Datu Norbeck Pengumpul Ingatan Suku Tidung
Datu Norbeck mengumpulkan ingatan-ingatan tetua suku Tidung untuk mengambil nilai-nilai kehidupan yang bisa diterapkan oleh generasi kini. Melalui kesenian, ia mendedikasikan hidupnya untuk merawat nilai-nilai khas itu.
Datu Norbeck (66), tokoh pelestari budaya suku Tidung, berpose di rumahnya di Kota Tarakan, Kalimantan Timur, Selasa (27/9/2022).
Datu Norbeck secara sadar mengumpulkan ingatan-ingatan tetua suku Tidung untuk menggali kebudayaan suku asli di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Melalui imajinasi, kreasi, dan nilai-nilai yang ia dapat, lelaki 66 tahun itu kini mendedikasikan hidupnya untuk mengajar kesenian secara suka rela.
Ketika masih kanak-kanak, Datu Norbeck penasaran dengan sebuah foto yang terpajang di dinding rumahnya. Foto tua itu berupa potret wajah lelaki paruh baya dengan pakaian tradisional suku Tidung. Ia lantas bertanya kepada ayahnya waktu itu, siapa gerangan sosok di foto tua tersebut?
”Itu raja kita, Sultan Jalaluddin,” ujar ayahnya seperti diutarakan Norbeck malam itu, Selasa (27/9/2022), di rumahnya di Kota Tarakan.
Raja yang dimaksudkan ayah Norbeck adalah penguasa Kerajaan Tidung, kerajaan yang pernah eksis di Pulau Tarakan di masa silam. Kendati demikian, sisa-sisa peninggalan dan catatan tentang kerajaan ini masih amat minim. Norbeck kecil waktu itu heran. Kenapa kok sejarah Kerajaan Tidung tidak ada di pelajaran sekolah, katanya dengan pikiran polos anak-anak.
Pertanyaan di masa kecil itu ternyata begitu melekat. Di usia remaja, ia mengumpulkan sejumlah catatan dan menulis ingatan-ingatan para tetua tentang Kerajaan Tidung. Belakangan, Datu Norbeck menyadari dia adalah generasi kesekian dari para Raja Tidung. Setelah membuat catatan silsilah Kerajaan Tidung, ia juga begitu penasaran dengan kesenian orang tidung saat remaja.
Itu mulai ia alami pada rentang usia 25-30 tahun. Saat itu, Norbeck kerap membaca majalah Aktuil, majalah musik yang populer di kalangan anak muda pada 1970-1980-an. Dia tertarik dengan ulasan musik country yang khas lantaran bernuansa akustik dan ada sejumlah aksen tradisionalnya.
Dari sana, ia kemudian membentuk grup musik bersama kawan-kawan seusianya. Di tongkrongan, mereka menyanyikan lagu-lagu suku Tidung yang kerap didendangkan para orangtua. Hasrat berkesenian Norbeck muda kian tumbuh. Dari sejumlah kenalan, ia dianjurkan untuk belajar ke Yogyakarta untuk nyantrik ke seniman Bagong Kusudiardjo pada 1983-1984.
Di sana, ia belajar tari tradisional. Ia juga jadi belajar dari Bagong bahwa seni tradisi tak melulu harus saklek. Segala sesuatunya bisa saja didobrak dengan catatan punya alasan kuat. Selain itu, dari pertemanan dengan berbagai seniman di Yogyakarta, ia kemudian mempelajari tangga nada pentatonis dan diatonis. Akhirnya ia menyadari ternyata lagu-lagu Tidung bukan menggunakan skala diatonis yang menggunakan 12 nada per oktaf, melainkan pentatonis yang menggunakan lima nada per oktaf.
Sepulang dari Yogyakarta, atmosfer berkebudayaan saat di Yogyakarta juga terbawa ke Tarakan. Keinginan Norbeck untuk membuat sesuatu mengenai kesenian dan kebudayaan Tidung menguat. Ia akhirnya wara-wiri ke banyak tokoh Tidung. Saat itu, ia banyak bertanya sembari mengutarakan keinginannya.
Sekitar tahun 1980 ia kemudian bergabung dengan Lembaga Kesenian dan Kebudayaan Tidung di Kota Tarakan. Di sana, ia menjadi pelatih tari bagi anak-anak. Seiring berjalannya waktu, ia kemudian membentuk sanggar sendiri, yakni Sanggar Budaya Tradisional Paguntaka, pada 1985. Di sana, Norbeck mengajar musik, tari, dan berbagai kesenian Tidung lainnya.
Setidaknya tiga kali dalam seminggu, hingga kini, anak-anak SMP dan SMA berlatih tari di rumah adat Tidung Tarakan pada malam hari. Datu Norbeck sendiri yang mengajarkan. Lelaki kelahiran Tarakan, 14 Mei 1956, itu juga melatih musik tradisional Tidung bagi para remaja. Sejak semula berdiri, Norbeck tak pernah memungut biaya bagi anak didiknya.
”Anak-anak sudah mau belajar kesenian dan kebudayaannya sendiri itu sudah luar biasa. Justru seharusnya kita dukung, bukan memasang tarif,” katanya.
Baca juga: Penelusur Sejarah di Kota Tarakan: Jiwa Muda, Berbeda, dan Pengingat Bahaya
Lantas, dari mana ia menghidupi sanggarnya? Norbeck punya mekanisme sendiri. Sejak awal berdiri, sanggarnya kerap diminta untuk mengisi berbagai acara di pemerintahan, swasta, dan pesta perkawinan. Bayaran dari sana ia kelola agar sanggar bisa membiayai dirinya sendiri. Setiap pementasan berbayar, 30 persen uang dijadikan uang kas untuk transportasi, biaya rias, dan air minum anak-anak saat latihan.
Adapun 70 persen sisanya untuk insentif para penari, masing-masing Rp 50.000 dan kebutuhan lain, termasuk upah lelah bagi pengajar yang membantu Norbeck. Sanggar yang Norbeck pimpin tak hanya berkegiatan di Kota Tarakan. Sekali waktu, timnya diminta untuk menyiapkan pesta pernikahan dan hiburan tradisional suku Tidung di Sabah, Malaysia.
Suku Tidung memang terpencar di berbagai daerah, seperti di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Saat diminta untuk mengisi ke luar negeri, praktis sejumlah penari, pemusik, dan berbagai perlengkapan pesta pernikahan turut diboyong dari Tarakan. Ini menandakan pelestari kesenian di negara-negara itu sudah nyaris tak ada sehingga harus mendatangkan tim Norbeck.
Pada 1995, Norbeck menginisiasi Iraw Tengkayu, tradisi lama suku Tidung sebagai bentuk syukur terhadap berkah yang diberikan Tuhan melalui alam. Iraw Tengkayu berisi pertunjukan kesenian, pawai perahu khas suku Tidung, hingga upacara doa di laut. Laut dan perahu adalah dua hal penting bagi suku Tidung di masa silam. Sebab, mereka umumnya hidup di pesisir dan mengandalkan laut sebagai mata pencarian.
”Tradisi itu juga kami buat berdasarkan cerita-cerita dari orangtua. Ingatan itu kami kumpulkan dan kami hadirkan kembali di masa kini. Itu supaya nilai-nilai kebaikan, seperti menjaga laut, tetap lestari di generasi sekarang,” kata lelaki 66 tahun itu.
Kegiatan yang semula diinisiasi Norbeck dan sejumlah kawannya secara mandiri itu, mulai tahun 1996 didukung Pemerintah Kota Tarakan untuk menjadi agenda rutin. Sampai saat ini, Iraw Tengkayu menjadi agenda rutin dua tahun sekali saat Hari Ulang Tahun Kota Tarakan.
Baca juga: Kehausan Sejarah Lokal Pemuda Tarakan
Satu hal yang Norbeck belum bisa pecahkan dari ingatan-ingatan para tetua Tidung yang ia kumpulkan. Menurut cerita turun-temurun leluhurnya, Pulau Tarakan dan sekitarnya pernah dilanda gelombang pasar begitu tinggi. Saat itu, air pantai surut dan seketika terjadi gelombang tinggi lebih kurang 2 meter.
Perahu masyarakat Tidung yang berjejer di pantai sampai terbawa gelombang hingga ke bukit-bukit. Masyarakat Tidung menyebut peristiwa itu sebagai duluh atau gelombang pasang tinggi. Peristiwa itu tak pernah terjadi selama Norbeck tinggal di Kota Tarakan. Cerita fenomena mirip tsunami itu belum bisa ia pastikan apakah hanya dongeng belaka atau memang pernah terjadi.
Namun, ingatan itu menjadi penting lantaran Pulau Tarakan dilewati sesar dan kerap terjadi gempa. Jika ingatan para tetua itu diteliti, kata Norbeck, itu bisa bermanfaat untuk memitigasi bencana di masa mendatang di Kota Tarakan, salah satu kota terpadat di Kalimantan Utara.
Datu Norbeck
Lahir : Tarakan, 14 Mei 1956
Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan (Lulus 2015)
Penghargaan:
- Tokoh Budaya Tarakan (2015)
- Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari Budaya (Kemendikbud, 2019)
Profesi: Pengasuh Sanggar Budaya Tradisional Paguntaka Tarakan (1985-Sekarang)