Emmy Ratna Gumilang, Naskah Sunda Kuno untuk Bangsa
Emmy Ratna Gumilang (62) setia menyalin dan mengartikan manuskrip leluhur Sunda Wiwitan. Semua bakal dilakukan hingga menutup mata.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F11%2F824d094a-aca0-438d-81a5-83f822e3c731_jpg.jpg)
Emmy Ratna Gumilang saat diwawancarai di Paseban Tri Panca Tunggal, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022).
Hampir tiga dekade, Emmy Ratna Gumilang (62) menyalin dan mengartikan manuskrip leluhur Sunda Wiwitan. Letih hingga diskriminasi sempat menghadangnya. Namun, ia bergeming. Sebab, Emmy tidak hanya menerjemahkan naskah kuno, tetapi turut menjaga keutuhan bangsa.
Emmy menunjukkan selembar naskah berpigura di Paseban Tri Panca Tunggal, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022). Manuskrip berisi aksara Jawa-Sunda itu memuat pentingnya menjaga tanah adat demi kepentingan bersama.
Pesan itu ditulis Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939), buyut Emmy, lebih dari seabad silam. Ia merupakan perintis Sunda Wiwitan, ajaran spiritual leluhur Sunda yang mengedepankan hubungan manusia, bangsa, alam, dan Tuhan.
Ajaran ini juga mengakui keesaan atau ketunggalan Tuhan. Selain melalui lisan, Pangeran Madrais juga menyebarkan nilai-nilai Sunda Wiwitan melalui manuskrip. Namun, hanya sedikit tetua dan kerabat yang mampu membaca naskah itu.
Hingga akhirnya sekitar tahun 1996, Pangeran Djatikusumah (89), cucu Pangeran Madrais, mengungkapkan keprihatinannya soal manuskrip kepada sang putri, Emmy. ”Kata beliau, yang bisa menerjemahkan (naskah kuno) sudah tidak ada lagi. Saya bilang, akan mencoba,” ucapnya.
Bagi Emmy yang tidak mengerti aksara Sunda kuno, tugas itu cukup berat. Terlebih lagi, banyak tetua sudah berpulang. Membacanya pun hati-hati karena kertasnya tua. Hanya ayahnya yang dapat membantunya. Berbekal satu bundel manuskrip asli dan salinannya, ia mulai belajar.
Kerap kali, di tengah keheningan malam, ia menyalin aksara Jawa-Sunda ke huruf Latin sebelum menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. ”Saya tidak terganggu. Tuhan sudah memberikan 24 jam. Apalah arti 1-2 jam sehari untuk mewariskan nilai-nilai dalam naskah itu?” katanya.
Setelah setahun bergumul dengan naskah kuno, ia merasa mendapatkan banyak pengetahuan baru. Misalnya, Emmy menemukan aneka jenis huruf Sunda. Aksara ”Ha” bahkan punya tujuh varian. Ada juga aksara kuno yang diduga berasal dari Lampung hingga Karo (Sumatera Utara).
”Beliau membuat semacam sandi agar tidak dibaca oleh penjajah. Orang Sunda Wiwitan saja belum tentu bisa membacanya,” ujarnya.
Pangeran Madrais dikenal getol melawan penjajah. Ia pernah memimpin pemberontakan terhadap kolonial di Tambun, Bekasi, tahun 1869.
Pangeran Madrais dan sejumlah pengikutnya tertangkap dan divonis hukuman mati. Keturunan Pangeran Gebang Kinatar (Cirebon) itu dinyatakan meninggal dua hari sebelum eksekusi. ”Namun, beliau ditemukan tahun 1870 di Ciamis. Saat itu, beliau mulai menulis naskah,” ucapnya.
Baca juga : Juwita Djatikusumah, Tembang Perjuangan Sunda Wiwitan
Diskriminasi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F18%2F5a1f4f62-d637-4dde-9006-259f8659d97f_jpg.jpg)
Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan berbaring di jalan saat aksi penolakan pencocokan dan sita eksekusi tanah oleh Pengadilan Negeri Kuningan di Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Rabu (18/5/2022).
Menurut Emmy, Pangeran Madrais, antara lain, menulis soal perlawanan secara fisik terhadap penjajah yang tak sepadan karena perbedaan senjata. Buyutnya memilih pendekatan melalui bercocok tanam agar warga bisa mandiri secara pangan dan tidak tergantung dengan pihak lain.
Akan tetapi, penjajah dan sejumlah pihak menyalahartikan ajaran Sunda Wiwitan. ”Pangeran Madrais sering difitnah. Dikatakan ajaran sesat, pemuja api. Suka minum keringat sendiri. Sampai sekarang, isu itu masih melekat. Dulu, teman saya pernah dilarang ke Cigugur,” katanya.
Bahkan, katanya, narasi serupa sempat ditayangkan di film layar lebar meski tak menyebut nama Madrais. ”Padahal, yang dimaksud (meminum) keringat sendiri itu, ya, menikmati hasil hasil kerja sendiri. Makanya, beliau mengajarkan menanam bawang sampai beternak,” ujarnya.
Seperti buyutnya, Emmy juga sempat tumbuh dalam pahitnya diskriminasi. Ketika SMA, ia kebagian membaca Pembukaan UUD 1945. Namun, sejumlah temannya dan guru protes karena kepercayaan Emmy berbeda. Kepala sekolah memanggil dan mempertanyakan agamanya.
”Saya sampai mau digugat ke pengadilan. Siswa dimintai Rp 500 untuk menggugat. Saya tantang balik. Akhirnya, sekolah mengurungkannya,” kenangnya. Nasib manuskrip Sunda Wiwitan juga tak luput dari persekusi sejak masa penjajahan Jepang hingga pasca-Proklamasi.
Pada 1942-1945, naskah sempat dipindahkan ke rumah warga adat karena pengawasan ketat Jepang. Pada 1950, keluarga juga terpaksa mengalihkan manuskrip ke Cirebon karena bagian belakang Paseban terbakar saat ada gerombolan yang ingin mendirikan negara Islam.
Tahun 2006, naskah kuno sempat dibawa ke kediaman Emmy di Jakarta seiring pemugaran Paseban. Ia tidak hanya melindungi fisik naskah yang diperkirakan lebih dari 150.000 halaman itu, tetapi juga memahaminya.
”Yang sudah diterjemahkan sekitar 60.000 halaman,” katanya.
Baca juga : Sunda Wiwitan, Potret Diskriminasi terhadap Minoritas
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F11%2Fb264b0a2-db98-4eb0-a785-d8f8d34fe064_jpg.jpg)
Emmy Ratna Gumilang saat diwawancarai di Paseban Tri Panca Tunggal, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022).
Digitalisasi
Awalnya, Emmy mengaku menerjemahkan naskah itu dalam sunyi. Ia sempat khawatir, jika naskah itu dibuka ke publik, pengalaman kelam diskriminasi kembali muncul. ”Sampai saya merasa mendapat perintah, sudah waktunya (naskah) diketahui banyak orang,” ujarnya.
Bersama filolog Universitas Pendidikan Indonesia, Tedi Permadi, dan akademisi Euis Kurniasih, Emmy menyelamatkan naskah via digitalisasi. Hal itu terlaksana atas bantuan British Library dan Arcadia-PPIM UIN Jakarta-Centre for The Study of Manuscript Cultures, 2018.
Program yang bernama Digital Repository on Endangered and Affected Manuscripts in South East Asia (Dreamsea) itu juga mencakup pelatihan pendokumentasian secara digital. Puluhan ribu lembar naskah kuno dipotret dengan peralatan khusus lalu disimpan dalam komputer.
Dengan begitu, isi manuskrip dan terjemahannya tersimpan meski kertasnya sudah lusuh. ”Manuskrip itu walaupun ditulis ratusan tahun lalu, (pesannya) tetap aktual, mulai dari pendidikan sebelum lahir sampai hubungan manusia dan bangsa ada semua,” ujarnya.
Ia mencontohkan, makna rumasa atau merasakan yang mengajarkan untuk berempati dan menghormati orang lain meski berbeda latar belakang. Ada juga Sanajan sewang-sewangan tapi teu ewang-ewangan yang serupa Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu jua.
”Kalau manuskrip ini tidak ada yang terjemahkan, kesadaran akan bangsa bisa hilang. Orang akan lupa siapa dirinya. Saya rasa, (manuskrip) ini bukan kebutuhan Sunda Wiwitan saja, tetapi untuk kesadaran berbangsa,” ujarnya. Inilah alasan Emmy terus menerjemahkan naskah kuno itu.
Emmy bersama masyarakat adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan turut menjaga harmoni antarsesama. Apresiasi Prestasi Pancasila 2019 oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada sesepuh Sunda Wiwitan Pangeran Djatikusumah sebagai pelestari adat menjadi buktinya.
Dalam keseharian, Kepala Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Citra di Jakarta ini menerapkan pembelajaran berbasis budaya. ”Misalnya, ada tema Bali. Anak-anak belajar soal budaya Bali. Saya khawatir generasi muda tidak lagi mengenal bangsanya,” kata Emmy.
Kalau manuskrip ini tidak ada yang terjemahkan, kesadaran akan bangsa bisa hilang. Orang akan lupa siapa dirinya. Saya rasa, (manuskrip) ini bukan kebutuhan Sunda Wiwitan saja, tetapi untuk kesadaran berbangsa.
Selain sibuk jadi pendidik selama 15 tahun terakhir, ibu empat anak ini tetap melakukan transliterasi dan translasi naskah kuno Pangeran Madrais. Ia bahkan membuat tabel varian aksara Jawa-Sunda yang termuat dalam manuskrip. Tujuannya, memudahkan siapa saja yang ingin belajar naskah itu.
”Saya akan terus begini (menerjemahkan) kalau ada umur dan tangan untuk menulis. Sampai kapan? sampai saya menutup mata,” ucapnya.
Baca juga :Penghayat Kepercayaan: Sulitnya Kami Menikah secara ”Resmi”
Ratu Emmy Ratna Gumilang
Lahir : 15 April 1960
Suami : Djoko Kundjono
Anak :
1. Dian Prudensia
2. Damar Kuncoro Wijaksono
3. Diah Ratnasari
4. Datu Sekar Kusumaningrat