibadah juga masih dijalankan secara hibrida, termasuk saat Natal. Hal ini untuk menjawab kebutuhan sebagian jemaat yang masih lebih nyaman beribadah daring.
Selain ditantang untuk fleksibel menerima perubahan, gereja juga diuji untuk lebih terbuka, inklusif, dan bekerja sama dengan pihak lain, baik dengan sesama umat Kristen maupun umat agama lain. ”Saat pandemi, kami banyak belajar dari lingkungan sekitar, bagaimana orang-orang saling membantu tanpa melihat latar belakang agama. Itu menjadi pengingat buat kami bahwa gereja juga harus seperti itu,” kata Agustinus.
Sementara menyinggung konteks tema Natal yang mengambil dari Injil Matius 2:12, kisah para orang Majus ini menunjukkan keteguhan orang Majus untuk terus berhikmat. ”Mereka sadar, akan ada malapetaka kalau mereka kembali melalui jalan yang sama ke Herodes. Mereka pun memilih menaati perintah Allah. Kalau saja orang Majus waktu itu langsung pulang ke Herodes dan melaporkan tentang kelahiran Yesus, ceritanya akan sangat berbeda. Namun, mereka menggunakan hikmat mereka dan memilih mendengarkan suara Tuhan,” tutur Agustinus.
Ini sama halnya dengan konteks situasi sekarang yang penuh ketidakpastian dan ancaman krisis. Untuk itu, gereja, pemerintah, dan masyarakat juga harus berhikmat dalam bertindak dan membuat keputusan. Dengan hikmat dan kesediaan untuk mendengar suara Tuhan, tindakan yang akan merusak dan mencelakakan, bahkan menghancurkan umat serta bangsa dan negara yang satu ini dapat dihindari.
”Kita bisa berkaca dengan pengalaman saat pandemi. Gereja dan umat yang berhikmat tidak hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, tetapi juga sesamanya. Kalau gereja sembrono, bisa jadi episentrum penularan Covid-19 dan mencelakakan banyak orang. Hikmat dan kesediaan untuk selalu mendengar suara Tuhan itu yang perlu kita pegang dalam menghadapi krisis ke depan,” ujarnya.
Menanggapi tahun 2023 yang sudah memasuki tahun politik, Agustinus meminta umatnya jujur pada diri sendiri sebagai benteng perlawanan terhadap sebaran politik identitas. ”Apakah kita sendiri sudah bebas dari politik identitas itu? Karena kadang-kadang kita pun berpolitik identitas dalam pilihan kita. Mari berkaca, apakah pilihan yang kita ambil itu demi gereja, demi komunitas Kristiani, atau demi Indonesia?” ujarnya
Baginya, jika umat Kristiani masih memikirkan keselamatan diri sendiri dan gereja saja, itu sama seperti berpolitik identitas. Sebab, prioritas utama sebagai seorang warga negara adalah kepentingan bangsa dan negara. ”Contohnya, ketika tidak ada satu pun calon beragama Kristen, apa kita lantas apatis dan diam tidak memilih? Atau, kalau ada calon yang Kristen tetapi kita tahu dia tidak kompeten, moralnya kurang baik, apa tetap kita pilih hanya karena agamanya?” ujarnya.
Ia pun menegaskan umat Kristen bersama dengan umat lainnya harus aktif menyuarakan dan mempraktikkan politik kebangsaan di keseharian. Ia menegaskan pada umat agar tidak mudah terpancing atau sembarangan memberi komentar yang bisa memperkeruh suasana dan memicu perpecahan atau kebencian di masyarakat.
”Kita harus menjadi garam dan terang bagi bangsa. Caranya bisa bermacam-macam, termasuk melalui aktif berpartisipasi dalam komunitas politik. Jangan langsung merasa rendah diri dan selalu melihat diri sebagai minoritas,” ujarnya.