Rolinawati Darisera, Persalinan Dibantu Cahaya Senter
Rolinawati Darisera mengabdikan dirinya di tiga pulau terluar semenjak masih berstatus pegawai kontrak hingga aparatur sipil negara. Ia sering melayani persalinan dibantu cahaya senter.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Saat kepala bayi sudah keluar 5 sentimeter, listrik tiba-tiba padam. Gelap seketika. Dengan bantuan cahaya senter telepon genggam, Rolinawati Darisera (35) meraih gunting lalu memutus plasenta yang membelit leher bayi. Perlahan keluar meninggalkan rahim, tangis bayi pun memecah kesunyian malam.
Masih di bawah cahaya senter, bayi dengan bobot 3,6 kilogram itu ia bersihkan. Olin, sapaan Rolinawati, melakukan sendiri. Tak ada bidan atau perawatan yang membantu lantaran pelayanan di puskesmas rawat jalan itu ditutup menjelang sore. Ia hanya ditemani seorang keluarga pasien yang diminta mengarahkan cahaya senter.
”Saat itu HP (telepon genggam) yang ada baterainya hanya saya punya, dan itu tinggal 20 persen. Baterai masih bertahan sampai listrik menyalahkan dua jam kemudian. Ini keajaiban,” kenang Olin saat dijumpai di Puskesmas Ilwaki, Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Senin (8/8/2022).
Ternyata drama persalinan pada 28 Februari 2022 itu hanya satu dari sekian banyak pengalaman Olin saat membantu persalinan di bawah cahaya senter atau lampu minyak di beberapa kampung terpencil dan pulau di perbatasan. Wetar merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste di sisi selatan.
Proses persalinan akhir Februari lalu itu pun bukan tanpa risiko. Ibu yang dibantu itu belum genap dua tahun melahirkan anak pertama dengan cara operasi caesar. Oleh dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Moa, ibu itu dirujuk ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Alasannya, fasilitas lebih lengkap dan punya tenaga medis.
Ibu itu kemudian menumpang kapal perintis dari Pulau Moa ke Pulau Wetar dengan waktu tempuh dua hari. Ia turun di Wetar untuk menunggu kapal lain menuju Kupang juga dengan waktu tempuh dua hari. Saat di Wetar, ibu itu mengalami tanda akan melahirkan, lalu dibantu Olin. ”Banyak kejadian seperti ini. Melahirkan saat menunggu kapal," ucap Olin.
Pengalaman lain membantu persalinan dengan cahaya senter pada November 2021. Saat itu, seorang ibu hamil yang menolak ke Puskesmas Ilwaki mengalami kesulitan melahirkan. Olin datang ke rumah pasien. Saat bayi bergerak keluar, listrik padam. Keluarga menghidupkan lampu gas, tidak ada minyak tanah. Akhirnya, mereka menggunakan senter.
Pulau Wetar dan sekitarnya masih sering mengalami pemadaman listrik. Saking seringnya pemadaman, warga menganggap bukan pemadaman bergilir, melainkan menyala bergilir. Ada pula yang memelesetkan PLN dengan ”perusahaan lampu minyak negara”. Selain itu, masih banyak perkampungan yang belum menikmati listrik.
Di Kampung Kiera, Pulau Moa, Olin membantu persalinan dengan cahaya lampu minyak. Warga menyebutnya lampu pelita. Saat itu, ia baru bertugas sebagai bidan dengan status pegawai kontrak tahun 2013. Di puskesmas pembantu minim obat dan alat. Ibu yang melahirkan mengalami pendarahan hebat.
Di tengah malam itu, mereka menggunakan mobil ternak bak terbuka melewati jalan rusak parah dengan waktu tempuh tiga jam. Mereka berencana menggunakan speedboat (perahu motor cepat) agar lebih cepat, namun sedang terjadi gelombang tinggi di laut. Tak ada jaringan telepon untuk menghubungi ambulans. Dengan mobil itu, mereka akhirnya tiba di puskesmas terdekat. Diberi pertolongan, ibu dan bayinya selamat.
Edukasi masyarakat
Di tengah pelayanan membantu ibu hamil, Olin pernah mengalami titik terendah. Pada Mei 2021, seorang remaja berusia 14 tahun di Pulau Wetar yang hamil dinilai berisiko. Ia menyarankan anak itu dirujuk ke Rumah Sakit Umum Moa agar dibantu proses persalinan. Sayangnya, pihak keluarga menolak. Ia beberapa kali datang ke rumah untuk membujuk, tetap ditolak.
Yang ia khawatirkan pun terjadi. Proses persalinan mengalami kendala. Pihak keluarga malah memanggil seorang dukung dari kampung tetangga untuk membantu, namun tidak berhasil. Saat itu, separuh tangan bayi sudah di luar. Keluarga baru sadar dan memutuskan membawa remaja itu ke RSUD Moa. Sayangnya, belum ada kapal.
Keesokan hari baru ada kapal. Olin, yang sarannya ditolak keluarga, kini mengambil tanggung jawab itu. Ia mendampingi pasien. Saat dalam perjalanan, ia menghadap kapten kapal dan meminta laju kapal dipercepat. Di beberapa pelabuhan yang disinggahi, kapal tidak melakukan bongkar muat. Dua hari kemudian kapal tiba di Pulau Letti, pulau terdekat Moa.
Di Letti, daerah asal Olin, ia memerintahkan pasien diturunkan dari kapal. Ia kemudian minta tolong keluarganya di Letti untuk menyiapkan speedboat ke Moa. Jika mengikuti perjalanan kapal, keselamatan ibu terancam. Sementara kondisi bayi sudah meninggal. Tangannya yang sudah di luar rahim berwarna biru.
Beberapa menit kemudian, speedboat sampai di Pulau Moa dan pasien langsung dibawa ke ruang operasi untuk diberi tindakan. Saat melihat bayi itu diangkat, Olin menangis histeris. Ia merasa gagal. ”Saya sudah melakukan yang maksimal, membuat rujukan tapi mereka tolak. Dan unjung-ujungnya bayi ini meninggal,” ucapnya.
Penolakan terhadap rujukan dan tidak mau melahirkan di puskesmas masih sering terjadi. Olin tidak menyerah. Ia terus mendatangi ibu hamil setiap bulan dan semakin intensif mulai bulan ketujuh usia kehamilan. Banyak dari mereka kemudian mengikuti arahannya.
Keinginan Olin menjadi bidan lantaran ia sering kali melihat kematian ibu dan anak di daerahnya, Pulau Letti. Pulau kecil itu berada di sisi timur laut Timor Leste. Setamat SMA, ia merantau ke Kota Kupang, NTT, untuk kuliah kebidanan di sana. Waktu tempuh dari Letti ke Kupang sekitar empat hari.
Meski ada cita-cita itu, ia sempat merasa canggung lantaran takut melihat darah. Sementara seorang bidan harus berhadapan dengan darah. Ia lalu mendaftar di tiga jurusan berbeda dan semuanya lulus. Setelah berkonsultasi dengan keluarga, ia diminta memilih bidan.
Saat masih mahasiswa dan diajak masuk ruang persalinan pertama kali, Olin yang melihat darah langsung pingsan. Ia sempat menyerah dan ingin pindah jurusan. Namun, mengingat niat awal serta dukungan keluarga, ia memantapkan langkah menjadi bidan hingga lulus dari kampus pada tahun 2012. Ia kemudian memilih pulang mengabdi di kampung.
Setelah menjadi tenaga kontrak sejak 2013, tahun 2018 ia lolos tes calon pegawai negeri sipil dan kini berdinas di Puskesmas Ilwaki. Ia tercatat sudah bertugas di tiga pulau terluar, yakni Letti, Moa, dan Wetar. Di tengah keterbatasan fasilitas dan tentu minimnya kesejahteraan, ia melakoni pekerjaannya dengan hati gembira dan penuh sukacita.
Saat ditanya dukungan apa yang diharapkan untuk pelayanan ibu hamil di daerah itu, Olin meminta bantuan speedboat dari pemerintah. Selama ini, mereka menyewa perahu nelayan untuk evakuasi ibu hamil. Saat disinggung mengenai kesejahteraan, ia tersenyum. Ia hanya bilang, harga beras medium di pulau itu mencapai Rp 18.000 per kilogram.
Olin mendedikasikan dirinya bagi masyarakat di perbatasan negeri yang harus berjuang menikmati layanan kesehatan. Di tengah keterbatasan, ia memberi pelayanan terbaik, seperti mengevakuasi pasien dengan perahu motor di tengah gelombang tinggi hingga membantu persalinan di bawah cahaya senter.
Rolinawati Darisera
Lahir: Letti, Maluku Barat Daya, 16 Januari 1987
Mulai bekerja sebagai bidan di perbatasan tahun 2013