Muhammad Mansur Dokeng dijuluki sebagai dewa. Nelayan itu berulang kali lolos dari musibah tenggelamnya kapal. Ia juga jadi penyelamat bagi ratusan jiwa warga pesisir sebelum datangnya badai Seroja.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Tak terhitung berapa banyak ia mengarungi Samudra Hindia, hanyut, ditangkap otoritas Australia, dipenjara, belajar, lalu dideportasi. Berulang kali pula ia tenggelam, bahkan pernah keluarga menggelar tahlilan kematiannya. Nelayan itu selalu kembali dengan selamat sehingga warga memanggilnya Dewa.
Padahal, nama aslinya adalah Muhammad Mansur Dokeng (40), ketua kelompok nelayan di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Saat bertandang ke rumahnya pada pertengahan November 2022, ia tengah mengumpulkan beberapa nelayan di pos komando nelayan yang berdiri di pinggir pantai.
Di depan monitor yang terhubung dengan jaringan internet, Dewa membuka layanan informasi Indonesian Weather Information for Shipping (INA-WIS) yang disediakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Ia menjelaskan tulisan dan simbol yang muncul pada layar itu.
INA-WIS menginformasikan tentang kecepatan angin, prakiraan tinggi gelombang perairan, dan koordinat di mana ikan berada. Informasi itu wajib diketahui nelayan sebelum melaut. Khusus informasi lokasi ikan, para nelayan langsung mencatat koordinatnya untuk mempermudah mereka mencapai ke sana.
Perubahan iklim yang membuat cuaca perairan kadang berubah cepat serta berkurangnya stok ikan di dekat pesisir, INA-WIS bisa jadi panduan. Dewa mendapatkan pengetahuan itu setelah ikut sekolah lapang cuaca nelayan yang diselenggarakan BMKG pada 2019. Ia lalu membaginya kepada 60 anggota nelayan.
Dengan bantuan INA-WIS, hasil tangkapan lebih banyak. Kelompok nelayan pimpinan Dewa menyuplai ikan ke Pasar Oesapa yang berjarak sekitar 200 meter dari perkampungan itu. ”Namun, yang paling penting, sejak menggunakan INA-WIS, kecelakaan laut menjadi nol. Khusus untuk nelayan di sini,” ucapnya.
Tokoh inspiratif
Tak untuk untuk kepentingan nelayan, pengetahuan dan kepekaan akan cuaca juga ia gunakan untuk membantu masyarakat. Dewa memimpin evakuasi ratusan jiwa yang tinggal di pesisir itu sebelum datang badai Seroja pada April 2021 lalu. Rumah-rumah di pesisir yang berpotensi diterjang gelombang pasang dikosongkan.
Perahu motor dan kapal yang tertambat di pesisir diamankan di balik hutan mangrove. Meski begitu, banyak yang tidak selamat lantaran terlambat. Ada pula yang kesulitan menarik perahu ke darat karena terhalang tembok penahan ombak. Tembok yang dibangun pemerintah itu tanpa jalur evakuasi.
Badai Seroja merupakan bencana hidrometeorologi terburuk yang pernah terekam dalam catatan kebencanaan di NTT. Sebanyak 181 orang meninggal, 47 orang hilang, dan 49.512 jiwa lainnya terdampak. Selain itu, sebanyak 250 orang luka-luka. Rumah rusak berat 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 35.733 unit.
Semua wilayah NTT yang terdiri atas 22 kabupaten/kota tidak luput dari amukan badai Seroja. Kerusakan yang terjadi kebanyakan di daerah pesisir lantaran angin kencang dan gelombang pasang. Banjir dan longsor di beberapa wilayah perbukitan juga menelan korban tidak sedikit. Badai Seroja itu bergerak dari Samudra Hindia di selatan NTT.
Bagi masyarakat setempat, Dewa dianggap sebagai dewa penyelamat. Kala itu, Kepala BMKG Dwikorita memberinya penghargaan dalam ajang Anugerah BMKG pada 2021. Dewa masuk dalam kategori tokoh inspiratif. BMKG menyebutkan, aksi Dewa telah menyelamatkan 120 keluarga dari gelombang pasang badai Seroja.
Jaga pesisir
Sejak kecil Dewa diajarkan oleh orangtuanya untuk menjaga pesisir. Ia ikut menanam mangrove yang kini tumbuh tidak jauh dari rumahnya. Sayangnya, banyak mangrove yang ditanam mati lantaran ditebang dan tertimbun sedimentasi. Saat ini ia dan kelompok nelayan kembali menanam pohon kelapa di pesisir tersebut.
Mereka berkomitmen menjaga pesisir itu yang semakin terdesak abrasi dan gelombang pasang. Kini, tinggi air laut di pinggir talud pada saat pasang maksimum sudah mencapai 2,8 meter. ”Tidak ada kata terlambat untuk memulai melakukan upaya mitigasi ini. Kita lakukan saat ini demi anak cucu kita nanti,” ujar Dewa.
Selain itu, mereka juga menjaga kebersihan pesisir. Jarang dijumpai sampah plastik bertebaran di sana. Di dalam kelompok nelayan itu, mereka bersepakat membawa pulang sampah ke darat. Suatu pembelajaran bagi generasi muda di kampung itu untuk menjaga laut sebagai sumber penghidupan. Juga bentuk pertobatan atas kesalahan mereka di masa lampau.
Banyak nelayan di pesisir itu dulunya sering merusak ekosistem laut. Mereka bahkan terlibat dalam penangkapan ikan secara ilegal dengan memasuki wilayah perairan Australia. Tanpa sadar, perahu mereka hanyut melewati batas negara. Dewa yang menjadi nakhoda kapal nelayan itu ditangkap dan dipenjara oleh otoritas Australia.
Namun, ia malah bersyukur sebab selama menjalani masa hukuman di Australia, ia mendapat kesempatan belajar tentang berbagai ilmu kejujuran, seperti ilmu laut. Ia bisa membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Inggris. Sementara di Indonesia, ia tidak sampai tamat sekolah menengah pertama. Lebih dari separuh perjalanan hidupnya dihabiskan di laut.
Dewa punya pengalaman melaut selama puluhan tahun. Ia mulai naik kapal saat kelas IV sekolah dasar. Saat melaut, ia sering kali tenggelam. Bahkan, suatu ketika ia dan beberapa teman tenggelam. Ia meminta mereka menyelamatkan diri, sementara ia memilih bertahan di kapal.
Beberapa hari tak ada kabar, keluarga menganggap dia sudah meninggal. Keluarga kemudian menggelar tahlilan untuk mendoakan keselamatan arwahnya. Tak disangka, ia muncul dalam keadaan selamat. Masyarakat setempat lalu menjulukinya sebagai dewa.
Dewa bermimpi mempunyai tempat pelatihan bagi nelayan. Ia menuturkan, banyak potensi laut di NTT belum dimanfaatkan masyarakat pesisir. Salah satunya di pesisir timur Pulau Timor, tepatnya di Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. ”Di sana banyak ikan, tetapi tidak ada nelayan. Masyarakat setempat perlu dilatih,” kata Dewa.
Dina Soro, Koordinator Program ”Suara untuk Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan” untuk wilayah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, mengatakan, Dewa merupakan nelayan pesisir yang peduli terhadap perubahan iklim yang kini terasa dampaknya. Dewa kerap bersinergi dengan lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah. Dewa pun dianggap sebagai agen dalam aksi perubahan iklim.