Ferry F Hoesain mendedikasikan hidupnya pada kegiatan konservasi anggrek alam dari hutan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Ia ingin anggrek Meratus tetap lestari di tengah ancaman deforestasi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Kecintaan Ferry F Hoesain (60) pada tanaman anggrek sejak anak-anak tak pernah pudar. Cinta itulah yang mendorongnya untuk mendedikasikan hidup pada kegiatan konservasi anggrek alam dari hutan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan sampai sekarang. Ia ingin anggrek Meratus tetap lestari di tengah ancaman deforestasi.
Berbagai macam spesies anggrek alam dari hutan Pegunungan Meratus kini dapat dijumpai di pekarangan rumah Ferry di Banjarmasin. Tanaman anggrek tumbuh dengan baik dan berbunga cantik di pepohonan ataupun di bawah tegakan pohon. Pekarangan penuh dengan anggrek itu dinamainya Taman Puri Anggrek.
”Sudah lama saya suka anggrek. Bahkan, sejak tahun 1970-an. Waktu itu, masih anak-anak, sekitar usia 10 tahun,” ujarnya saat ditemui di Banjarmasin pada Sabtu (19/11/2022).
Di masa kecilnya, Ferry menemukan banyak tanaman anggrek, yang kemudian diketahuinya adalah jenis anggrek merpati (Dendrobium crumenatum), di sekitar rumahnya di Banjarmasin. Karena suka dengan tanaman tersebut, ia pun kerap mengambil anggrek merpati untuk ditanam kembali di pekarangan rumah/
Setelah memiliki beberapa koleksi tanaman anggrek merpati, Ferry kecil kemudian mendapat tambahan koleksi anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis). Koleksi pertama anggrek bulan itu merupakan pemberiaan omnya, yang diperoleh dari hutan Pegunungan Meratus. ”Om tahu kalau saya suka anggrek, makanya beliau sampai membawakan anggrek hutan buat saya,” kenangnya.
Seiring perjalanan waktu dan beranjak dewasa, Ferry semakin hobi keluar masuk hutan dan mendaki gunung. Ia pun kerap menjelajah hutan Pegunungan Meratus, yang membelah dua wilayah Kalimantan Selatan. Pegunungan ini membentang dari arah Timur Laut-Barat Daya dan membelok ke arah Utara hingga perbatasan provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
”Semakin lama, saya melihat hutan Pegunungan Meratus semakin terbuka. Sedih melihatnya. Padahal, hutan ini memiliki kekayaan plasma nutfah yang luar biasa, khususnya anggrek. Kalau tidak diselamatkan, mungkin suatu saat akan punah,” ujar bapak dua anak ini.
Ferry memperkirakan ada ribuan jenis anggrek alam di hutan Pegunungan Meratus. Jumlahnya diperkirakan sekitar 3.000 jenis. Hutan ini menyimpan keragaman anggrek alam dan sangat kaya dengan anggrek jenis Bulbophyllum, Grammatophyllum speciosum (anggrek raksasa atau anggrek tebu), Paphiopedilum supardii dan Vanda dearie yang eksotis, serta anggrek bulan Pelaihari.
Beberapa jenis anggrek di antaranya bahkan tergolong endemik, langka, dan sangat eksotis sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. ”Kami meyakini bahwa spesies anggrek alam ini masih banyak yang belum ditemukan atau teridentifikasi. Tidak menutup kemungkinan ada yang sudah punah sebelum teridentifikasi,” katanya.
Hutan terdegradasi
Menyadari kondisi anggrek alam yang kian terancam, Ferry merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan kekayaan alam yang luar biasa itu. Apalagi, hutan Pegunungan Meratus semakin lama semakin terdegradasi karena berbagai kegiatan manusia. ”Kami meyakini bahwa kerusakan hutan berbanding lurus dengan kepunahan anggrek alam,” ujarnya.
Karena itu, Ferry berusaha melakukan sosialisasi dan edukasi tentang konservasi anggrek alam yang ada di Kalsel. Semua anggrek alam Kalsel itu disebut anggrek Meratus. Ia membangun gerakan konservasi anggrek Meratus dengan melibatkan berbagai pihak dan komunitas. Ia kemudian menginisiasi pembentukan Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Kalsel, Indonesian Native Orchids Society (INOS) Kalsel, dan Yayasan Anggrek Meratus Indonesia (YAMI).
”Gerakan konservasi anggrek Meratus dimulai secara masif pada 2006 dengan penanaman anggrek Meratus di lingkungan kampus Universitas Lambung Mangkurat (ULM), ruang terbuka hijau, dan taman-taman kota di Banjarmasin,” katanya.
Pada 2010, Kalsel akhirnya mencanangkan gerakan cinta anggrek Indonesia di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, Kabupaten Banjar. Pencanangan gerakan cinta anggrek pada waktu itu dihadiri Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Darori.
Setelah itu, perhatian dan kepedulian masyarakat Kalsel terhadap anggrek Meratus semakin besar. Banyak warga yang membangun taman anggrek di rumah masing-masing. Setiap tahun PAI Kalsel juga rutin menggelar Meratus Orchid Show (MOS), yang merupakan ajang pameran dan lomba tanaman anggrek.
Ferry menganggap upaya penyelamatan anggrek Meratus dengan penanaman kembali di kota cukup berhasil. Dengan menanam anggrek di pekarangan rumah masing-masing, para pecinta anggrek setidaknya telah menciptakan ruang hijau untuk memitigasi pemanasan global. ”Menyelamatkan anggrek pada akhirnya sama dengan menyelamatkan lingkungan,” ujarnya.
Kawasan khusus
Namun, upaya konservasi anggrek Meratus di luar habitat aslinya masih dianggap kurang optimal. Karena itu, Ferry melalui Yayasan Anggrek Meratus Indonesia tetap mengupayakan adanya sebuah kawasan hutan, yang memang khusus untuk konservasi anggrek Meratus. Keinginan itu akhirnya terwujud pada 2020.
Yayasan Anggrek Meratus Indonesia pada 2020 mulai membangun Taman Anggrek Meratus di atas lahan seluas 2 hektar di Lembah Bukit Manjai, Mandiangin, Kabupaten Banjar. Kawasan tersebut berada di sekitar Tahura Sultan Adam dan masuk dalam gugusan Pegunungan Meratus.
Ferry bersama komunitasnya secara bertahap memindahkan tanaman anggrek Meratus yang ada di pekarangan rumahnya di Banjarmasin ke Lembah Bukit Manjai, sekitar 50 kilometer dari Banjarmasin. Penanaman anggrek Meratus di Lembah Bukit Manjai menjadi upaya konservasi anggrek alam di habitat aslinya.
”Kami nekat menanam di sana meskipun kemampuan kami terbatas. Kami berusaha melestarikan anggrek dengan cara mengembalikannya ke alam, namun dalam kawasan yang dijaga,” tutur kakek dari seorang cucu ini.
Ferry berharap kawasan Lembah Bukit Manjai bisa menjadi role model (percontohan) pelestarian anggrek alam yang dilakukan oleh masyarakat. Ia pun berharap dukungan dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk membangun Taman Anggrek Meratus di Lembah Bukit Manjai. Sebab, kawasan tersebut juga menjadi tempat edukasi dan riset.
”Konsep kami untuk anggrek Meratus bukan hanya sebatas hobi, melainkan harus ada upaya konservasi. Maka, kami mengajak banyak orang untuk menjaga dan melestarikan anggrek alam dengan menggiatkan budidaya,” katanya.
Untuk menggiatkan budidaya anggrek Meratus, teknik budidaya masih perlu ditingkatkan. Budidaya atau perbanyakan anggrek Meratus saat ini masih dilakukan secara generatif, yaitu dengan cara keiki atau memisahkan anakan anggrek. ”Ke depan, perbanyakan anggrek Meratus juga harus bisa dilakukan dengan kultur jaringan,” katanya.
Ferry pun mengakui upayanya dalam konservasi anggrek Meratus selama ini tidaklah mudah karena banyak ujian dan tantangan. Namun, ia tidak putus asa. ”Kami bekerja didasari cinta, dedikasi, dan legasi. Itulah yang membuat kami bertahan. Air mata boleh habis, tetapi keringat tetap harus mengucur. Untuk apa? Untuk negeri ini, planet bumi, dan generasi yang akan datang,” katanya.
Ferry F Hoesain
Lahir : Banjarmasin, 16 Juli 1962
Pendidikan : Sekolah Tinggi Bahasa Asing
Organisasi :
Pendiri dan Pembina Yayasan Anggrek Meratus Indonesia (YAMI)
Pengagas Indonesian Native Orchids Society (INOS) Kalimantan Selatan
Penasihat Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Kalimantan Selatan
Penghargaan : Tokoh Perintis Anggrek di Kalsel dari PAI Kalsel (2021)