Mariska "Advokat" Musik Sastra
Ikhtiar jangan pernah takut untuk mengerti, bertolak dari suatu peristiwa di masa kecil Mariska sebagai kutu buku. Ayahnya yang seorang akuntan di perusahaan swasta pernah memberikan buku bacaan fiksi yang cukup berat.

Mariska Setiawan
Ia tidak ragu menyebut dirinya “advokat” musik sastra. Ia tidak ragu pula berbagi ikhtiar jangan pernah takut untuk mengerti. Dialah Mariska Setiawan (32), seorang penyanyi soprano yang kini juga tengah menapaki cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi guru.
Pilihan diksi “advokat” bagi Mariska agak unik. Ia menunjukkan keberpihakan dan pembelaannya terhadap pilihan musik sastra. Baginya, karya sastra yang baik itu menumbuhkan musik tersendiri bagi pembacanya.
Dalam meniti kariernya, Mariska sering bekerja sama dengan pianis ternama, Ananda Sukarlan. Musisi ini pula yang membesarkan nama Mariska, setelah pada 2011 Mariska meraih juara ketiga kompetisi yang diselenggarakan Ananda Sukarlan, Kompetisi Nasional Tembang Puitik Ananda Sukarlan.
Ikhtiar jangan pernah takut untuk mengerti, bertolak dari suatu peristiwa di masa kecil Mariska sebagai kutu buku. Ayahnya yang seorang akuntan di perusahaan swasta pernah memberikan buku bacaan fiksi yang cukup berat.

Mariska Setiawan
Pada saat itu Mariska berusia sekitar 12 tahun atau pada tahun 2002. Mariska lahir di Surabaya pada 6 Desember 1990 dari seorang ibu yang berprofesi sebagai arsitek. Ayahnya waktu itu menyodorkan buku novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Novel itu mengisahkan Srintil, perempuan cantik penari ronggeng dengan lika-liku cerita pahit sebagai seorang perempuan dewasa. Mariska masih terbilang belum cukup umur untuk membaca kisah Srintil, tetapi ia melahap buku itu sampai tuntas.
Setelah 15 tahun kemudian ia baru sadar bahwa saat berusia 12 tahun dirinya masih terlampau dini untuk mengerti sepak terjang Srintil sebagai penari ronggeng yang diingini banyak pria. Namun, Mariska akhirnya memetik makna hakikat Srintil sebagai perempuan tradisional yang tegar dalam membela harkat dan martabatnya.
Dari sinilah karakter Mariska terbentuk. Ia menjadi kaum feminis yang ingin mempertahankan jati diri perempuan tradisional, memperjuangkan kesetaraan, harkat, dan martabat perempuan. Ia memegang teguh ikhtiar jangan pernah takut untuk mengerti. Terutama jangan pernah takut untuk mengerti lewat buku-buku sastra, berapa pun usia kita.

Mariska Setiawan
Les menyanyi
Selain memiliki kegemaran membaca, Mariska sebagai anak bungsu dari dua bersaudara ini gemar menyanyi. Ia juga memiliki cita-cita menjadi seorang guru, meski waktu kecil tidak pernah terpikir akan menjadi guru di bidang apa.
Cita-cita itu diwujudkan setelah lulus SMA St Louis 1 Surabaya pada 2008. Mariska tak melanjutkan kuliah. Ia memilih menjadi guru menyanyi bagi anak-anak di beberapa Taman Kanak-kanak di Surabaya.
Seiring perkembangan kariernya, Mariska sempat pula mengajar kelas menyanyi di tingkat SMA di Surabaya. Kerapkali pula ia diundang beberapa universitas untuk mengajar kelompok paduan suara. Hingga awal tahun 2020, di saat memasuki pandemi Covid-19, Mariska mendirikan Sekolah Musik Sangita di Surabaya. Ia tetap setia dengan cita-citanya menjadi guru dan ia memilih menjadi guru menyanyi.
“Ketika menjadi guru menyanyi, saya ingin menularkan ikhtiar jangan pernah takut untuk mengerti bagi murid-murid saya,” ucapnya.
Ketika menjadi guru menyanyi, saya ingin menularkan ikhtiar jangan pernah takut untuk mengerti bagi murid-murid saya
Sejak SD hingga duduk di bangku SMA Mariska aktif mengikuti kegiatan kelompok paduan suara. Di saat menginjak kelas dua SMA di tahun 2007, Mariska memutuskan serius mengikuti les menyanyi.
Mariska datang kepada seorang guru menyanyi bernama Richard Awuy di Surabaya. Mariska sama sekali tak bertolak dari pengetahuan genre atau ragam menyanyi, sehingga ia tak memilih-milih ingin belajar menyanyi dengan kategori apa. Kebetulan Richard Awuy seorang penyanyi seriosa, maka Mariska pun belajar menyanyi seriosa. Ternyata warna suara Mariska pas untuk ragam nyanyian seriosa. Jadilah Mariska menjadi penyanyi sopran untuk nyanyian seriosa.
“Ketika pertama kali saya masuk les menyanyi, saya langsung disodori partitur lagu. Saya sama sekali belum bisa membaca partitur waktu itu,” ujar Mariska dalam perbincangan di apartemen yang ia tinggali di Jakarta Selatan, Selasa (8/11/2022).
Setelah lulus SMA, senyampang mengajar menyanyi, Mariska melirik-lirik pula dunia pentas. Selain mengajar, Mariska ingin terjun ke dunia pentas menyanyi.

Mariska Setiawan
Tiga tahun dari kelulusan SMA, Mariska mengikuti kompetisi menyanyi tembang puitik yang digelar Ananda Sukarlan pada 2011, yakni Kompetisi Nasional Tembang Puitik Ananda Sukarlan.
Ia menjadi juara ketiga. Inilah jalan bagi Mariska menuju panggung pentas. Selain itu, keinginannya untuk menuntut ilmu dan pengalaman menyanyi masih terus menggebu. Setelah belajar dari Richard Awuy, Mariska juga belajar dari Evelyn Merrelita dan Aning Katamsi di Jakarta.
Sejak mengikuti kompetisi pada 2011, Mariska pun kerap diajak pentas menyanyi oleh Ananda Sukarlan. Pada masa-masa awal setelah menang kompetisi, Mariska kerap menyanyikan lagu dengan lirik-lirik puisi Sapardi Djoko Damono. Sekarang terus berkembang dan Mariska tengah menyukai lirik-lirik puisi Hasan Aspahani.
Ia mengingat, tidak berselang lama dari pengukuhan dirinya sebagai juara ketiga Kompetisi Nasional Tembang Puitik pada 2011, ia diajak pentas menyanyi oleh Ananda Sukarlan di sebuah konser yang diselenggarakan Universitas Brawijaya, Malang.
Ananda akhirnya terus mengajak Mariska menyanyi. Termasuk saat memasuki pandemi Covid-19, Mariska tampil sebagai penyanyi soprano untuk Konser Tur Nasional 2020 Rapsodia Nusantara & Kejayaan Nusantara Ananda Sukarlan. Konser tur itu disajikan secara daring tiga kali meliputi pementasan Prambanan, a Twilight Tryst; Majapahit: The Birth of Nusantara; dan Manokwari: Beauty from the East.
Baca juga: Tatuk Marbudi, Si Manusia Jembatan
Mariska memanfaatkan waktu luang untuk belajar menyanyi sebagai penyanyi sopran di jalur musik klasik Barat. Dalam rentang 2014 - 2015 ia belajar menyanyi di kelas master atau masterclass Bernadeta Astari and Dodi Soetanto di Utrecht Conservatorium, Belanda.
Di Singapura, ia mengikuti masterclass Stella Zhou. Kemudian masterclass Prof Renate Faltin di the Hochschule fur Music Hanns Eisler, Berlin, Jerman, dan Prof Ildiko Raimondi di the Mozarteum University, Salzburg, kota kelahiran komposer Wolfgang Amadeus Mozart di Austria.
“Saya tidak pernah kuliah formal. Kalau ada rezeki saya pergi dan mengambil kelas menyanyi klasik Barat di luar negeri,” ujar Mariska yang memiliki kakek dan nenek berkewarganegaraan Jerman.
Saya tidak pernah kuliah formal. Kalau ada rezeki saya pergi dan mengambil kelas menyanyi klasik Barat di luar negeri.
Pengalaman mengambil kelas menyanyi di Jerman dan Austria menjadi pengalaman paling berkesan baginya. Mariska belajar menyanyi dengan bahasa asli dari wilayah yang mengembangkan musik klasik Barat. Ia meresapi kedalamannya.
“Jerman menjadi salah satu kiblat untuk belajar menyanyi dengan musik klasik Barat, selain Perancis, Inggris, dan Italia. Di Jerman saya mengambil kelas menyanyi di musim panas,” ujar Mariska.
Guru-guru menyanyi Mariska di Indonesia sebetulnya tidak kalah dari Eropa, karena mereka juga berkiblat ke sana. Akan tetapi, dengan belajar langsung di Eropa, Mariska merasakan menjadi satu dengan lingkungannya. Ia benar-benar menyelami musik klasik Barat dan beruntung bisa bergaul dengan murid-murid internasional.

Mariska Setiawan
Berkebaya
Dalam perbincangan hangat siang itu Mariska mengenakan kain kebaya dengan bawahan pendek di bawah lutut. Mariska terlihat begitu luwes mengenakan busana berbau tradisional tersebut.
Di balik itu, kisah pembelaan harkat dan martabat perempuan oleh Srintil, sang penari ronggeng Dukuh Paruk, ternyata masih mengendap di benak Mariska. Ternyata Mariska terinspirasi Srintil dan ingin tetap menjadi perempuan tradisional yang membela kesetaraan, harkat, dan martabat perempuan.
“Dari buku Ronggeng Dukuh Paruk, setelah saya besar baru merasakan menjadi perempuan itu ternyata bebannya berat sekali. Sebagai perempuan milenial dan perempuan modern, banyak yang segan untuk mengatakan diri sebagai perempuan tradisional,” kata Mariska, yang tidak ragu pula menyebut diri sebagai feminis.
Baca juga: Meliantha Melampaui Keindahan
Mariska melihat di dalam gerakan feminisme kadang kala ada keinginan untuk melarikan diri dari bentuk-bentuk perempuan tradisional. Ini tidak dimaui Mariska.
“Walaupun kita menjadi wanita modern, nilai-nilai menjadi perempuan tradisional itu banyak juga manfaatnya,” tutur Mariska, yang hampir selalu mengenakan kebaya ini.
Tidak dinyana, Mariska mendapatkan pengalaman berkebaya sangat berharga ketika turut bermain peran dalam serial musikal Payung Fantasi produksi Indonesia Kaya bekerja sama dengan Garin Nugraho dan BOOW Live.
Serial yang mengangkat kisah hidup komposer Ismail Marzuki (1914–1958) mulai disiarkan secara daring sebanyak enam babak di kanal Youtube Indonesia Kaya baru-baru ini.
“Saya bermain peran sebagai Eulis Andjung, istri Ismail Marzuki. Beruntung sekali saya mendapati pengalaman berkebaya yang menyesuaikan masa 1940 – 1950. Apalagi ada koleksi kain asli dari tahun 1930-an juga digunakan,” ujar Mariska.
Ia berujar, budaya Indonesia itu hebat sejak dulu. Lewat pementasan serial musikal Payung Fantasi ini Mariska merasakan rekam jejak Indonesia dari busana dan musik.
“Bagiku, ini baru terjadi kali ini,” pungkas Mariska.

Mariska Setiawan
Mariska Setiawan
Lahir : Surabaya, 6 Desember 1990
Pendidikan formal : SMA St Louis 1 Surabaya
Pendidikan informal :
- Les menyanyi dengan guru Richard Awuy, Evelyn Merrelita, dan Aning Katamsi (mulai 2007)
- Mengikuti Kelas Master Bernadeta Astari and Dodi Soetanto (Utrecht Conservatorium, Belanda), Stella Zhou (Singapura), Prof Renate Faltin (The Hochschule fur Musik Hanns Eisler Berlin, Jerman), dan Prof Ildiko Raimondi (The Mozarteum University, Salzburg, Austria) (dalam kurun waktu 2014-2015)
Prestasi, antara lain :
- Juara III Kompetisi Nasional Tembang Puitik Ananda Sukarlan di Surabaya (2011)
- Merilis album "Essay on Love 2" bersama Ananda Sukarlan (2016)
- Solois untuk "The World Culture Forum" (2016)
- Solois untuk karya Ananda Sukarlan "Spanish Poets: Miguel Cervantes" (2016)
- Membintangi "Opera Saidjah dan Adinda" dalam Festival Seni Multatuli (2018)
- Membintangi Opera Ananda Sukarlan “Laki-laki Sejati” (2019)
- Solois untuk G20 Orchestra di Candi Borobudur (2022)
- Membintangi Serial musikal "Payung Fantasi" produksi Indonesia Kaya (2022)