RK Maladi Menyuarakan Derita Hutan
RK Maladi (45) selalu percaya lagu bisa banyak bawa perubahan. Lewat lagu ia mengajak orang lain membuka mata soal hutan dan alam di Kalimantan Tengah.

RK Maladi
RK Maladi (45) tahu betul hutan sedang tidak baik-baik saja. Ia mencoba merekam segala keresahan pepohonan, sungai, tanah, atau alam di sekitar tempat tinggalnya di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ia menawarkan diri jadi penyambung lidah mereka ke manusia dengan sukarela.
Maladi atau lebih sering dipanggil Bapak Agung, tak pernah bosan dengan aktivitasnya di kampung. Keluar rumah ia mengambil ladung atau keranjang besar yang terbuat dari rotan. Dipanggulnya ladung bagai tas sekolah. Siang itu, Sabtu (10/12/2022) meski matahari sedang terik-teriknya, Maladi keluar menuju hutan di belakang rumahnya.
Hutan memang tak pernah jauh dari hidup Maladi. Di rumahnya di Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalteng, hutan bisa diakses hanya dengan berjalan ke belakang kampung. Pohon durian dengan tinggi lebih kurang 20 meter sudah menyapa di belakang rumahnya.
Belum lagi ribuan pohon jengkol (Archidendron pauciflorum), durian (Durio zibethinus), dan pohon lain yang berdiri hingga ke Sungai Delang, sungai terdekat dari kampung itu. Rimbunnya pepohonan membuat matahari terik jadi bersahabat. Sejuk.
Maladi mulai memanen jengkolnya. “Jengkol atau joring kata orang sini, sebagian besar bukan ditanam manusia, tapi dibawa burung-burung, umurnya lebih tua dari saya,” kata Maladi.
Di hutan di Kubung, semua pohon yang berbuah bisa dinikmati bersama. Jengkol misalnya, meski ada di wilayah Kelola milik keluarga Maladi, bisa dipanen keluarga lain tentu dengan seijin mereka. Apalagi di hutan itu, terdapat ribuan pohon jengkol dan ribuan pohon durian. “In ikan leluhur yang kasih, bukan kita tanam sendiri jadi kalua kuat ya panen saja sebanyaknya,” begitu kata Maladi.
Dari sekitar dua jam memanen, tak kurang dari 45 kilogram jengkol terkumpul di karung. Jengkol lalu dibawa ke rumah untuk kemudian dikupas kulitnya yang keras dengan dipukul menggunakan kayu. Butuh 4-5 jam untuk mengupas jengkol sebanyak itu. Selain ia nikmati sendiri, hasil panen itu juga bisa dijual. Tak jarang mobil-mobil pikap datang lansung ke kampung itu membeli hasil panen.
Maladi tak membawa ladung yang kosong. Ia menyempatkan membawa beberapa benih tanaman mulai dari gaharu (Aquilaria malaccensis) dan bibit paken (durio kutenjensis). Bibit itu ia tanam di hutan, tak banyak alasannya ia hanya ingin hutan lebih rimbun lagi. Lebih banyak lagi yang bisa ia panen. Sebagai petani, itu memang pekerjaannya.
Bermusik
Maladi bukan hanya dikenal sebagai petani, di Sekolah Dasar Negeri Kubung ia juga membantu mengajari anak-anak bermusik. Di gereja, ia jadi andalan untuk meriahkan lagu-lagu pujian dengan organnya. Meski hanya tamatan SMA, Maladi dan saudara-saudaranya jadi andalan di kampung mereka terutama soal seni.

RK Maladi berpose di Jurunk, tempat penyimpanan padi khas Dayak Tomun.
Kesenian Dayak memang mengalir deras di darah Maladi. Ia kemudian mencoba menciptakan beberapa lagu dalam Bahasa Dayak Tomun. Setidaknya ia mengingat ada delapan lagu yang pernah ia buat.
Delapan lagu itu semuanya bercerita tentang alam tentang kegemarannya masuk hutan, hingga keprihatinan Maladi melihat banyak hutan dirusak. “Delapan itu yang saya ingat, yang lain banyak yang saya buat untuk pentas tertentu terus lupa, banyak juga yang spontan saja,” kata Maladi.
Kompas beberapa kali berjumpa dengan Maladi di luar kampungnya saat ia mementaskan lagu-lagu ciptaannya. Salah satunya saat festival pangan di Kabupaten Gunung Mas, sekitar 750 kilometer dari kampung Maladi. Tak hanya bernyanyi, Maladi juga berbagi pengalamannya berladang dengan petani di tempat itu.
Salah satu lagu yang ia bawa saat itu judulnya Hingkas Nyadu yang berarti indahnya alam. Salah satu liriknya begini:
Aman bojolu bulih lowu, Mencari bulih, rejeki boyi. Bulih lowu kito bompampaian, Ninam posanpotal tuho, Ikan bopampai, lowu boduman, Komitmen bosiluan, Bosar boinggap an.
Artinya begini: Aman berjalan ke hutan, mencari makan, mencari rezeki. Bermalam di hutan sambil berburu, ada ikan di sungai menyahut-nyahut. Sayang banyak pohon ditebang, sungai dirusak, ikan pun hilang mencari rumah.
“Banyak tempat di Kalteng ini orang sudah malas bermalam di hutan, karena memang hutannya sudah tidak ada bukan karena tidak mau,” kata Maladi.
Musik Maladi popular. Ia membuat lagu dengan organ dengan gitar ditambah warna musik Dayak yang khas dengan kecapi tiga senar, gendang, kelinang (seperti gamelan), ketawak (gong), kangkanung alat musik pukul dari kayu dan banyak alat musik tradisionalnya.
Rekaman
Kegemarannya bermusik itu membuat Maladi beberapa kali tampil di luar kampung hanya untuk berdendang. Hal itu juga yang membuat Maladi bertemu dengan Rival Himran atau yang dikenal dengan Palo, pemain bass Coconut Trees (sebelumnya dikenal dengan nama Steven and Coconut Trees) dan Estu Pradhana, musisi asal Jakarta.
Estu dan Palo membantu Maladi merekam lagu-lagu yang ia buat. Tak hanya merekam, Palo dan Estu juga membuat lagu yang terinspirasi dari hutan. Saat itu akhir 2019, Palo dan Estu datang ke kampung Maladi. Mereka diajak Maladi bermalam di hutan, membawa peralatan kemping dan tentunya gitar.
Palo bermain gitar semalaman, sembari meminum beberap gelas air penghangat tubuh, Maladi tak mau kalah dengan beberapa alat musik tradisional Dayak Tomun, ada yang terbuat dari bambu, ada juga yang terbuat dari kayu dengan bunyi melenting. Gendang juga dibawanya.
Malam itu mereka berhasil menciptakan satu lagu. Hanya dalam beberapa jam lagu Hutan Indoi Kito atau Hutan Ibu Kita dibuat. Mereka merasa diberkahi selama membuat lagu itu karena dalam setiap lirik bunyi gedebugg…mengiringi tanda durian jatuh tak jauh dari tempat mereka duduk melingkar.
Mereka merekam lagu di bawah pohon jelutung (Dyera costulata) yang tinggi menjulang sekitar 45-50 meter. Maladi mencari generator set karena memang tak ada listrik di hutan, agar peralatan rekam bekerja dengan baik.
Palo jadi penyanyi di lagu itu, anak dan istri Maladi juga ikut bernyanyi, adik-adiknnya hingga keponakan mereka. Di lagu itu Maladi ikut bernyanyi, ia bahkan merapalkan doa dan harapan dalam lirik lagu yang ia buat spontan. Doa yang ia rapalkan itu terdengar seperti rap, namun dengan Bahasa Dayak Tomun.
Lagu itu sukses membuat bulu kuduk berdiri. Semangat membakar, suara asli hutan Kalimantan ikut terekam. Serangga-serangga membantu mereka bernyanyi. Riuh angin menerpa daun ikut menemani lagu itu.
Beberapa hari kemudian, sudah ada lima lagu yang direkam, termasuk lagu ciptaan Maladi. Palo dan Estu bahkan membuat klip video dengan lagu Hutan Indoi Kito yang sudah bisa dinikmati di kanal Youtube mereka. Setidaknya 7.700 orang melihat video itu.
Hal itu menginspirasi Maladi untuk membuat kanal sendiri dengan nama akun Reggae Kubung. Dari akun itu, aktivitas Maladi bisa dilihat. Kegemarannya masuk ke hutan sambil menjelaskan kepada penonton adat istiadat Dayak Tomun.
Maladi bersyukur betul hutan di kampungnya masih tersisa. Ia bahkan menganggap hutan di desanya itu sebagai rimba terakhir karena banyak hutan di desa-desa tetangga yang dikikis massif oleh perusahaan perkebunan dan perusahaan kayu.
“Kami orang Dayak Tomun itu menganggap hutan sebagai ibu. Masa gak mau jaga ibu?” ungkap Maladi.
Maladi kukuh dengan gayanya bermusik dan lirik-liriknya. Menurutnya, lagu yang ia buat bukan darinya melainkan dari hutan. Maladi hanya perantara untuk sampaikan keresahan hutan yang terus dikikis.
Biodata:
Nama: RK Maladi
Tempat dan tanggal Lahir: 17 pebruari 1977
Pendidikan : SMA
Nama Istri: Terianasari
Anak: Agung Pondart dan Jhonatan Phondart