Misi dan Mimpi Vania
”Brain, beauty, behaviour” identik dengan aneka kontes kecantikan yang berseliweran. Jika banyak anggapan ajang itu hanya adu cantik-cantikan, kehadiran sosok Vania Herlambang mematahkannya.
Brain, beauty, dan behaviour diidentikkan dengan aneka kontes kecantikan, salah satunya kontes Puteri Indonesia. Jika banyak anggapan ajang itu hanya adu cantik-cantikan, kehadiran sosok Vania Fitryanti Herlambang (25) mematahkannya. Dengan gugatan dan kepeduliannya bagi perempuan dan lingkungan, Vania mencuri perhatian.
”Kalau yang dilihat cuma cantik aja, aku udah lewatlah itu. Banyak yang lebih cantik. Ha-ha-ha,” ujar Vania yang akhir pekan ini hadir di acara Kompas Fest 2022 Presented by BNI ketika bercerita mengenai pemilihan Puteri Indonesia 2018 yang diikutinya saat baru saja lulus kuliah.
Ungkapan itu jelas mengundang tawa dan rasa tidak percaya di pertemuan virtual, Jumat (12/8/2022). Bagaimana tidak? Peraih gelar Puteri Indonesia Lingkungan 2018 dan Top 15 Miss International 2018 ini justru meyakini langkahnya menuju kontes tersebut digiring oleh misinya.
Sebenarnya, masuk akal juga. Jika berbicara puteri-puterian atau kompetisi semacam itu, umumnya diikuti oleh peserta yang sudah berpengalaman menjajal aneka kontes serupa. Tak sedikit pula yang sudah menekuni profesi sebagai model atau berkecimpung di industri hiburan. Maklum saja, lenggak-lenggok di panggung dan berpose dengan senyum manis merupakan salah satu agendanya.
Akan tetapi, ajang tersebut berbeda di mata Vania. Penampilan Artika Sari Devi pada kontes Puteri Indonesia 2004 dan Nadine Chandrawinata pada Puteri Indonesia 2005 membuatnya berani bercita-cita untuk mengikuti jejak mereka. ”Dari kecil, kalau ditanya, penginnya jadi Puteri Indonesia. Kalau ditanya kenapa, aku jawabnya karena pintar dan cantik,” ujar Vania.
Gadis yang besar di Bandung, Jawa Barat, ini pun benar-benar meresapi makna cantik dan pintar yang mesti sejalan. Lagi pula, konsep cantik itu beragam dengan caranya masing-masing. Namun, pintar baginya seakan harga yang tidak bisa ditawar.
Vania pun tumbuh dengan prestasi akademik yang mentereng. Hari-harinya dihabiskan dengan belajar, belajar, dan belajar. Impiannya sebagai putri yang selalu disebutnya ketika duduk di bangku sekolah dasar tak disinggungnya lagi. Waktunya tercurah mengulik pelajaran Fisika dan Matematika yang digemarinya. Oleh karena itu, Vania pun tidak familiar dengan aktivitas berlenggak-lenggok atau berpose di sebuah kontes. ”Sampai SMA itu, aku enggak punya hobi yang spesifik. Kalau ditanya hobi, ya belajar hobinya, ha-ha-ha.”
”Aku nerd banget dan pemalu waktu itu. Modelling dan lain-lain, aku sama sekali enggak pernah ikut. Di Puteri Indonesia aja, pas CV peserta dibahas satu-satu, ada yang nyeletuk tentang CV-ku. Katanya CV-ku ini CV buat lamar kerja, bukan buat beauty pageant. Tapi, ya, emang benar juga, sih,” tutur Vania diikuti tawa.
Masa berseragam putih abu-abu dan masa awal kuliah menjadi titik baliknya. Gara-gara sulit menjelaskan sesuatu ketika presentasi di depan pengajar dan teman-temannya, Vania memacu dirinya untuk berani tampil. Meski berproses, ia yang pemalu seketika berubah ketika kuliah. ”Jadinya, banci tampil. Nge-MC iya, nari hayuk, ngeband juga. Itu semua baru aku temukan saat kuliah,” ujar lulusan Institut Teknologi Bandung dengan predikat cum-laude pada usia 20 ini.
Beberapa kali, ia mulai diajak untuk ikut Mojang-Jajaka atau Abang-None. Namun, Vania belum tergerak. Empat bulan selepas lulus kuliah, Vania yang baru saja menikmati dunia kerja menjajal untuk mendaftar Puteri Indonesia dengan misinya. Bukan menjadi pemenang atau pemegang mahkota, melainkan menggugat persoalan kesetaraan dan pemerataan hak bagi perempuan.
Pengalaman diri
Berkecimpung di bidang science, technology, engineering, dan math (STEM), Vania menyadari masih ada stigma terhadap perempuan, seperti perempuan dianggap tidak sanggup bekerja di lapangan karena harus panas-panasan atau membawa alat berat. Stigma itu membuat bidang STEM seakan-akan tak bersahabat untuk perempuan. Akibatnya, STEM didominasi laki-laki.
Vania kadung jatuh cinta pada bidang itu sejak sekolah karena menemukan keasyikan mempelajari sains lewat komik. Ketika lulus SMA, ia dengan mantap memilih jurusan Teknik Kimia. Sepanjang masa belajar dan kemudian menjalani dunia profesional, perempuan dibutuhkan kontribusinya di bidang ini.
”Saat itu (di Puteri Indonesia), misiku womanempowerment dan gender equality. Aku pengin nunjukin kalau bidang STEM itu possible, lho. Perempuan bergerak di bidang STEM itu ada dan punya kesempatan yang sama, bahkan tidak akan kehilangan kualitasnya sebagai perempuan,” kata Vania yang sampai saat ini masih menjalani profesi di bidang STEM sebagai renewable project engineer sebuah perusahaan.
Misi memperjuangkan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan jender membawa Vania menembus babak final hingga meraih gelar Puteri Indonesia Lingkungan. ”Aku yakin banget karena (misi) itu. Saat di babak final, yang ada di pikiranku malah jangan sampai jatuh kalau jalan di panggung, karena, kan, enggak terbiasa. Cara jalanku di catwalk saat itu hancur banget. Ha-ha-ha,” ujarnya.
Gelar itu ia anggap sebagai berkah tak terduga yang ternyata sejalan dengan ketertarikan pada isu lingkungan, yang tidak ia sadari sebelumnya. Ketika memilih salah satu jalur studi perkuliahan, sebagian besar teman-temannya memilih studi yang berkaitan dengan energi, seperti minyak bumi dan gas. Vania malah penasaran pada studi keberlanjutan (sustainability). Rasa penasaran itu berubah jadi cinta.
Vania mendalami materi keberlanjutan yang banyak berkaitan dengan pengolahan limbah industri, limbah plastik, limbah organik, dan etika lingkungan. Hal ini memantapkannya mengingat Teknik Kimia yang dipelajarinya itu mengarahkan para lulusannya untuk membuat pabrik atau bekerja di pabrik. Artinya, pengolahan limbah pabriknya juga harus tepat dan tidak mencemari lingkungan.
Di masa kuliah ini, ia menyadari langkah untuk mewujudkan lingkungan keberlanjutan tidak bisa tuntas hanya lewat teknologi. Ada persoalan sosial dan model bisnis yang harus dipikirkan secara matang. ”Namanya lingkungan itu, kan, berkaitan dengan manusia, ya. Harus engage. Karena itu, hal baru dan mereka enggak mudah menerima teknologinya dengan mudah,” ujarnya.
Semakin masuk ke dunia lingkungan pasca-menjadi Puteri Indonesia Lingkungan, semakin terbuka mata Vania. Kerja-kerja menyelamatkan lingkungan harus dilakukan secara kolaboratif. Perubahan yang dilakukan pun perlu dijalani bersama.
Baginya, yang jadi tantangan itu mengajak orang mengubah kebiasaan dan meyakinkan bahwa mereka bisa merasakan dampaknya. Namun, bukan tidak mungkin. ”Selama ini, kan, orang merasa apa sih dampaknya bagi diri sendiri karena, kan, enggak langsung kelihatan,” tuturnya.
Langkah Vania untuk gencar melakukan advokasi isu lingkungan ini didukung kedua orangtuanya. Bahkan, ibunya telah melakukan praktik lingkungan keberlanjutan tanpa disadarinya. Ia menggunakan limbah rumah tangga untuk menyuburkan lahan rumahnya yang kini ditanami aneka tumbuhan.
Meski tugasnya sebagai Puteri Indonesia Lingkungan telah selesai, Vania tidak berhenti. Ia justru kian menginjak gas lebih kencang melakukan advokasi. Keterlibatannya di Yayasan Konservasi Alam Nusantara masih berlanjut. Jika mengintip media sosialnya, ia rutin membagikan tips atau pengingat tentang pentingnya menjaga lingkungan sekitar dengan berbagai cara.
Di tengah kesibukannya bekerja dan juga bergerak di isu lingkungan, Vania tetap tidak mau ngoyo. Apalagi, sampai berlebihan menghabiskan waktu hanya untuk bekerja. Ia memiliki waktu untuk diri sendiri. Yoga menjadi pilihan rutinnya tiap sore. Sementara itu, hiking dan diving sebisa mungkin dilakukannya sebulan atau dua bulan sekali.
Keseimbangan memang utama. Seperti lingkungan yang juga butuh keseimbangan, diri sendiri juga tidak boleh terlupa.
Vania Fitryanti Herlambang
Lahir: Madiun, 11 Februari 1997
Pendidikan: Sarjana Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung
Prestasi:
- SDGs Ambassador Bappenas 2020-2021
- Nature Ambassador di Yayasan Konservasi Alam Nusantara
- Top 15 Miss International 2018
- Puteri Indonesia Lingkungan 2018
- Young Leaders for Indonesia, McKinsey & Co