Pastor Marselinus Wangu SVD, "Ora et Labora" untuk Togo
P Marselinus Wangu SVD 26 tahun bermisi di Togo, Afrika. ia tidak hanya menjalankan tugas pewartaan, tetapi juga ikut menyejahterakan warga lewat pertanian.
Menjadi misionaris Katolik di negara miskin Togo, Afrika Barat, bukan perkara mudah bagi Pastor Marselinus Wangu SVD. Selama 26 tahun menjalankan tugasnya, Marsel tidak hanya menjalankan tugas pewartaan, tetapi juga terlibat menyejahterakan masyarakat lewat pertanian dan gerakan literasi.
Marsel ditugaskan oleh Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD) di Togo sejak 1995. Awalnya, ia enggan berangkat ke sana. Namun, setelah merenung karya perutusan, ia pun setuju. ”Ini bagian dari salib yang harus saya pikul. Tuhan datang ke dunia, bukan mencari orang kaya dan orang benar, melainkan kaum miskin dan tertindas,” katanya di Kupang, Sabtu (17/12/2022).
Saat itu Marsel sedang mengambil cuti. Ia bilang, selama 26 tahun menjadi misionaris di Togo, ia baru tujuh kali mengambil cuti.
Marsel menceritakan, ketika berangkat ke Togo, ia pergi bermodal semangat menjalankan misi. Ia tiba di Lome, ibu kota Togo, awal 1996. Dari situ, ia menempuh perjalanan menuju Paroki Kante, sekitar 520 kilometer selatan Lome. Ia pertama disuguhi air putih dalam calebasse, tempayan dari kulit labu, tanda ucapan selamat datang dan melebur dalam kehidupan Togo.
Pada tahun kedua di Paroki Kante, Marsel mulai menyadari, ia tidak cukup hanya mewartakan ajaran agama. Berdoa dan bekerja, ora et labora, harus berjalan seimbang.
Baca juga: P Amans Laka SVD, Jejak Jasa Putra NTT di Argentina
”Dalam situasi kemiskinan dan tradisi yang kuat, kita tidak bisa berevangelisasi (mewartakan) secara bebas. Banyak orang lapar dan terserang penyakit di sana-sini. Tidak tega kita bicara nilai-nilai Injil di tengah kondisi seperti itu,” ujar Marsel yang mengaku terusik hatinya.
Ia pun menyampaikan pergulatan batinnya ke Keuskupan Dapaong. Pihak keuskupan lantas mengirim dua unit traktor. Berbekal traktor itu, ia terjun ke lahan pertanian milik umat. Setiap usai misa pagi dan sarapan, ia menyetir traktor dari paroki menuju lahan warga secara bergilir, dibantu pemilik lahan. Siang hari, ia pulang makan di Paroki.
Sebagian bibit, pupuk, dan pestisida didatangkan dari Keuskupan Dapaong. Hasil panen sebagian dijual untuk membangun rumah, menyekolahkan anak-anak, dan kegiatan sosial. Sebagian disimpan untuk kebutuhan sehari-hari sampai musim tanam berikut. Namun, terkadang umat kehabisan bahan makanan sebelum waktunya.
Beberapa tahun kemudian, ia mencoba membuat pupuk organik bersama petani. Keterampilan membuat pupuk ini dipelajari saat cuti di Ende, Flores.
Enam tahun di Kante, keuskupan memindahkan Marsel ke Paroki Beterou, Benin, negara tetangga Togo. Ia tak hanya menjalankan misi Katolik dan bertani. Ia juga terlibat mengajar dan memberi motivasi generasi muda di sekolah dasar dan menengah. ”Ajak mereka belajar sungguh-sungguh agar bisa menjadi orang sukses di masa depan. Mereka harus mandiri secara ekonomi,” ucap Marsel.
Sebagian besar generasi muda Togo pergi ke Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara itu oleh rakyat Afrika disebut ”mama besar”, la grande mere. Akhirnya, hanya warga di atas usia 50 tahun yang bertahan di kampung.
Konseptor Pembangunan
Di Keuskupan Dapaong, sejak 1967 sudah hadir organisasi kemurahan hati untuk pembangunan integral (OCDI), sering disebut Caritas, di bawah naungan Wali Gereja Togo. OCDI telah diresmikan pemerintah sebagai bagian dari organisasi pembangunan di Togo.
Mereka terlibat di sejumlah sektor dan mendukung program kerja pemerintah. Anggotanya kaum rohaniwan, awam, politisi, akademisi, ekonom, ahli pertanian, agrobisnis, peternakan, dan ahli kesehatan. Marsel bergabung dalam organisasi ini. Ia menjalani beberapa tugas sekaligus, yakni sebagai rohaniwan Katolik, guru, petani, peternak, dan konseptor pembangunan tingkat kecamatan yang disebut komisi pilot. Komisi ini beranggotakan lima orang dengan latar belakang keahlian berbeda.
Di setiap paroki, Marsel tetap menjalankan kegiatan rutinnya itu, mulai dari memimpin misa, bertani, mengajar, memotivasi, hingga mengajak umat menanam pohon sebanyak mungkin.
Penduduk Takpamba sebanyak 19.800 orang, 1.000 di antaranya beragama Katolik. Selebihnya penganut animisme, Islam, dan Kristen Protestan. Kebanyakan masyarakat Togo lebih memilih agama yang menerima dan mengakui tradisi dan budaya lokal mereka.
Baca juga: Dorong Ekonomi Lokal Melalui Petani Lokal
Tahun 2017-2022 Marsel pindah sebagai pastor Paroki Takpamba Keuskupan Dapaong, Togo bagian utara. Pihak keuskupan menilai, Marsel cukup sukses bermisi sehingga dia berkarya secara bergilir di beberapa paroki dengan tugas membangun kemandirian umat di bidang pertanian.
”Pembinaan rohani itu sudah ada jadwal khusus, tetapi kadang umat meminta pelayanan di luar jadwal. Itu harus dilayani. Membangun kesadaran mereka untuk terlibat hal terkait rohani sangat sulit. Ketika mereka sadar dan datang sendiri, itu Roh Tuhan menggerakkan mereka,” ucapnya.
Di setiap paroki, Marsel tetap menjalankan kegiatan rutinnya itu, mulai dari memimpin misa, bertani, mengajar, memotivasi, hingga mengajak umat menanam pohon sebanyak mungkin.
Penduduk Takpamba sebanyak 19.800 orang, 1.000 di antaranya beragama Katolik. Selebihnya penganut animisme, Islam, dan Kristen Protestan. Kebanyakan masyarakat Togo lebih memilih agama yang menerima dan mengakui tradisi dan budaya lokal mereka.
Baca juga: Penjaga Perdamaian Kembali Tewas di Afrika
Jika kematian menimpa orang tua, ia diyakini telah berpulang ke rumah para leluhur setelah bertahun-tahun berjuang membesarkan dan mendidik anak-anak. Kematian dirayakan dengan pesta pora berhari-hari meski pihak keluarga dalam kondisi miskin.
Kemeriahan Natal pun dirayakan berhari-hari. Menjelang Natal, kaum ibu pergi ke salon, kaum pria bekerja ekstra mencari uang belanja, membeli pakaian baru, dan menghias rumah dengan ornamen Natal. Tuhan datang ke dunia, maka pesta harus diselenggarakan secara meriah.
Tugas Marsel antara lain mengurangi tradisi pesta seperti itu. Tidak mudah, tetapi harus dilakukan dengan memberi pemahaman yang benar. Ini panggilan sebagai misionaris di tengah berbagai persoalan hidup.
Poligami di Togo sudah menjadi tradisi meski pemerintah dan lembaga agama telah bekerja keras untuk melarang. Seusai pernikahan, sejumlah kaum pria meninggalkan daerah asal untuk pindah ke Eropa dan Amerika Serikat untuk mengubah nasib. Namun, mereka sering kali lupa pada anak dan istri di kampung. Yang sering terjadi, mereka justru menikah lagi di negara tujuan. Akibatnya, banyak janda di kampung yang menanggung 4-10 anak dengan susah payah.
Untuk meningkatkan kualitas generasi muda, Marsel membuka sebuah perpustakaan di paroki untuk siswa SD dan sekolah menengah. Ia dampingi anak-anak yang datang belajar membaca, menulis, dan berhitung di perpustakaan sederhana itu. Mereka yang sudah mahir membaca dilibatkan membaca kitab suci di gereja saat misa Minggu.
Ia ingin membangun taman bacaan di tengah masyarakat. Minimal satu perpustakaan untuk tiga atau empat kampung. Namun, ia memiliki keterbatasan anggaran dan buku bacaan.
Upaya membawa orang Togo keluar dari kemiskinan, ketidaktahuan, tekanan adat, dan keterpurukan ekonomi merupakan elan vital, daya hidup bermisi di Afrika. Ini tantangan yang tidak mudah bagi Marsel. Beberapa kali Kongregasi SVD meminta dirinya pulang ke Indonesia, tetapi ia menolak.
Karya misi di Togo sangat menantang. ”Belum banyak umat berhasil. Namun, saat sebagian dari mereka sukses secara rohani dan jasmani, saya yakin itu kuasa Tuhan. Selamat Natal, Saudaraku,” kata Marsel dari tanah misi.
Pastor Marselinus Wangu SVD:
Lahir: Ende, 9 September 1965
Pendidikan terakhir: STFK Ledalero, Maumere, Flores
Jabatan: Pastor Paroki Takpamba, Togo, Afrika