Pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, tersebut saat ini masih punya mimpi agar buku-bukunya dibaca secara lebih masif oleh para pengambil kebijakan. Untuk itu, ia bercita-cita mendirikan Jimly Book Corner.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
Produktif menulis. Itulah salah satu hal yang menonjol dalam diri mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Ia sudah menghasilkan 75 judul buku, dua yang terbaru diluncurkan pada Senin (5/12/2022). Dua buku tersebut berjudul Teokrasi, Sekularisme dan Khilafahisme, dan Oligarki dan Totalitarianisme Baru.
Sebelumnya, salah satu bukunya yang juga disertasinya, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, menjadi buku rujukan dan pegangan para mahasiswa fakultas hukum se-Indonesia. Buku itu mengantarnya menerima Anugerah Muhammad Yamin 2022 yang diserahkan pada Sabtu pekan lalu.
Pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, tersebut saat ini masih punya mimpi agar buku-bukunya dibaca secara lebih masif oleh para pengambil kebijakan. Untuk itu, ia bercita-cita mendirikan Jimly Book Corner di setiap perpustakaan di pemerintah daerah, DPRD, serta di lembaga-lembaga penting dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, Jimly Book Corner juga akan dihadirkan di universitas-universitas di Nusantara.
”Tapi, saya hanya berani menyebut 1.000 (Jimly Book Corner). Kalau mau ideal, bisa 5.000. Semua perguruan tinggi yang jumlahnya 4.000, bukan hanya fakultas hukum. Dan, semua DPRD dan pemda yang katakanlah jumlahnya 1.000,” ungkap Jimly yang juga meluncurkan 10 Jimly Book Corner pertama pada Senin kemarin.
Ia cuma ingin bukunya dibaca. Ia tak berharap keuntungan finansial dari seluruh buku yang ditulisnya. ”Saya tidak mendapat apa-apa dari buku itu. Sudah saya buktikan, penghasilannya (dari buku) enggak bisa untuk hidup. Buku saya yang paling laris, yang paling banyak laku, tahu enggak? Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ada di semua fakultas hukum. Tapi, tahu enggak, saya dapat berapa. Tidak sampai Rp 1 juta setahun. Jadi, Rp 100.000 per bulan, kan, enggak bisa untuk hidup. Itu buku yang paling banyak dipakai di seluruh Indonesia,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini.
Rupanya, buku tersebut banyak difotokopi oleh para mahasiswa. Ia pun ikhlas dan tidak melakukan protes (baca: gugatan hukum). Hal yang lebih penting baginya, bukunya dibaca. Gagasan-gagasannya diketahui orang. (ANA)