Bagi Giyanto, bertani adalah bisnis untuk kemandirian. Dari kemandirian itu, Giyanto mendapat keberkahan yang dibagikan kepada sesama petani lewat ilmu serta tips-tips bertani.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
Di bawah naungan atap gazebo nan sejuk di kebun tumpang sari tanaman cabai, tomat, dan alpukat, Giyanto (49) menerima tamu-tamunya yang ingin membeli bibit, belajar, atau bekerja sama tentang pertanian. Dia membuktikan, bertani itu sebuah bisnis yang menguntungkan, bukan sekadar usaha agar petani sehari-hari bisa makan.
“Satu-satunya varietas cabai yang tahan di musim hujan itu varietas laba (tahan terhadap) baik layu maupun busuk batangnya. Yang ngeri itu kalau musim hujan adalah busuk batang, kalau patek (jamur) insyaallah masih bisa diatasi,” kata Giyanto berbicara lewat sambungan telepon kepada mitra dampingannya yang hendak membeli 4.000 bibit cabai, Kamis (22/9/2022).
Sementara itu, kepada Udin (36) seorang petani yang datang dari Karanglewas, Banyumas yang ingin mencari informasi tentang penanaman labu madu, Giyanto dengan hangat menyambut. Ia segera memberikan arahan langkah untuk dapat bergabung menjadi petani labu.
“Labu madu itu cocok tumbuh di tanah liat. Untuk labu ini pasarnya khusus. Besok pagi labu-labu itu akan dikirim ke Yogyakarta lalu diekspor ke Singapura,” kata Giyanto sambil menunjuk sejumlah pekerja yang sedang mengangkut labu dalam karung-karung.
Berbekal pengalaman hampir selama 10 tahun menjadi supervisi agribisnis di perusahaan makanan yang bertanggung jawab penuh pada ketersediaan bahan baku seperti cabai dan gula merah dari petani di kawasan Gunung Slamet dan Pegunungan Dieng, Giyanto memutuskan untuk menjadi petani. Hal itu ia lakukan pada 2018 di Desa Gandatapa, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Giyanto ingin membuktikan bahwa bisnis di bidang pertanian memiliki prospek yang cerah. Ia pun menemui para petani hortikultura, belajar lewat internet, dan uji coba bibit-bibit unggulan mendorong “Saya riset, uji coba. Ilmu didapat dari pengalaman. Kalau hanya teori tidak bisa. Dari awal sampai sekarang selalu riset untuk menemukan produk yang bagus atau varietas unggul,” tuturnya.
Jika semula dia bekerja sama dengan perangkat desa setempat untuk menanam cabai dan tomat di tanah bengkok (tanah desa) dengan luas hanya 0,5 bau (sekitar 3.500 meter persegi), kini dia bisa menyewa lahan secara mandiri hingga seluas 8 hektar untuk mengembangkan bisnis pertaniannya. Sedikitnya 10 orang warga membantu usaha pertanian Giyanto.
“Hasil pertanian di jual ke pasar umum di wilayah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen),” ujarnya.
Giyanto yang kini menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani Ganda Arum 1 serta Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Gandatapa, menaungi 8 kelompok tani dengan sekitar 90 petani dengan luasan lahan mencapai 150 hektar. Di lahan yang diberi nama Pusat Bibit Alpukat Berkah Mandiri Farm di Jalan Raya Baturraden Timur, terdapat aneka bibit alpukat mulai varietas miki, yamagata, rifai, lilin, hingga kendil.
Dari total 8 hektar lahan pertanian yang dikelola Giyanto, seluas 3 hektar ditanami tumpang sari alpukat, jambu, tomat, dan cabai. Lahan lainya ditanami labu madu dan pepaya hawai. Aneka ragam tanaman itu dibudidayakan demi mendapatkan penghasilan yang berkelanjutan, apalagi di tengah tantangan harga pasar yang fluktuatif.
“Kita tidak tahu kapan harga mahal dan murah. Hanya mengira-ira saja. Tapi kan banyak faktor lain misalnya impor. Maka kita harus berpikir cerdik. Karena background saya ekonomi, ya namanya bertani itu bisnis bukan sekadar cari makan. Yang namanya bisnis kan tentunya ya inginnya biaya kecil, hasil banyak,” papar Giyanto, lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2005.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, petani tidak memiliki penghasilan yang tetap layaknya pegawai, Giyanto berpikir jangka panjang untuk menyiapkan lahan tumpang sari. “Petani itu kan gaji tidak dapat. Maka harus (mengandalkan) kekuatan sendiri. Cash flow pun harus dibuat lancar supaya ada (pemasukan) mingguan, bulanan, dan tahunan. Jadi bisa membiayai operasional, membayar tenaga kerja, bisa beli pupuk, pestisida.," tuturnya.
Bagaimana caranya? Giyanto mengusahakan lahan-lahan yang ia tanami dengan tanaman berbeda-beda, bisa menghasilkan panen secara mingguan, bulanan, dan tahunan.
Regenerasi
Menurut Giyanto, saat ini dunia pertanian mengalami tantangan terutama masalah regenerasi petani. "Kalau tidak ada regenerasi petani, 20-30 tahun ke depan itu kita mau makan apa?"
Untuk merangsang anak muda bertani, lanjut Giyanto, mesti ada yang menunjukkan bahwa bertani itu menguntungkan. "Kalau untung, pasti banyak anak muda yang ikut tanam. Indonesia itu subur, tapi kalau nggk dikeloa dengan baik ya percuma,” ujarnya.
Giyanto mengatakan, perlu pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah pada petani. Pendampingan bukan sekadar teknik budidaya, tapi juga pendampingan untuk melihat peluang-peluang yang bisa menguntungkan petani.
Dalam memandang pertanian sebagai sebuah bisnis, diperlukan juga analisis usaha yang jelas. “Sebelum melakukan bisnis harus tahu analisisnya. Itu yang harus ditanamkan ke petani. Jadi kalau mau menanam, harus tahu hitung-hitungannya, prospek atau tidak. Kita juga harus tahu pasarnya, teknik budidaya, dan persiapan modalnya,” katanya.
Bagi Giyanto, permodalan yang baik bagi petani adalah permodalan yang sesuai dengan kemampuannya. Permodalan dengan utang ke bank, menurutnya tidaklah mendidik. “Saran saya, jangan utang bank. Itu tidak mendidik. Kita dipinjami uang dari bank, tapi tidak ada pendampingan dalam usaha. Nanti kalau rugi, kita diuber-uber, bahkan (jaminan) disita. Mendidik atau tidak? Tidak mendidik. Kecuali diberi pinjaman dan kita didampingi dalam pengelolaan usahanya. Itu baru TOP markotop. Nanti petaninya untung, banknya juga untung. Kalau tidak, ya banknya saja yang untung,” tuturnya.
Terkait pendampingan itulah, Giyanto dengan terbuka dan hangat memberikan tips dan ilmunya dalam bertani kepada mitra atau pelanggannya. Hingga kini sudah ada lebih dari 1.000 orang yang didampinginya dan tersebar di berbagai daerah mulai dari Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Banyuwangi, hingga Bogor.
“Untuk alpukat (pendampingannya) tergabung di Kebun Buah Nusantara. Kalau sayur, kan dekat, saya datang ke lahan biar seperjuangan. Pendampingan itu wajib sampai dia bisa mandiri," katanya.
Giyanto menekankan pentingnya riset sebelum menjual produk pertanian. Tujuan riset adalah mengetahui produk-produk berkualitas dan bagus. "Di satu sisi kita ingin tahu jadi petani itu kayak gini. Jadi kita bukan semata-mata jual produk. Istilahnya kita bertanggung jawab atas keberhasilan pembeli atau petani,” ujar Giyanto yang juga memiliki toko pertanian Berkah Mandiri dengan slogan: tidak sekadar teori, kami berikan bukti.
Semangat Giyanto itu berdasarkan pada tujuan akhir hidupnya. “Ada tiga hal yang bisa dibawa mati, yakni satu anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat, dan infak sodakoh. Dengan kita membagikan ilmu, keuntungannya luar biasa. Selama ilmu itu dikembangkan, dipakai, kan kita dapat pahala. Lah apa yang dicari sih? Kita kan semua tujuannya di akhirat, masuk surga. Semua itu muaranya ke situ,” kata bapak tiga anak ini.
Apa yang dilakukan Giyanto teleh menunjukkan bahwa pertanian bisa membuat orang jadi mandiri. “Cita-cita kami ya memang mandiri, biar menjadi berkah. Mencari keberkahan di kemandirian,” pungkasnya sambil tersenyum.
Giyanto
Lahir: Wonogiri, Tahun 1973
Keluarga: 1 istri dan 3 anak
Pendidikan: S1 Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (2005)
Kegiatan: Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Gandatapa dan Ketua Kelompok Tani Ganda Arum 1