Suryono, petani kopi Kayu Aro, Jambi, membangun ekosistem komunitas kopi di sana dan memasukkan ke dalam block chain untuk pedagangan adil.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Di kaki Gunung Kerinci pada ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut, petani kopi di Kayu Aro, Jambi, boleh membanggakan diri. Kopi arabika mereka sudah mendapat pengakuan indikasi geografis, berarti memiliki ciri khas daerah itu. Kopi hasil kebun Perkumpulan Petani Alam Korintji atau Alko pun mendapat pembeli di Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat.
Adalah lima orang muda dari Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, sebagai pemula perubahan perilaku petani kopi di sana. Mereka terusik melihat petani mengambil kayu dari hutan Taman Nasional Kerinci Seblat yang tidak jauh dari kampung mereka. Suryono mengajak empat temannya: Erna, Nopal, Kelik, dan Hendra yang dosen di Universitas Negeri Padang, pada tahun 2014 memikirkan cara mengajak petani berhenti mengambil kayu dari taman nasional.
Suryono mulai dengan menanyai para petani mengapa mereka menebangi kayu dari hutan lindung. Bisa diduga motivasi mereka adalah ekonomi. Tanaman kopi mereka produksinya rendah, hanya satu ton per hektar per tahun. Pun harga diatur pedagang perantara dari Medan tanpa tahu harga di tingkat akhir.
Bagi Suryono satu-satunya cara agar masyarakat tidak merambah hutan adalah menaikkan pendapatan. Dia mencatat aspirasi warga dan pendapat teman-temannya. “Ërna ingin mengembangkan turisme karena pernah bekerja di bidang itu. Karena dia satu-satunya yang waktu bisa berbahasa Inggris, saya minta mencari pasar di luar negeri. Nopal ingin bekerja di produksi kopi, Kelik mengolah kopi, dan Hendra mengerjakan analisis ekonomi,” jelas Suryono yang bertugas membangun kelembagaan dengan mengembangkan kelompok-kelompok tani dan pemasaran.
Catatan tertulis itu menghasilkan proposal hampir 200 halaman dan dia kirimkan ke sebuah lembaga donor Amerika Serikat untuk kegiatan bersifat hijau. “Kami mendapat dana, tetapi tidak bisa cair karena belum memilki organisasi untuk menjalankan,”tutur Suryono.
Akhirnya organisasi WWF Indonesia menjadi pendamping kegiatan Suryono dan kawan-kawan mengajak warga Kayu Aro yang keturunan transmigrant dari Jawa bertanam dan memelihara bibit kopi berkualitas.
Ekosistem “blockchain”
Pengalaman sehari-hari dengan para petani kopi, termasuk komunikasi dengan ayahnya, pedagang perantara kopi, mewarnai keputusan Suryono. Penyelesaian persoalan kesejahteraan warga dan lingkungan dengan bermartabat adalah melalui koperasi.
Koperasi Arabika Tani memiliki lima unit usaha. PT Alko Sumatera Internasional bergerak dalam pengolahan dan penjualan kopi kualitas ekspor, UD Bank Sampah mengelola sampah, Alko Akademi menjadi bentuk tanggung jawab sosial koperasi memajukan pengetahuan petani kopi dan pemuda Kayu Aro menjadi pengusaha biji dan minuman kopi, CV Famili Kayu Aro bergerak dalam turisme dengan mengadakan penginapan dan tempat wisata lokal di Kayu Aro. Sedangkan unit pembina UMKM menginisiasi berdirinya kafe dan produk kopi yang sekarang tersebar di 12 provinsi. Suryono sendiri kini menjadi CEO PT Alko Sumatera Internasional.
Melalui koperasi itu Suryono sebetulnya membangun ekosistem kopi Kayu Aro, mulai dari petani, pedagang perantara, koperasi, hingga pembeli akhir, yaitu pengolah (roaster) kopi. Dia tidak menghilangkan mata rantai yang ada, hanya menata agar setiap titik mata rantai tahu berapa dan kenapa harga terbentuk, serta berapa bagian masing-masing. Bahkan lembaga swadaya masyarakat yang membuat sertifikat hijau pun masuk di dalam ekosistem itu beserta biaya yang mereka tarik.
Suryono meyakini cara ini menghadirkan perdagangan adil (fair trade). Tahun 2017 dia membuat aplikasi melalui telepon seluler untuk menginformasikan harga kopi, tetapi hasilnya tidak memenuhi harapan. Tahun lalu dia bertemu perusahaan rintisan teknologi asal Jepang yang terkesan dengan ekosistem komunitas kopi yang diciptakan Suryono. Perusahaan itu lalu membuatkan sistem block chain dengan syarat sistem itu menjadi etalase pamer perusahaan tersebut.
“Dengan block chain yang selesai dibuat Maret 2022 ini petani tahu berapa harga yang diterima tiap titik,” jelas Suryono di Jakarta. Dia ke Jakarta, Jumat (2/12/2022), untuk memastikan bantuan pendanaan dari BUMN bidang perdagangan karena ingin memperbesar ekspor ke Jepang. “Model ekosistem ini sedang kami mintakan paten ke Kementrian Hukum dan HAM,” tambah Suryono. Model ekosistem dan block chain ini pun sudah ditawar peminat dari Eropa, tetapi Suryono tak ingin melepas.
Bertumbuh
Kegiatan rintisan Suryono dan teman-temannya mulai menunjukkan hasil. Komunitas petani yang mulai terbentuk tahun 2016 dengan 400 keluarga kini beranggotakan 800 keluarga. Produksi per hektar rata-rata dua ton per tahun. Memang masih ada petani yang merambah hutan, tetapi bukan anggota Koperasi Arabika Tani. Total petani kopi di Kayu Aro sebelum pemekaran menjadi tiga kecamatan, yaitu Kayu Aro, Kayu Aro Barat, dan Gunung Tujuh ada 2.500 keluarga.
Unit usaha di bawah koperasi terus bertumbuh. Unit pariwisata mengembangkan tempat penginapan wisatawan menggunakan rumah penduduk dan membangun tempat penginapan khusus.
Alko Akademi terus melatih anak-anak petani yang ingin mendalami budidaya, mengolah, bahkan menjadi barista. Menjawab kebutuhan petani kopi akan pendidikan anak-anak mereka, akademi memberi beasiswa bagi anak petani bersekolah di berbagai perguruan negeri dan swasta di Jawa.
Akademi juga menyelenggarkan pelatihan mengenal kopi Kayu Ara bagi mitra pembeli di luar negeri. Tiap pelatihan menampung 10 orang dengan biaya 15.000 dollar AS per angkatan.
Unit pengembangan UMKM mendorong lahirnya kegiatan produksi biji kopi dan tempat minum kopi, sebagian dengan bantuan pendanaan koperasi.
Kopi Alko sengaja mengutamakan pasar luar negeri dan industri pengolahan besar untuk menjamin kesinambungan pesanan dan harga yang baik. Bagi Suryono yang berpendidikan formal “S2”, yaitu SD dan SMP, lalu melanjutkan program Kejar Paket C dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah di kotanya, cita-citanya adalah menghasilkan petani milenial. “Saya meyakini membangun Indonesia adalah membangun pertanian. Artinya harus ada petani muda, petani milenial. Untuk perlu ada kegiatan usaha yang menarik dan menguntungkan dari hulu sampai hilir,” tandasnya.
Suryono
Lahir: Kayu Aro, Jambi; 16 Maret 1983
Istri: Eva Marlina
Anak: Tiara, Ibrahim, Yusuf
Pendidikan: Kejar Paket C (setara SMA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah