Danial Aluman, Kisah Sukses Petani Terintegrasi di Kupang
Danial Aluman adalah petani yang pandai membaca peluang. Ia berhasil mengintegrasikan pertanian, peternakan, dan perikanan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Kupang dan sekitarnya.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Danial Aluman berdiri disamping mesin perontok padi miliknya. Saat ini ia sedang membudidayakan cabe merah dan terong. Padi biasanya mulai ditanami bulan Februari dan April.
Pendidikan formal Danial Aluman (53) hanya sampai kelas dua sekolah dasar. Tetapi, pengetahuannya soal pertanian terintegrasi bisa diadu dengan orang yang pendidikannya lebih tinggi. Dia sukses mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan sekaligus. Ia juga mencetak banyak petani muda di Kupang.
Danial Aluman menjadi petani sejak 1976 saat usianya baru tujuh tahun. Ia belajar dari kedua orangtuanya. Setelah tujuh tahun bertani, ayahnya meninggal dunia. ”Usia beta waktu itu 14 tahun. Beta kemudian memilih mengembangkan pertanian hortikultura, membuat bedeng sayur di lahan seluas 1.000 meter persegi, warisan orangtua,” ujar Aluman di Fatukoa, Kupang, Senin (7/11/2022).
Ia menanam tomat, terung, pepaya, wortel, dan cabai. Bibitnya ia ambil dari tempat sampah di pasar Naikoten, Kupang. Saat itu, tahun 1983, bibit tanaman sangat sulit didapat. Pupuk juga langka. Satu-satunya toko yang menjual pupuk, seingat Aluman, adalah Toko Waris. Setiap hari petani antre di sana berjam-jam untuk belanja.
Di tengah kelangkaan bibit dan pupuk, Aluman mendapat bibit kol dan sawi dari Dinas Pertanian Kupang. Berbekal pengetahuan dari orangtua, ia usahakan sendiri menanam bibit itu dengan pupuk buatan sendiri. Pupuk itu berupa kotoran sapi yang ia masukkan ke dalam lubang, dan ia bakar. Abu hasil pembakaran ia campur dengan abu dapur.
Hasilnya cukup menggembirakan. Tanaman sayur-mayur di ladangnya tumbuh subur. Ketika panen tiba, hasilnya ia bawa ke pasar dan jadi rebutan pedagang. Saat itu, pengepul produksi sayur-mayur belum ada di Kupang.
Sejak saat itu, Aluman rutin memasok aneka sayur-mayur ke pasar. Lima bulan kemudian ia sudah bisa membeli sebuah mobil pikap bekas untuk mengangkut hasil pertanian ke pasar.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Danial Aluman (53) di Kupang, Senin (7/11/2022). Ia memperlihatkan penghargaan yang diperoleh dari PT East West Seed Indonesia tahun 2013. Kelas dua SD ini begitu bangga atas penghargaan itu, apalagi dilanjutkan dengan khursus singkat tentang cara pemanfaatan bibit, dan pupuk dari perusahaan itu.
Seiring lahan pertaniannya semakin luas, ia menggunakan bibit dan pupuk produksi PT EWSI, salah satu perusahaan pembenihan di Purwakarta, Jawa Barat. Dari perusahaan itu, ia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan pertanian. Tetapi, itu saja tidak cukup. Ia juga mulai membentuk kelompok tani beranggotakan 25 orang yang disebut Noetnana.
Noetnana berarti di tengah-tengah. Nama itu diambil karena lahan pertanian milik Aluman dan anggota kelompok tani diapit dua sungai kecil, yakni Oelsonbai dan Oelsonia. Kedua sungai ini terus mengalirkan air sepanjang musim meski debitnya hanya 10-20 liter per detik pada puncak kemarau.
Saat itu, lahan milik Aluman sudah 1 hektar. Setengahnya ia gunakan untuk sawah, sisanya ladang sayur-mayur. Ia kemudian mengembangkan peternakan karena pakan berlimpah di ladang. Awalnya hanya sepasang sapi, jantan dan betina. Dalam beberapa tahun berkembang menjadi 50 ekor.
”Seharusnya sekarang sudah lebih dari 500 ekor. Tapi, setiap sapi berusia 3-4 dan berbobot 270-500 kg, beta jual,” ujar Aluman yang sempat memenangi kontes bobot sapi yang digelar pemda tahun 2017 dan 2018. Bobot sapinya saat itu 520 kg dan 565 kg.
Selain mendapat keuntungan dari penjualan sapi yang berkisar Rp 5 juta–Rp 25 juta per ekor, ia juga mendapat kotoran sapi yang bisa dipakai sebagai pupuk untuk pertaniannya.
Menyadari potensi dua sungai yang mengapit lahan pertaniannya, ia berinisiatif memelihara ikan lele, nila, patin, dan mujair. Usaha yang dimulai pada 2015 ini pun sukses. Ia bisa menjual ikan-ikannya dengan harga Rp 25.000 per kg–Rp 30.000 per kg. Ia juga bisa memproduksi ikan untuk konsumsi dan bibit yang bisa digunakan oleh warga Kupang yang ingin membudidayakan ikan air tawar.
Terus baca peluang
Ia terus membaca peluang. Saat itu ia melihat warung-warung se’i bermunculan di hampir semua RT di Kota Kupang, bahkan di 21 kabupaten di NTT. Berarti kebutuhan daging babi selalu ada.
Banyak orang juga memerlukan babi untuk mas kawin, hajatan, pesta perkawinan, pembangunan gedung atau rumah, ritual adat, dan lain-lain. Sementara stok babi terbatas, terutama setelah banyak peternakan babi terkena wabah virus demam babi Afrika pada 2019 dan awal 2021.
Aluman mengambil peluang ini pada Juli 2021. Dengan modal kredit bank sebesar Rp 500 juta, ia mengembangkan peternakan babi organik dengan 50 ekor bibit. Pakannya berupa dedak, labu kuning, sayur kangkung, jagung beras, tomat, dan melon yang diambil dari lahan milik Aluman sendiri. ”Sistem mata rantai yang saya terapkan di sini,” katanya.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Seorang pekerja sedang membersihkan kandang dan memandikan induk babi yang sedang menyusui. Babi ini melahirkan 12 anak, sudah usia lima hari.
Ia membuat kandang sebanyak 500 unit dengan kebersihan yang terjaga. Sistem saluran air pun dibangun sedemikian rupa sehingga aliran air tidak mudah tersumbat. Ada septic tank dan air keran di setiap kandang. Kandang dicuci tiga kali sehari. Begitu pula ternaknya dimandikan setiap hari. ”Jika kandang dan ternak terus dijaga, virus atau bakteri apa pun tidak mudah menjangkiti. Ini yang perlu diperhatikan,” katanya.
Peternakan itu berkembang pesat. Aluman telah menjual lebih dari 200 babi usia 4-6 bulan dengan harga berkisar Rp 5 juta-Rp 14 juta per ekor. Saat ini, di kandang masih ada 180 babi. ”Saya sudah hitung. Satu ekor tetap dapat untung Rp 1 juta, setelah dikurangi berbagai biaya produksi, termasuk kandang,” ujarnya.
Tidak ingin sukses sendirian, ia pun mengajak anak-anak muda yang putus sekolah di wilayah itu untuk bergabung sebagai petani. Lebih dari 200 anak muda putus sekolah dasar di Fatukoa ia bina menjadi petani melalui kelompok tani Noetnana. Setelah enam bulan mereka dilepas, tetapi terus dipantau.
Sebagian dari mereka terlibat sebagai petani hortikultura dengan memanfaatkan lahan kosong di kelurahan itu, atau lahan milik Aluman yang belum tergarap. Beberapa di antaranya cukup berhasil. ”Sukses itu ada di tangan mereka sendiri, bukan dari siapa-siapa. Saya hanya memberi arahan dan motivasi,” ucapnya.
Budidaya Hortikultura, Andalan Petani Kupang
Lahan milik Aluman pun dijadikan pusat pembelajaran dari sejumlah kabupaten/kota di NTT. Kelompok tani, mahasiswa, dosen, dan pelajar SMK jurusan pertanian dan peternakan.
Sejumlah pejabat, politisi, dan tokoh agama meluangkan waktu berkunjung ke lahan pertanian Aluman, sekaligus rumah tinggalnya. Mereka takjub menyaksikan semua hasil karya pria yang hanya sekolah hingga kelas 2 SD itu.
Aluman belum berhenti meski lahan pertanian dan peternakannya telah meluas hingga 11 hektar. Ia membangun penginapan di lokasi itu untuk warga Kupang yang ingin mencari hawa sejuk dan melihat pertanian hortikultura, sawah, dan peternakan. Pengunjung juga bisa memancing ikan air tawar.