Jean-Luc Godard, Bapak Gelombang Baru Sinema Perancis
Sutradara berdarah Perancis-Swiss, Jean-Luc Godard, meninggal. Namanya masyhur sebagai sosok yang mendobrak batasan sinema sehingga memengaruhi sinema masa kini.
Perkembangan industri perfilman dunia mencapai titik saat ini tak lepas dari tangan dingin beragam sineas berbakat. Tidak diragukan, salah satunya adalah sutradara berdarah Perancis-Swiss, Jean-Luc Godard.
Godard merupakan salah satu pembuat film paling berpengaruh di abad ke-20. Pekan lalu, dunia mendapat kabar bahwa karier panjang Godard mencapai titik finis. Ia meninggal dengan tenang pada usia 91 tahun di rumahnya di Rolle, Swiss, Selasa (13/9/2021).
”Jean-Luc Godard meninggal dengan tenang di rumahnya dikelilingi oleh orang-orang terkasih,” demikian bunyi pernyataan istrinya, Anne-Marie Mieville. Godard meninggal lewat proses bunuh diri yang dibantu atau sederhananya eutanasia.
Menurut Patrick Jeanneret, penasihat hukum Godard, Godard meminta bantuan hukum di Swiss untuk meninggal dengan sukarela karena dia terserang banyak penyakit. Di Swiss, praktik bunuh diri yang dibantu bisa mendapat izin jika ditawarkan tanpa motif egois kepada seseorang dengan kapasitas mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaannya sendiri.
Godard telah hidup menyepi selama beberapa dekade di Rolle, Swiss. Semasa hidup hingga akhir hayatnya, sang legenda ini hidup bersama istrinya. Terkait proses kematian, pihak keluarga menyatakan dia akan dikremasi dan dilakukan secara privat.
Kepergian Godard mengundang reaksi dari para pelaku di film industri lainnya, seperti sutradara Darren Aronofsky, Edgar Wright, dan sutradara-aktor Antonio Banderas. Presiden Perancis Emmanuel Macron turut menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya.
”Jean-Luc Godard, pembuat film paling iconoclastic dari Gelombang Baru, menciptakan seni yang sangat modern dan sangat bebas. Kami telah kehilangan harta nasional, seorang genius,” tulis Macron di Twitter.
Menabrak batasan
Godard terkenal sebagai sosok yang menabrak batasan dan merevolusi sinema pascaperang. Film-filmnya mengambil pendekatan baru terhadap kamera, suara, dan narasi.
Sebagai seorang yang tak konvensional, Godard meledakkan konvensi perfilman pada 1960-an. Dia menggarap film kriminal berbalut romansa, Breathless/À bout de souffle (1960). Sang legenda kembali mengabaikan pakem Hollywood dan generasi pembuat film Perancis senior lainnya dalam Contempt/Le Mépris (1963) dan Pierrot le Fou (1965).
Lewat karyanya, ia memulai cara baru pembuatan film lewat penggunaan kamera handheld (pengambilan gambar tanpa menggunakan tripod atau monopod), jump cut (lompatan gambar dalam satu rangkaian shot), tracking shot panjang (kamera bergerak mengikuti subyek), dan dialog yang eksistensial.
Dalam Breathless, misalnya, ia menggunakan kamera genggam di jalanan Paris sehingga kamera terus bergerak, berbeda dengan kebiasaan Hollywood mengambil gambar di setting buatan. Sutradara yang identik dengan kacamata berbingkai tebal ini juga memanfaatkan troli belanja saat menerapkan panning shots, yaitu teknik pengambilan gambar di mana kamera bergerak secara horizontal. Naskahnya semi-improvisasi.
Alur cerita Godard juga mencampuradukkan waktu dan ruang yang melawan kebiasaan penggunaan narasi dengan formula tertentu. ”Sebuah cerita harus memiliki awal, tengah, dan akhir—tapi tidak harus dalam urutan itu,” demikian salah satu perkataan terkenal Godard.
Baca juga: Lata Mangeshkar, Penyanyi Legendaris India dengan Ribuan Lagu
Meskipun merupakan sosok yang kontroversial, Godard menjadi ”dewa” bagi banyak radikal politik dan artistik tahun 1960-an. Mereka menjunjung tinggi setiap perkataannya yang sering kontradiktif dan sarkastik tentang keadaan sinema dan dunia.
”Terkadang kenyataan terlalu rumit. Cerita memberikannya bentuk,” ujar Godard.
Atas revolusi sinema yang dilakukannya, Godard mendapat julukan ”Bapak Gelombang Baru Sinema Perancis” atau La Nouvelle Vague dalam bahasa Perancis. Sebenarnya, laki-laki ini tidak sendirian dalam mendorong gerakan ini. Sosok berpengaruh lainnya, misalnya adalah Francois Truffaut dan Eric Rohmer.
Namun, Godard merupakan epitome dari gerakan tersebut. Gelombang Baru sinema ini kemudian melahirkan cabang-cabang di Hollywood, Jepang, Brasil, hingga Cekoslowakia yang saat itu sedang dikuasai komunis.
Cerutu dan kopi
Godard lahir dari keluarga kaya Perancis-Swiss pada 3 Desember 1930 di Arondisemen Ketujuh Paris yang mewah. Ayahnya bekerja sebagai dokter dan ibunya adalah putri seorang pria Swiss yang mendirikan Banque Paribas, dulunya merupakan bank investasi terkemuka.
Ia tumbuh besar di Nyon, Swiss, dan belajar etnologi di Sorbonne, Perancis. Godard memulai karier sebagai kritikus film sebelum melangkah ke belakang kamera. Ia adalah salah satu yang paling produktif dari rekan-rekan sejawatnya dengan memproduksi lusinan film pendek dan panjang selama lebih dari setengah abad dari akhir 1950-an. Film sukses dan berpengaruh lainnya adalah Vivre Sa Vie (1962), Two or Three Things I Know About Her (1967), dan Week-end (1976).
Dia beralih menyutradarai film-film yang sarat dengan politik anti-perang selama tahun 1970-an. Setelah itu, pria ini kembali ke arus utama yang lebih komersial. Sepanjang berkarier, dirinya telah menghasilkan lebih dari 100 film. Pada 2010, ia menerima Academy Honorary Award yang mengapresiasinya atas gairah, konfrontasi, dan jenis sinema yang baru.
Godard menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di Rolle, sebuah desa Swiss di tepi Danau Geneva. Wilayah ini disukai para selebritas yang ingin menghindari sorotan. ”Kami akan menemukannya di sini, dia memiliki siluet yang sangat unik. Dia selalu merokok cerutu ikoniknya dan biasa minum kopi di restoran di jalan utama,” kata Wali Kota Rolle, Monique Pugnale.
Melihat Godard sudah menjadi pemandangan biasa bagi warga setempat. Salah satu pemilik toko kelontong, Nadine von Wattenwyl, biasa bertemu Godard hampir setiap minggu saat sang sineas datang membeli kue. Ia sudah tahu apa kesukaan Godard sehingga selalu siap.
Godard kadang-kadang muncul dari tempat persembunyiannya untuk membuat film budget rendah hingga usia 80-an. Karya-karya terakhirnya, seperti Goodbye to Language (2014) dan The Image Book (2018) cenderung eksperimental.
Dirinya memang tak pernah mengulang kembali kemampuan untuk mengejutkan atau menggerakkan penonton arus utama seperti yang terjadi di era 1960-an. Namun, dia memiliki sekelompok penggemar setia.
Baca juga: Kazuki Takahashi, Si Tokoh Pencipta Yu-Gi-Oh!
Sutradara ini juga secara berkala muncul di Festival Film Cannes secara virtual. Kemunculannya masih menarik perhatian banyak orang. Di masa lalu, Godard adalah sosok berpengaruh sehingga berhasil menutup penyelenggaraan festival ini sebagai bentuk solidaritas dengan protes mahasiswa di Paris pada 1968.
Sulit untuk menyangkal kontribusi Godard. Karya menjadi inspirasi di seluruh dunia. Sutradara kenamaan, seperti Martin Scorsese, Quentin Tarantino, Paul Thomas, dan mendiang Robert Altman, sering menyatakan rasa berutang mereka kepadanya.
”Ada sedikit Godard di hampir semua film hari ini. Hampir semua sutradara yang telah pergi ke sekolah film hari ini, atau belajar membuat film di bioskop, telah melihat film-film Godard—dan kagum, tersentak, serta terkejut dengan caranya bercerita,” kata Frederic Maire, Presiden Swiss Cinematheque. (AFP/Reuters/AP/BBC)