Tatuk Marbudi, Si Manusia Jembatan
Peran sebagai jembatan penghubung itu dijalankan Tatuk dengan sangat kuat. Hampir tidak ada komunitas di Solo yang tidak pernah beririsan dengannya, setidaknya dalam satu dekade terakhir ini.

Tatuk Marbudi, pegiat skena kreatif di Solo, Jawa Tengah.
Setiap berbincang tentang dinamika skena kreatif di Surakarta, Jawa Tengah, nama Tatuk Marbudi selalu disebut. Siapakah laki-laki yang sekilas tampak sangar ini? Orang-orang menyebutnya ”Bapak Skena Kreatif Solo” yang menjadi jembatan dan perekat beragam komunitas anak muda Surakarta sekitar dua dekade terakhir ini.
Kami bertemu dengan Tatuk di sela-sela kesibukannya mengurus persiapan festival musik cadas, Rock In Solo, Rabu (26/10/2022), malam. Festival musik cadas, yang pertama kali digelar tahun 2004 ini hanyalah satu dari sekian banyak irisan Tatuk dengan komunitas yang ada di Surakarta. Di Rock In Solo, ia tercatat sebagai salah satu inisiator sekaligus orang yang menangani semua desain visual festival.
Malam itu, wajah Tatuk terlihat lelah. Namun, ia sama sekali tidak kehilangan semangat untuk ngobrol. ”Buat aku, ngobrol itu sangat penting. Tidak ada obrolan yang sia-sia meski isinya omong kosong saja. Omong kosong jika disimpulkan pun bisa menjadi ide,” ucapnya.
Itu sebabnya, ia sangat menghargai momen ngobrol. Ngobrol membuat dia terhubung dengan banyak orang. ”Aku jadi tahu orang itu siapa? Idenya apa. Kebutuhan dan problem yang dihadapinya apa?”
Ketika ada anak muda kreatif yang perlu dukungan untuk berkarya, Tatuk bisa bilang, ”Kowe ketemu orang iki wae. Nanti tak kenalke.”
Karena Tatuk sering melakukan hal itu, lama-kelamaan ia menjadi semacam jembatan penghubung beraneka macam orang, mulai anak punk, anak metal, anak motor, seniman, kreator, desainer, mahasiswa, akademisi, sampai ibu-ibu arisan dan pengajian. ”Awalnya mereka tidak saling kenal. Ketika mereka terhubung, mereka bisa berkolaborasi,” ujar Tatuk.
Baca Juga: Lelaku Metal Lelaki Kekar
Proses yang berlangsung alamiah dan tanpa perencanaan itu belakangan menyadarkan Tatuk tentang pentingnya penghubung bagi sebuah ekosistem kreatif. ”Di Solo, banyak anak muda kreatif yang bekerja sendiri-sendiri. Kalau mereka terhubung satu sama lain, ekosistem kreatif Solo akan kuat,” kata lelaki dengan anting logam di kedua telinganya itu.
Kesadaran Tatuk tentang pentingnya jembatan penghubung muncul ketika ia tinggal di Rumah Sewa Jurug pada awal 2000-an, tidak jauh dari kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Rumah sewa yang terdiri dari 50-an kamar itu penghuninya mahasiswa seni rupa ISI dan mahasiswa UNS dari berbagai jurusan. ”Umumnya mahasiswa yang dianggap berengsek. Kuliah 10 tahun enggak kelar atau sudah di-DO, tetapi rumah sewa itu ternyata jadi titik temu orang-orang kreatif yang berpikir merdeka.”

Tatuk Marbudi dalam sebuah acara komunitas kreatif di Muara Market, Surakarta, pada 31 Desember 2017.
Pengalaman tinggal di sana membuat Tatuk terobsesi dengan ruang yang menjadi titik pertemuan (hub). Maka, ia membuat Evergreen, usaha studio desain dan produksi kaus pada 2003. Di situ, Tatuk mengumpulkan teman-temannya.
Setelah itu, ia mengerjakan proyek Play Ground Creative Corner tahun 2013 di Kota Barat, Surakarta. Secara fisik, ini sebuah kafe tempat orang ngobrol dan memunculkan ide. Namun, Tatuk melengkapinya dengan ruang kerja bersama dan fungsi distribusi karya. ”Alur kerjanya ngumpul, ngobrol, gali ide, produksi, jualan,” tuturnya.
Setelah keluar dari Play Ground, ia mendirikan Muara Market bersama Andy Susanto di belakang Pasar Legi pada 2016. Muara merupakan kompleks ruko berbentuk pentagonal dengan plaza di tengahnya. Di sana ada kedai kuliner, kedai kopi, kedai bir, distro, galeri, pasar produk kreatif komunitas, dan bioskop mini.
Sebagaimana yang dilakukan di Evergreen dan Play Ground, Tatuk memerankan dirinya sebagai jembatan. ”Kami temani tenant dan komunitas dari hari ke hari. Kalau ada persoalan, kami cari jawabannya bersama. Kalau tidak ketemu, kami carikan orang yang bisa kasih jawaban.”
Muara lantas berkembang menjadi ruang perjumpaan kreatif orang-orang dengan beragam latar belakang, mulai anak-anak punk, anak beat boys, anak film, anak desain, akademisi, mahasiswa, kreator, pengusaha kuliner, bahkan ibu-ibu arisan dan pengajian. Di situ mereka bisa saling mengenal, belajar bersama dalam program Cara Belajar Skena Aktif (CBSA) ala Muara, lantas berkolaborasi.
Baca Juga: Duduk dan Angguk-angguk di Konser Rock
Bagaimana orang-orang dengan identitas berbeda-beda bisa bersua, nongkrong bersama, bahkan bekerja sama?
”Dari apa yang aku temukan di Muara, sebenarnya ada kecerdasan sosial dalam masyarakat kita untuk bekerja sama. Persoalannya, selama ini mereka terkotak-kotak dalam identitas berbeda dan memandang orang yang berbeda dengan prasangka. Itu terjadi karena mereka tidak saling mengenal dan bersentuhan. Makanya, mereka mesti dipertemukan,” tutur Tatuk.
Ia mencontohkan, dulu anak-anak punk sering sebal setiap melihat anak-anak beat boys nongkrong dan latihan di Muara. Mereka bilang, ”Itu anak-anak (beat boys) sok keren. Musiknya kayak gitu aja.”
”Aku bilang biar aja-lah. Kita tonton aja sambil minum bir. Setelah sering nonton, akhirnya ada anak punk yang ikut beat boys. Lalu aku provokasi agar mereka berkolaborasi. Suatu hari itu terjadi, anak beat boys tampil diiringi musik live anak-anak band, bukan lagi musik playback. Yang begini banyak. Lain waktu ada ibu-ibu bikin acara pengajian di Muara, kita tonton juga sambil ngopi-ngopi ha-ha-ha.”
Sayangnya, Muara tutup pada 2018 setelah terjadi kebakaran Pasar Legi. Para pedagang yang kehilangan kios atau lapak pindah ke pelataran parkir dan akses masuk ke Muara. ”Aku tidak bisa egois melarang mereka, apalagi mereka sedang kena musibah.”

Tatuk Marbudi dalam sebuah acara musik di Muara Market, Surakarta, pada 1 Januari 2018.
Meski telah bubar, sampai sekarang memori tentang Muara sebagai titik perjumpaan orang dan ide masih menancap di benak banyak anak muda Surakarta. ”Banyak yang tanya kenapa aku enggak bikin Muara di tempat lain? Aku jawab tidak bisa sebab semua ruang punya kehendaknya sendiri. Di Muara, misalnya, kami bisa bermusik setiap hari karena di sekitarnya tidak ada tetangga. Dulu ini tempat yang sepi. Orang ke situ paling untuk cari PSK, pijat payung, atau ke pasar. Di tempat lain, lingkungannya bisa berbeda.”
Meski begitu, obsesi Tatuk untuk membuat ruang pertemuan ide terus menyala. Ia kini sedang menyiapkan Bale Suka. ”Konsepnya hasil dialog dengan ruang yang tersedia di sana, tetapi masih kelanjutan dari Muara. Buat saya, tidak ada Bale Suka tanpa Muara, tidak ada Muara tanpa Play Ground, tidak ada Play Ground tanpa Evergreen. Semua itu hasil perjalanan panjang kami berkomunitas.”
Anak geng
Jejak Tatuk di komunitas dan skena kreatif Surakarta boleh dikata sudah berkarat. Sejak usia SMP pada 1995, ia tinggal bersama komunitas yang dulu disebut geng. ”Rasanya hampir tidak ada geng atau komunitas di Solo yang tidak aku singgahi,” katanya.
Saat SMA, ia resmi minta izin kepada orangtuanya untuk hidup di luar rumah, bersama gengnya. Lantas, ia tinggal di sebuah keluarga teman SMA-nya yang mengajarkan dia tentang aktivisme, idealisme, kesenian, dan sebagainya. Ia juga pernah tinggal di sebuah keluarga pengusaha hiburan malam yang orientasinya sangat bisnis. ”Lingkungan pergaulan dan pengalaman tinggal di dua keluarga itu membentuk cara berpikirku tentang aktivisme.”
Karena pernah beririsan dengan banyak geng dan komunitas, pada diri Tatuk menempel identitas yang kompleks sekaligus samar. ”Aku ini anak punk yang (rambutnya) tidak mohawk, anak metal yang enggak punya kaus ireng, anak hip hop yang enggak punya hoodie, anak motor yang ke mana-mana pakai (motor) matik.”
Pada satu fase, ia kebingungan sendiri dengan identitasnya. ”Aku pun bertanya, aku ini sebenarnya opo? Aku di mana-mana ada. Belakangan aku menemukan jawabannya, ’ternyata aku ini jembatan penghubung’.”
Peran sebagai jembatan penghubung itu dijalankan Tatuk dengan sangat kuat. Hampir tidak ada komunitas di Surakarta yang tidak pernah beririsan dengannya, setidaknya dalam satu dekade terakhir ini. Seiring waktu, fungsi jembatan berkembang menjadi perekat komunitas dalam semesta skena kreatif Surakarta. Tidak mengherankan jika setiap berbicara soal dinamika skena kreatif di kota itu, nama Tatuk selalu disebut. Ia pun mendapat julukan dari para pegiat komunitas sebagai Bapak Skena Kreatif Solo.

Tatuk Marbudi dalam sebuah acara bincang-bincang dengan komunitas kreatif di Surakarta pada 31 Oktober 2018.
Tatuk Marbudi
Nama lahir: Wisnu Dwi Marbudi
Pendidikan:
- SMP Muhammadiyah 1 Surakarta
- SMAN 2 Surakarta
- Prodi Desain Komunikasi Visual Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (tidak tamat)