Yuli Sunaryo dan Heri Irawan, Inovator Mesin Pencacah Serba Guna dari Lampung
Inovasi mesin pencacah serba guna karya Yuli Sunaryo dan Heri Irawan membuktikan karya anak negeri bisa berkontribusi. Mereka berharap, pemerintah selalu mendukung kreasi dari warga desa di Indonesia.
Berbagai rintangan menghadang Yuli Sunaryo (39) dan adiknya, Heri Irawan (32), saat membuat mesin pencacah serba guna. Namun, warga Tulang Bawang Barat, Lampung ini tak menyerah. Inovasinya tidak hanya berbuah prestasi, tetapi juga mewujudkan pertanian ramah lingkungan.
Nama Yuli dan Heri menggema saat pembawa acara mengumumkan Juara 1 Lomba Teknologi Tepat Guna Nusantara (TTGN) XXIII, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (19/10/2020). Mesin penepung dan pencacah serba guna, karyanya, jadi terbaik di kategori TTG Unggulan.
Berpakaian adat Lampung, keduanya menerima piagam dan piala dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Ajang tingkat nasional yang didukung Harian Kompas itu merupakan kontestasi karya TTG para inovator desa.
TTG merupakan teknologi yang sesuai kebutuhan masyarakat, sederhana, harganya terjangkau, perawatannya mudah, serta tidak merusak lingkungan. Mesin pencacah serba guna Sunaryo dan Heri, misalnya, lahir karena tumpukan limbah batang singkong dan sawit yang terbengkalai.
“Selama ini, limbah itu hanya dibakar. Akhirnya, muncul ide membuat chopper (mesin pencacah). Kan, saya dan Heri dasarnya memang pekerja las,” ujar Sunaryo. Mereka mulai merancang mesin itu awal 2020. Keduanya bahkan memutuskan tidak lagi kerja di proyek.
Baca juga : Pengembangan Teknologi Tepat Guna Bukan dengan Guna-guna
Selain jauh dari keluarga, pekerjaan itu juga berisiko. Pamannya mengembuskan napas terakhir saat kecelakaan kerja dua tahun lalu. Bermodalkan tabungan dan pinjaman bank, mereka membangun bengkel sederhana seluas 3 meter x 9 m dan berlantai semen di samping rumahnya.
Berbeda dengan alat pencacah pada umumnya, mereka menggunakan roda gila atau fly wheel untuk menstabilkan mesin. Ia juga memakai pisau baja untuk mencacah rumput, singkong, hingga sawit yang keras. Alat itu bahkan bisa menepung bahan hingga ukuran 2 milimeter.
Awalnya, hasil cacahan mesin itu kurang maksimal. Mereka pun terus memperbaharui alat tersebut sesuai masukan para pelanggan. Tidak sedikit bahan yang terbuang. “Kalau dirupiahkan (uang untuk uji coba mesin), enggak bisa dihitung. Apalagi, harga besi kan naik turun,” ujarnya.
Tak terhitung pula cucuran keringat dan percikan las. Sunaryo, yang mengelas sejak usia belasan tahun, sudah terbiasa dengan serpihan besi dari las. Ia bahkan sempat tak bisa tidur semalaman karena matanya perih terkena percikan itu. Matanya yang sedikit memerah menjadi saksi bisu.
Celaan
Sindiran dari kerabat dan tetangga pun sempat menghadang semangat daya ciptanya. “Banyak yang mencela. Ada yang pesan mesin. Pas sudah jadi, dia bilang enggak mau. Biasalah, orang kadang senang lihat orang susah dan susah lihat orang senang,” kata Sunaryo sembari tertawa.
Tidak sedikit juga orang yang menyepelekan karya mereka dengan omongan “alah, opo iso(apa bisa)?” hingga membandingkan dengan alat lainnya. “Engga apa-apa, itu malah jadi penyemangat. Kalau kami kalah, mesinnya enggak jadi,” ujar tamatan SMK jurusan otomotif ini.
Heri, yang bertanggung jawab untuk pemasaran, tidak tinggal diam. Ia menjual mesin pencacah serba guna itu dari mulut ke mulut hingga via media sosial. Ia masuk ke grup Facebook para petani dan peternak. Ia juga memasarkannya via Youtube. Pesanan pun mulai berdatangan.
“Kami pakai sistem COD (bayar di tempat). Jadi, pemesan datang dulu dan coba. Kalau nanti enggak cocok, enggak usah bayar dan bisa balikin lagi barangnya. Ternyata, enggak ada yang balikin sampai sekarang,” ujar Heri tersenyum. Hingga kini, sedikitnya 130 mesin telah terjual.
Mesin itu terdiri dari tiga tipe dengan harga jual masing-masing Rp 3,7 juta, Rp 4,3 juta, dan Rp 9,5 juta. Tidak hanya di Lampung, produk PT Jossh Tehnik Mandiri (JTM) milik keduanya itu juga telah tersebar ke Pekanbaru, Padang, Bangka Belitung, Palembang, Madura, dan Cirebon.
Karya generasi transmigran asal Bojonegoro, Jawa Timur ini kian terkenal saat memenangi Lomba TTG Unggulan tingkat Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Provinsi Lampung pertengahan tahun ini. Kini, inovasi itu jadi terbaik nasional, menyisihkan 15 inovasi lain.
Warga Desa Mulyo Asri ini tidak hanya membuktikan karyanya menasional, tetapi juga membantu para petani dan peternak. Dengan mesin itu, misalnya, petani bisa menjual jagung pipil Rp 9.000 per kilogram. Padahal, sebelum pakai alat itu, harga jagungnya Rp 6.000 per kg.
Kotoran kambing yang tadinya Rp 350 per kg kini bisa dijual Rp Rp 1.050 per kg. Dengan biaya operasional mesin Rp 200 per kg, peternak dapat meraup untung Rp 600 per kg. “Kohe (kotoran hewan) ini paling dicari sekarang, karena harga pupuk kimia semakin mahal,” kata Sunaryo
Secara langsung, inovasi tersebut turut membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan. Itu sebabnya, Heri ingin terus memproduksi mesin tersebut dalam jumlah massal dengan perbaharuan sesuai kebutuhan warga. Ia pun berharap pemerintah mendukung karya warga desa.
Ramah lingkungan
Nana Mulyana, perangkat Desa Sindangjawa, Cirebon, misalnya, membeli satu unit mesin pencacah serba guna itu untuk membuat pupuk kompos yang lebih murah dan ramah lingkungan. “Tanah di Sindangjawa sudah mulai sakit, keras, karena kebanyakan (bahan) kimia,” katanya.
Tahun ini, kelompok wanita tani di desanya membuat pupuk organik dari kohe, batang pisang, dan jerami. Namun, pembuatannya masih manual sehingga menghabiskan waktu dan tenaga. “Dengan mesin pencacah ini, kami bisa bikin pupuk kompos untuk lahan 1 hektar,” katanya.
Selain ramah lingkungan, mesin itu juga membuat Sunaryo lebih ‘ramah’ dengan keluarganya. “Dulu, waktu masih proyekan, saya berangkat pagi pulang malam. Gedenya anak, saya enggak tahu. Sekarang, setiap hari ketemu keluarga. Ini enggak bisa dinilai,” kata bapak dua anak ini.
Heri juga tak lagi mesti meninggalkan keluarganya berbulan-bulan karena ikut proyek pembangunan pabrik di Jawa. Dulu jadi anak buah, kini ayah dua anak ini menjelma Direktur PT JTM dengan tiga tenaga kerja dan seorang kepala produksi yang tak lain adalah Sunaryo.
Secara langsung, inovasi tersebut turut membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan. Itu sebabnya, Heri ingin terus memproduksi mesin tersebut dalam jumlah massal dengan perbaharuan sesuai kebutuhan warga. Ia pun berharap pemerintah mendukung karya warga desa.
Salah satunya, lanjutnya, mendorong pembuatan alat dan mesin pertanian. “Kan, selama ini banyak bantuan, tapi pakai barang dari perusahaan besar. Ada juga yang impor. Kalau pakai produk usaha mikro kecil di desa, pasti banyak yang merasakan manfaatnya,” ujarnya.
Yuli Sunaryo
Lahir : Lampung, 31 Desember 1982
Pendidikan :
- SDN 03 Mulya Asri, Lampung
- SMP Muhammadiyah Lampung
- SMK Krida Wiyata Lampung
Istri : Munandiroh
Anak : 2 orang
Pekerjaan : Kepala Produksi PT Joosh Tehnik Mandiri
Heri Irawan
Lahir : Lampung, 24 Juni 1990
Pendidikan :
- SDN 01 Mulya Asri Lampung
- SMPN 1 Mulya Asri Lampung
- SMK Krida Wiyata Lampung
Istri : Setiawaty Arista Anggraeni
Anak : 2 orang
Pekerjaan : Direktur PT Joosh Tehnik Mandiri
Penghargaan:
1. Pemenang Lomba Teknologi Tepat Guna Unggulan tingkat Kabupaten Tulang Bawang Barat 2022
2. Juara Pertama Lomba Teknologi Tepat Guna Unggulan tingkat Provinsi Lampung 2022
3. Juara Pertama Lomba Teknologi Tepat Guna Nusantara kategori Teknologi Tepat Guna Unggulan 2022