Muhammad Haryanto, Pelopor Seni Raba untuk Penyintas Tunanetra
Bagi Muhammad Haryanto, lukisan ibarat aksara yang dibentuk untuk menggambar suara. Analogi ini memberikan cara bagi tunantera untuk menikmati lukisannya dengan meraba manik-manik yang dilekatkan di kanvas.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Terlahir dengan karunia kedua mata yang tidak bisa melihat, Muhammad Hariyanto ketika kanak-kanak menganggap semua orang tidak bisa melihat. Belakangan, anggapan polos ini menjadi benih pemikiran soal kesetaraan termasuk hak berekspresi seni bagi disabilitas netra.
Gagasan pria yang biasa disapa Nanang itu disambut lembaga Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Ia diberi kesempatan oleh IVAA untuk menggelar pameran perdana 11 lukisannya. Pameran yang diberi tajuk “Seni Raba Menggambar Suara” digelar di gedung IVAA pada pertengahan tahun 2022. Nanang menjadi pelopor lukisan seni raba bagi penyintas tunanetra.
Bagi Nanang, lukisan ibarat aksara yang dibentuk untuk menggambar suara. Analogi ini memberikan cara bagi penyintas tunantera untuk menikmati lukisan Nanang dengan meraba manik-manik yang dilekatkan di kanvas. Nanang lebih senang menyebut disabilitas netra dengan sebutan penyintas tunanetra, yakni orang yang bertahan dengan ketunanetraannya.
Manik-manik itu membentuk kata dengan aksara braile. Para penyintas tunanetra akan mengetahui kisah yang dilukiskan Nanang dari kata-kata itu. Ia memiliki cara khusus untuk menandai warna cat tertentu. Ketika berjumpa di Yogyakarta pada akhir September 2022, ia mengisahkan proses pembuatan lukisan-lukisannya atau karya tiga dimensi berupa wayang.
Ada istilah unik, diutarakan Nanang saat diberi kesempatan berpidato pada pembukaan pameran perdananya. Ia awalnya bercerita tentang profesinya sebagai tukang pijat. Melalui lukisan-lukisannya itu ia juga sedang memijat, tetapi memijat kesadaran kita bersama. “Penyintas disabilitas masih mengalami diskriminasi. Saya ingin memijat kesadaran bersama untuk mengupayakan kesetaraan dan persamaan hak bagi penyintas disabilitas.”
Ia kemudian menggapai sebuah lukisannya yang seperti lukisan abstrak dengan komposisi warna bertumpuk dan membentuk komposisi ruang. Ada deretan manik-manik berwarna putih di atasnya. Ia mulai meraba manik-manik yang membentuk aksara braile berbunyi "Bahaya Tunarasa", yakni orang yang kehilangan daya empati.
Tulisan dengan aksara braile untuk lukisan berikutnya berbunyi, “Jangan Putus Asa”. Ini lukisan pertama Nanang. Ketika itu ia dipacu salah seorang sahabatnya untuk merealisasikan idenya sebagai penyintas tunanetra yang melukis. Sahabatnya itu mendorongnya agar tidak putus asa.
Judul lukisan lainnya bertuliskan “Hati-hati Eksploitasi”, “Jadilah Mandiri, Jangan mau dikasihani”. Tulisan itu menandaskan suara-suara yang muncul di hati Nanang.
Motivasi
Nanang lahir di Yogyakarta pada 31 Desember 1979 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Masa kecil ia lalui tanpa merasa berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Di situlah motivasi hidupnya menyala-nyala. “Sewaktu kecil saya juga bermain sepeda, nabrak-nabrak, masuk parit atau selokan, tertawa bersama teman-teman. Saya selalu bahagia dan merasa semua orang di sekelilingku sama,” ujarnya.
Ia mengemas kisah masa kecilnya menjadi sebuah adegan pewayangan. Ia sendiri yang jadi dalangnya. Ini ditampilkan saat ia pameran "Seni Raba Menggambar Suara" di IVAA dengan lakon wayang Desta Milenial. Desta yang buta terinspirasi tokoh Destarata dalam kisah Mahabharata. Nanang dalam kisah itu menjadi Desta saat masih kecil.
Ia mengisahkan salah satu adegannya demikian. Desta kecil membonceng sepeda Pandu. Suatu ketika, Desta meminta supaya dirinya yang berada di depan dan Pandu membonceng. Sepeda pun melaju, tetapi terperosok ke kali kecil. Teman-teman di sekelilingnya meneriaki, “Desta buta… Desta buta.. Desta buta.” Anehnya, Desta tidak merasa diejek. Ia turut meneriakkan, “Desta buta”, berulang-ulang pula.
Di rumah, Desta menanyakan kepada ibunya tentang yang dimaksud dengan Desta buta. Ibunya menyampaikan, Desta tidak buta. Memang Desta tidak bisa melihat dengan mata, tetapi bisa melihat dengan pendengaran, bisa dengan meraba, atau mencium dengan hidungnya.
“Kisah seperti ini saya bikin, karena memotivasi setiap penyintas tunanetra. Mereka masih bisa melihat dengan pendengaran, meraba, atau penciuman,” ujar Nanang.
Nanang mengenyam pendidikan sekolah dasar di SD Integrasi Sinduadi, Sleman, Yogyakarta. Di sekolah itu, ia berbaur dengan anak-anak lain, tanpa merasa dirinya berbeda. Baru pada masa remaja ketika duduk di bangku sekolah luar biasa setingkat SMP, dia menyadari kondisi buta itu berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya. Ada salah satu guru yang mengingatkan, supaya ia tidak melupakan tongkat untuk menuntunnya berjalan.
Setelah lulus pendidikan di tingkat SMP, Nanang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya karena keterbatasan ekonomi keluarga. Ia sempat menganggur antara 1995–1998.
Nanang kemudian masuk ke Panti Sosial Bina Netra Sadewa yang ada di dekat kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1998. Di sana, selama tiga tahun, ia belajar tentang anatomi dan patologi. Pengetahuan ini menjadi bekal bagi Nanang untuk memperdalam kemampuan memijat.
Keinginan Nanang untuk melukis muncul ketika ada permintaan memijat Samidjan dan anaknya yang bernama Kus Sri Antoro pada 2021. Samidjan adalah pembuat wayang dari limbah plastik, sedangkan Kus penggerak aktivitas sosial yang terhubung dengan persoalan disabilitas.
Pada kesempatan memijat berikutnya, Nanang mengutarakan niatnya kepada Samidjan dan Kus untuk ikut membuat wayang atau setidaknya membuat karya. Mereka menyambut keinginan Nanang.
Nanang mengawali dengan idenya yang disebut sebagai seni raba menggambar suara. Perlengkapan cat dibagi dua, yakni yang alami dan sintetis akriliks. Nanang memberi label untuk setiap warna cat akriliksnya dengan huruf awal warna tersebut. Untuk cat berbahan alami ia tinggal menciuminya. Di antaranya seperti kunyit, sirih, kapur sirih, buah naga, dan bunga telang. Sejak saat itu,
Nanang terus tumbuh dan bergerak. Ia terus menggelorakan seni raba menggambar suara bagi penyintas tunanetra. Itu diwujudkannya demi kesetaraan dan persamaan hak.
Muhammad Haryanto
Lahir: Yogyakarta, 31 Desember 1979.
Pendidikan formal:
SD Integrasi Sinduadi, Sleman (lulus 1992)
SLB/A Negeri 1 Yogyakarta (1995).
Pendidikan informal: Panti Sosial Bina Netra Sadewa di Yogyakarta (2021)